Minggu, 19 Oktober 2008

MEMAHAMI DINAMIKA TIMSEL KPU PROVINSI MALUKU

Tanggung jawab Tim Seleksi KPU Provinsi Maluku dapat dikatakan tidaklah ringan, betapa tidak, untuk bisa menghasilkan anggota KPU Provinsi yang jujur, profesional dan peka terhadap permasalahan pemilu (legislatif, Pilpres dan Pilkada) serta kemampuan untuk menyelesaikannya, mampu melaksanakan tugas, wewenang dan kewajiban anggota KPU Provinsi sebagaimana dimaksud, sesuai dengan ketentuan peraturan pasal 9 Undang-undang Nomor 22 Tahun 2007 tentang Penyelenggara Pemilu. Bukan saja merupakan tugas berat tetapi juga mengemban tanggung jawab moral terhadap harapan besar masyarakat karena siapapun di negeri ini pasti berharap proses seleksi tersebut berlangsung dengan sangat demokratis, jujur dan adil. Untuk itu tidak heran masyarakat selalu menaruh perhatian ekstra terhadap kinerja tim ini, hal ini bukan saja terjadi di Maluku tetapi juga terjadi hampir di semua daerah di seluruh Indonesia yang sementara ini sedang melaksanakan proses seleksi anggota KPU provinsi/kota/kabupaten.
Berbagai pendapat yang muncul hendaknya dapat dimaknai sebagai masukan yang berharga demi tujuan untuk menghasilkan sebuah komisi negara (state auxiliary body) yang independen, memiliki integritas dan komitmen serta motivasi yang kuat. Maka niat yang sudah baik ini, tentunya kita harapkan dapat diapresiasikan juga secara baik sebagai bagian dari kebebasan berpendapat dan kontrol sosial. Namun hendaknya harus diingat pula bahwa kebebasan tersebut tidak perlu sampai membuat kita menjadi kebablasan, menjatuhkan tunduhan yang serius apalagi sampai mengarah pada upaya membunuh karakter seseorang. Tentu tidak ada manusia yang sempurna, manusia tak pernah luput dari kesalahan, demikian juga tak selamanya yang kita anggap benar akan selalu benar dimata orang lain.
Tulisan ini tidaklah dimaksudkan untuk membela seseorang atau untuk mencari siapa benar dan siapa salah, apalagi sampai bermaksud menggurui tetapi marilah kita sama-sama memahami dinamika Tim Seleksi KPU Provinsi Maluku dalam konstruksi berfikir yang normatif, sehingga masyarakat dapat terayomi dengan pendapat-pendapat yang edukatif dan informatif berbasis ilmiah, bukankah terciptanya masyarakat yang cerdas dalam berdemokrasi adalah tujuan kita semua. Semoga tulisan ini turut memberi warna terhadap cita-cita reformasi tersebut
Dinamika Politik
Proses seleksi anggota KPU Provinsi dibingkai oleh UU Nomor 22 Tahun 2007 jo Peraturan KPU Nomor 13 Tahun 2007. Proses seleksi tersebut akan dimulai dari proses politik yaitu proses pembentukan Tim Seleksi, terdiri atas dua orang yang ditunjuk oleh DPRD propinsi, satu orang ditunjuk oleh gubernur dan dua orang lainnya ditunjuk oleh KPU. (pasal 4 ayat (4) Peraturan KPU No. 13 Tahun 2007). Sudah barang tentu dalam pembentukan Tim Seleksi tersebut tertompang kepentingan politis dari masing-masing pihak yang mempunyai pengaruh dalam proses tersebut. Dengan demikian, Tim Seleksi juga harus bekerja di antara tataran objektivitas dan politis. Secara politis, maka Tim Seleksi boleh jadi merupakan perpanjangan tangan dari lembaga yang menunjuknya. Oleh sebab itu tidaklah mudah untuk menemukan dan menyatukan berbagai pendapat diantara anggota tim yang boleh jadi datang dengan membawa kepentingan masing-masing.
Dinamika Multi Kompetensi
Tim Seleksi sebagaimana dimaksud berjumlah 5 (lima) orang anggota yang berasal dari unsur akademisi, profesional (yang mewakili organisasi profesi) dan masyarakat yang memiliki integritas dan tidak menjadi anggota partai politik dalam kurun waktu 5 (lima) tahun terakhir. Komposisi tim seleksi merupakan faktor pertama yang perlu diperhatikan. Kerangka hukum memang sudah baku dalam menentukan keberadaan dan komposisi tim seleksi. Meskipun secara normatif pelaksanaan seleksi merujuk pada peraturan perundang-undangan, namun komposisi dan latar belakang tim seleksi mungkin juga memiliki pengaruh pada prosesnya. Karena datang dari berbagai latar belakang dan multi kompetensi yang berbeda sudah pasti juga memiliki konsep pemikiran yang bisa juga berbeda dalam memandang sesuatu persoalan.
Dinamika Obyektifitas
Peraturan KPU Nomor 13 Tahun 2007 tentang Pedoman Pelaksanaan Seleksi Dan Penetapan Anggota Komisi Pemilihan Umum Provinsi dan Komisi Pemilihan Umum Kabupaten/Kota. Di antaranya mengatur tentang seleksi administrasi, tes tertulis, assesmen psikogi dan wawancara. Objektivitas proses seleksi KPU Provinsi mungkin masih bisa dipertahankan ketika dilakukan tes tertulis. Materi tes yang meliputi Ideologi Pancasila dan UUD 1945, ilmu politik, Pemilu, dan Ekonomi, Sosbud, Hankam serta hukum yang berkaitan dengan pemilu (pasal 11) tentu bisa diukur dari hasil tes peserta. Dalam tahapan ini tentunya peserta yang nilainya rendah akan dikalahkan/gagal, dan peserta yang nilainya tinggi tentu akan lolos. Proses bisa menjadi bias dan berpotensi subjektif manakala dilakukan tes wawancara dan asesemen psikologi. Dalam tahapan ini, walau materi wawancara dicatat secara cermat tapi boleh jadi materi wawancara tidak sama diberikan di antara peserta, bahkan bisa jadi dapat dilakukan jebakan-jebakan untuk menggugurkan peserta. Belum lagi asesment psikologi tentu sulit diukur objektivitasnya. Apapun metode seleksi yang digunakan, selalu ada kelebihan dan kekurangannya.
Dinamika Pengambilan Keputusan
Setiap anggota Tim Seleksi mempunyai hak suara yang sama. Rapat Tim Seleksi sah apabila dihadiri sekurangkurangnya oleh 4 (empat) orang anggota yang dibuktikan dengan daftar hadir. Keputusan Tim Seleksi sah apabila disetujui oleh sekurang-kurangnya 3 (tiga) orang anggota yang hadir. Dalam hal tidak tercapai persetujuan, keputusan Tim Seleksi diambil berdasarkan suara terbanyak.
Rekapitulasi hasil seleksi tertulis diumumkan dan diadministrasikan, program Asesmen Psikologi dan hasil seleksi wawancara, sesuai amanat pasal 13 ayat (5) hanya perlu diadministrasikan. Selanjutnya diajukan 10 nama disusun berdasarkan abjad disertai salinan berkas adminsitrasi kepada ketua KPU (Pasal 15 ayat (2) dan (3). Untuk selanjutnya dilakukan uji kelayakan dan kepatutan oleh KPU (pasal 16), hasilnya disusun secara peringkat dan selanjutnya ditetapkan 5 peringkat teratas oleh KPU.
Disparitas perbedaan dan dinamika yang terjadi tidak mungkin dapat terhindarkan olehnya itu dibutuhkan kearifan untuk mensikapinya. Memang hasil tim seleksi Prof Lokollo dan kawan-kawan, mungkin bukan yang terbaik menurut kita, tetapi paling tidak itulah hasil maksimal yang dapat dipersembahkan. Dan tanpa bermaksud menyederhanakan semua masalah yang ada, marilah kita hargai bersama hasil kerja keras mereka sebagai wujud suatu dinamika berdemokrasi.

MENSIASATI HIDUP DI NEGERI BENCANA

Sejarah peradaban umat manusia, hampir seluruhnya mencatat pergumulan manusia dengan bencana. Bencana bahkan merupakan bagian yang tak terpisahkan dari kehidupan manusia, Indonesia sendiri termasuk negara yang rentan terhadap bencana mengingat kondisi geografis, geologis, hidrologis, dan demografis yang memungkinkan terjadinya bencana, baik yang disebabkan oleh faktor alam, faktor nonalam maupun faktor manusia yang menyebabkan timbulnya korban jiwa manusia, kerusakan lingkungan, kerugian harta benda, dan dampak psikologis. Tentunya masih segar dalam ingatan kita peristiwa tsunami di Aceh dan Nias, atau gempa bumi di Yogyakarta, kemudian bencana banjir di Sinjai, Sulawesi Selatan. Dan belum lama berselang, kita dengar di Kota Ambon selama musim penghujan, Maret hingga September sudah tujuh orang meninggal dunia. Sedangkan untuk Maluku sudah 12 orang meninggal. Secara periodik, berbagai kasus bencana alam menyambangi Indonesia. Peningkatan bencana terus terjadi dari tahun ke tahun. Bahkan, sejak tahun 1988 sampai pertengahan 2003 jumlah bencana di Indonesia mencapai 647 bencana alam meliputi banjir, longsor, gempa bumi, dan angin topan, dengan jumlah korban jiwa sebanyak 2022 dan jumlah kerugian mencapai ratusan milyar. Jumlah tersebut belum termasuk bencana yang terjadi pertengahan tahun 2003 sampai pertengahan 2004 yang mencapai ratusan bencana dan mengakibatkan hampir 1000 korban jiwa.
Secara alamiah, Maluku masuk dalam katagori daerah yang memiliki tingkat kerawanan tinggi. Jalur gunung api pasifik (pasific ring of fire) melewati sebagian besar pulau-pulau Indonesia dari Sumatera, Jawa, Bali-Nusa Tenggara, Sulawesi dan Maluku. Tiga lempeng bumi yang secara konstan bergerak memunculkan potensi ancaman bencana gempa dan tsunami. Potensi ancaman lain adalah pergerakan tanah dan iklim tropis. Perubahan iklim (climate change) adalah realitas. Dampak perubahan iklim telah nyata menjadi ancaman bagi kehidupan di bumi. IPCC (Intergovernmental Panel on Climate Change) dalam ”Climate Change 2007: impact, adaptation, and vulnerability” menunjukan berbagai ancaman berpotensi menjadi bencana besar. Bahkan, beberapa sumber memvonis, ancaman bencana akibat perubahan iklim lebih menyeramkan dari terorisme. Sebagai provinsi kepulauan, pemanasan global dapat mengakibatkan naiknya permukaan air laut, sehingga mengancam kelangsungan pulau-pulau di provinsi ini dan diperkirakan 14.000 desa di wilayah pesisir akan hilang pada tahun 2015. Sadar atau tidak betapa kita sesungguhnya hidup di negeri bencana.
Masih lemahnya daya kritis masyarakat terhadap haknya sebagai warga negara, memposisikan negara masih belum menempatkan hak-hak rakyat untuk dipenuhi. Hak terlindungi dan terselamatkan dari berbagai ancaman bencana. Hak pemenuhan kebutuhan dasar bagi warga terkena bencana serta jaminan menjalani kehidupan bermartabat pasca bencana. Hal yang terpenting dan sering terabaikan adalah penanganan bencana seharusnya menjadikan kondisi menjadi lebih baik, bahkan seharusnya menghilangkan ancaman bencana tersebut sama sekali. Kondisi realitas ini telah memaksa lahirnya sebuah pemikiran baru yaitu dengan disahkannya Undang-undang Penanggulangan Bencana (UU No. 24 Tahun 2007). Namun di sisi lain, hampir semua daerah-daerah yang secara riil rawan bencana masih tidak peduli. Kita harusnya berbenah diri dan melakukan tidakan-tindakan nyata dalam mereduksi ancaman bencana. Memetakan kawasan-kawasan rawan bencana, menyusun perencanaan kedaruratan (contingency planning) atau meningkatkan kapasitas SDM dan kelembagaan penanganan bencana.
Sungguh ironis sekali jika mau membandingkan dengan Mesir, praktek mitigasi penanggulangan bencana disana sudah berusia lebih dari 4000 tahun. Konsep tentang sistim peringatan dini untuk kelaparan (famine) dan kesiapsiagaan (preparedness) dengan lumbung raksasa yang disiapkan selama tujuh tahun pertama kelimpahan untuk digunakan selama tujuh tahun kekeringan sudah lahir sejak tahun 2000 BC.
Tidak ada kata terlambat jika kita mau berusaha. Momentum pasca pemberlakuan UU No 24 Tahun 2007 tentang Penanggulangan Bencana, harus dapat dimaknai dengan sangat berbeda, yaitu Penanggulangan bencana tidak lagi menekankan pada aspek tanggap darurat saja, tetapi menekankan pada keseluruhan bidang kerja manajemen risiko bencana. Perlindungan masyarakat dari ancaman bencana oleh pemerintah merupakan wujud dari perlindungan sebagai hak asasi rakyat, dan bukan semata-mata karena kewajiban pemerintah. Seiring dengan demokratisas dan kebijakan otonomi daerah, penanggulangan bencana juga lebih menjadi tanggungjawab pemerintah daerah dan masyarakatnya. Setiap orang mempunyai hak untuk dilindungi, mendapat pelatihan, dan ikutserta dalam dan mengawasi penyelenggaraan penanggulangan bencana. Dengan demikian UU mengatur tentang mekanisme pemenuhan hak ini dan sanksi-sanksi manakala hak tersebut tidak terpenuhi oleh pemerintah ataupun pihak-pihak lain yang tersangkut didalamnya. Dalam pelaksanaan tanggung jawab tersebut, Pemerintah dan Pemerintah Daerah dibekali dengan beberapa kewenangan yaitu berkewenangan untuk menyusun kebijakan pembangunan dan memasukkan unsur penanggulangan bencana dalam program pembangunan. Bagi kegiatan pembangunan yang berisiko tinggi terhadap bencana ditetapkan persyaratan analisis resiko bencana. Kepala pemerintahan dapat menetapkan keadaan bencana sesuai dengan tataran dan wilayahnya, dan berdasarkan rekomendasi Badan Penanggulangan Bencana. Penetapan ini kiranya sangat penting karena dengannya maka berubahlah pola penanggulangan bencana dan pemerintahan. Penyelenggaraan penanggulangan bencana yang biasanya bernuansa fungsi koordinatif, pada saat ditetapkan keadaan darurat, akan menjadi fungsi komando. Hak dan kewajiban serta kewenangan pemerintah juga berubah dengan sangat signifikan. Pemerintah daerah “dapat” membentuk Badan Penanggulangan Bencana Daerah. Badan ini akan mendapatkan kemudahan akses dan alokasi dana siap pakai dari APBN/APBD.
Dari perubahan paradigma managemen bencana (disaster management) ini diharapkan dapat membawa kita menuju hidup bebas dari bencana (free from disaster), atau paling tidak hidup nyaman meskipun ada bencana (living with disaster). Semoga

PENANGANAN BENCANA ALAM DI AMBON

Membaca Surat khabar Ambon Ekspres jumat, 12 September 2008, sungguh membuat kita semua prihatin dan sedih. Betapa tidak ketika mengetahui bahwa sebagian wilayah Kota Ambon dilanda banjir dan longsor. Kawasan-kawasan yang terendam banjir di antaranya Perigi Lima, Soabali, Silale, dan Pohon Puleh (Kecamatan Nusaniwe). Empat daerah itu digenangi air dari meluapnya sungai Pohon Puleh dan Batu Gantung.Selain itu, kawasan pemukiman Kadewatan, Tanah Tinggi dan Batu Merah Dalam, (Kecamatan Sirimau), juga terendam air karena meluapnya sungai Waitomu dan Batu Merah. Sejumlah ruas jalan di ibukota provinsi Maluku juga terendam air di antaranya pusat pertokoan AY. Patty, dan kawasan Jl. Latuharhari, hingga ke Pelabuhan Yos Sudarso. Pendek kata, banjir menutupi sebagian Kota Ambon, bahkan hampir semua kecamatan dilanda banjir dan longsor. Di Kecamatan Nusaniwe empat orang tewas akibat banjir bandang dan longsor, sementara di Kecamatan Sirimau, Baguala, dan Teluk Ambon Baguala sebagian daerahnya terendam banjir. Di Kota Ambon saja selama musim penghujan sejak Maret hingga September sudah tujuh orang meninggal dunia. Sedangkan untuk Maluku sudah 12 orang meninggal termasuk lima orang warga Hualoy Kecamatan Kairatu, Kabupaten Seram Barat yang terseret banjir disertai longsor Agustus lalu. Entah masih berapa banyak lagi anak negeri ini harus menjadi korban, belum lagi ancaman kerugian harta benda yang dapat terjadi kapan saja di bumi para raja bertajuk manise ini.
Atas konsekwensi itu maka tak heran berbagai kecaman pedaspun banyak terlontar yang mengarah pada kinerja pemerintah daerah yang dianggap gagal melakukan pencegahan terhadap bencana banjir di Kota Ambon. Penyebab banjir seperti sistem drainase yang tidak baik, disamping maraknya pembangunan rumah di areal konservasi. Untuk itu pemerintah kota diminta lebih konsentrasi pada perbaikan dan pembuatan sistem drainase yang baik, serta menata kembali daerah-daerah yang sudah ditetapkan sebagai areal konservasi, atau bagaimana menciptakan rasa aman dan nyaman bagi warga. Salah satunya dengan mengidentifikasi wilayah-wilayah rawan longsor dan banjir, kemudian bagaimana membangun sarana prasarana keselamatan warga. Jadi bukan hanya fokus pada pembangunan mega proyek fisik seperti Baguala Town Square dan Merdeka Square, karena bukan merupakan suatu kebutuhan yang urgen bagi masyarakat kota Ambon. Menurut mereka untuk apa itu semua kalau di dalam kota masih seperti comberan.
Terlepas dari semuanya itu, saat ini tak ada gunanya kita saling menyalahkan sebab tanggung jawab pembangunan maupun penanganan bencana adalah tanggung jawab bersama kita semua. Alangkah baiknya, kalau semua energi yang ada kita satukan untuk bagaimana memadukan penanggulangan bencana dalam konteks program pembangunan kedepan.
Penting untuk dipikirkan segera adalah bagaimana menggunakan pengalaman ini untuk mencegah atau setidaknya mengurangi resiko bencana pada masa yang akan datang.
Hal kedua adalah, pemulihan terhadap dampak bencana tidak boleh dipandang hanya sekedar mengembalikan masyarakat dan pemerintahan pada kondisi pencapaian sebelum bencana. Karena hal ini sama saja dengan membangun kembali kerentanan masyarakat terhadap bencana. Tujuan optimalisasi pencapaian harus lebih kepada mencegah terulangnya kembali bencana bahkan sedapat mungkin menghilangkan ancaman bencana tersebut. Untuk itu perlu konsep pembanguan yang berwawasan lingkungan untuk menanggulangi dampak bencana dalam kerangka pembangunan dan sebagai investasi yang mutlak untuk dilakukan. Kalau tidak, masyarakat akan menilai betapa pemerintah gagal untuk memperbaiki diri.
Upaya menciptakan masyarakat yang lebih berketahanan terhadap bencana, salah satunya adalah juga melalui perbaikan pada sistem mitigasi bencana di daerah terkena bencana seperti penyediaan prasarana dan sarana, serta pemberdayaan masyarakat untuk meningkatkan kesiapsiagaan dalam menghadapi ancaman bencana.
Momentum pemberlakuan UU No 24 Tahun 2007 tentang Penanggulangan Bencana dan Rencana Aksi Nasional Penanggulangan Bencana. Maka mitigasi disusun sebagai bagian dari pembangunan jangka panjang maupun jangka menengah yang dijabarkan ke dalam rencana aksi tahunan sektor dan daerah dengan bidang-bidang utama seperti Bidang perencanaan fisik (kaji risiko, tataruang), Bidang rekayasa dan konstruksi (peringatan dini, penyediaan prasarana & sarana, penataan ruang berbasis PRB), Bidang ekonomi (kaji kerentanan, penguatan sistem ekonomi), Bidang kelembagaan dan manajemen (koordinasi riset, perbaikan instrumen kebijakan antar sektor/daerah, penataan kelembagaan), dan Bidang pemberdayaan masyarakat (manajemen informasi, pemberdayaan masyarakat, pelatihan dan penelitian).
Dalam kaitan itu maka pemerintah daerah dapat mengambil langkah-langkah sebagai berikut: Menyusunan kerangka kebijakan daerah dalam rangka harmonisasi dengan diterbitkannya Undang-Undang Penanggulangan Bencana, Penataan ulang kelembagaan penanggulangan bencana sesuai dengan amanat Undang-Undang Penanggulangan Bencana, Penyusunan berbagai mekanisme dan prosedur penanggulangan bencana sebagaimana akan diatur oleh peraturan pelaksanaan Undang-Undang Penanggulangan Bencana. Penyusunan program-program prioritas sesuai dengan berbagai bidang kerja yang diatur oleh baik Undang-Undang Penanggulangan Bencana, dan Rencana Aksi Nasional Pengurangan Risiko Bencana dalam rangka untuk penyusunan suatu Rencana Aksi Daerah Pengurangan Risiko Bencana.Semoga kiranya hal ini dapat dilaksanakan karena kalau tidak maka bukan tidak mungkin kita akan selalu terus bertanya pada rumput yang bergoyang seperti bait sair lagu Ebiet G. Ade

Rabu, 03 September 2008

SISTEM PEMERINTAHAN

Negara sebagai subyek hukum harus memiliki unsur-unsur konstitutif yang diperlukan bagi terbentuknya sebuah negara. Untuk membentuk suatu negara yang merupakan subyek penuh hukum internasional sesuai pasal 1 Konvensi Montevideo, 27 Desember 1933 mengenai hak dan kewajian negara menyebutkan bahwa unsur-unsur konstitutif tersebut, meliputi:[1]
(1). Penduduk yang tetap.
(2). Wilayah tertentu.
(3). Pemerintahan
(4). Kedaulatan
Sebagai suatu person yuridik, negara memerlukan sejumlah organ untuk mewakili dan menyalurkan kehendaknya. Sebagai tituler dari kekuasaan, negara hanya dapat melaksanakan kekuasaannya tersebut melalui organ-organ yang terdiri dari individu-individu. Bagi suatu wilayah yang tidak mempunyai pemerintahan tidak dianggap sebagai suatu negara dalam arti kata yang sebenarnya. Ketentuan ini dengan jelas ditegaskan oleh Mahkamah Internasional dalam kasus Sahara Barat. Mahkamah dalam pendapat hukumnya (advisory opinion) pada tahun 1975 menyatakan bahwa Sahara Barat belum dapat dikatakan sebagai sebuah negara karena disana belum ada struktur pemerintahan yang merupakan organ atau entitas yuridik. Keberadaan suatu pemerintahan bagi hukum internasional merupakan suatu keharusan. Dengan adanya pemerintahan maka suatu negara dapat efektif bertindak atas nama negara tersebut sehingga dengan demikian negara itu dapat melakukan hubungan dengan negara-negara lain[2].
Pengertian pemerintah disini adalah penyelenggara kegiatan-kegiatan yang ditugaskan rakyat kepadanya. Pemerintah tersebut mempunyai kekuasaan yang efektif atas seluruh penduduk dan wilayah negaranya. Yang dimaksud dengan efektif adalah pemerintahan tersebut mempunyai kapasitas riil untuk melaksanakan semua fungsi kenegaraan termasuk memelihara keamanan dan tata tertib di dalam negara dan pelaksanaan berbagai komitmen di luar negeri.[3] Hukum internasional menghendaki adanya suatu pemerintahan yang stabil dan efektif untuk memudahkan hubungannya dengan rakyatnya maupun dengan negara-negara lainnya didunia.
Untuk mencapai tujuan dimaksud maka tentunya dibutuhkan suatu sistem pemerintahan yang baik. Menurut S. Pamudji, sistem pemerintahan dapat dibagi atas dua macam yaitu:
(1). Sistem Pemerintahan Parlementer dan
(2). Sistem Pemerintahan Presidential.
Menurut Moh.Kusnardi dan Hermaily Ibrahim,[4] bahwa pada garis besarnya sistem pemerintahan yang dilakukan pada negara-negara demokrasi menganut sistem parlementer atau sistem Presidensiil, dan masih terdapat beberapa bentuk lainnya sebagai variasi, disebabkan situasi dan kondisi yang berbeda yang melahirkan bentuk-bentuk semua (quasi) karena jika dilihat dari salah satu sistem diatas dia bukan merupakan bentuk yang sebenarnya, misalnya quasi parlementer atau quasi presidensiil.
Sementara menurut Sri Soemantri,[5] bahwa sistem pemerintahan dapat dikelompokkan atas 3 macam yaitu:
(1). Sistem parlementer atau disebut Cabinet Government, seperti mula-mula di Inggris yang kemudian diikuti oleh negara lainnya seperti Perancis, Belanda, Jerman Barat, Italia, India, Jepang, Republik Indonesia berdasarkan konstitusi RIS dan UUDS 1950 dan negara-negara lainnya.
(2) Sistem presidensiil, seperti di anut antara lain Amerika Serikat dan beberapa negara Amerika Latin
(3) Sistem pemerintahan yang tidak dapat digolongkan kedalam kedua sistem diatas ataupula dapat dimasukan kedalam kedua-duanya. Hal demikian ini dapat kita lihat dalam sistem pemerintahan di Swiss dan Republik Indonesia.
Sebab-sebab timbulnya perbedaan diantara sistem tersebut adalah karena latar belakang sejarah politik yang dialami oleh negara masing-masing itu berlainan. Sistem parlementer itu timbul dari bentuk negara monarki yang kemudian mendapat pengaruh pertanggung jawab menteri. Sesudah itu maka fungsi dari raja merupakan faktor stabilisasi jika terjadi perselisihan antara eksekutif dan legislatif. Latar belakang negara Amerika Serikat yang menganut sistem presidensiil adalah kebencian rakyat Amerika Serikat terhadap pemerintah raja George III, sehingga mereka tidak menghendaki bentuk negara monarki dan untuk mewujudkan kemerdekaannya dari pengaruh Inggris maka mereka lebih suka mengikuti jejak Montesquieu dengan mengadakan pemisahan kekuasaan sehingga tidak ada kemungkinan kekuasaan yang satu akan melebihi kekuasaan yang lainnya, karena dalam Trias Politica itu terdapat sistem check dan balance.[6]

1 Pengertian Sistem Pemerintahan
1.1. Pengertian Sistem
Pengertian sistem dapat dikemukakan antara lain:
1). W.J.S. Poerwadarminta dalam Kamus Umum Bahasa Indonesia. dikatakan bahwa yang dimaksud dengan sistem adalah sekelompok bagian-bagian (alat dan sebagainya) yang bekerja bersama-sama untuk melakukan suatu maksud, misalnya:
(1) sistem urat syaraf dalam tubuh kita, sistem pemerintahan;
(2) sekelompok pendapat, peristiwa atau kepercayaan dan sebagainya yang disusun dan diatur baik-baik misalnya filsafat;
(3) cara (metode) yang teratur untuk melakukan sesuatu, misalnya pengajaran bahasa.
2). St. Munadjat Danusaputro dalam bukunya Hukum Lingkungan buku 1 “umum” halaman 7, mengungkapkan” “kata sistem dijabarkan dari kata Yunani yaitu systema, yang berarti “suatu kesatuan yang tersusun secara teratur, rapi atas bagian-bagian berikut perinciannya, sedemikian rupa hingga dapat mencapai tujuan yang sudah pasti,”
a) bagian-bagian tersebut lazimnya disebut komponen-komponen, sedangkan “komponen” dapat dirinci lagi ke dalam “rincian kecil” atau aturan (=subsistem).
b) baik komponen-komponen maupun atauran-aturan (=subsistem-subsistem) dalam suatu sistem itu selalu berjenis-jenis dan bermacam-macamyang menjadi syarat mutlak untuk dapat membentuk suatu “sistem” jika komponen-komponen dan aturan-aturan tersebut, bersifat seragam dan sejenis maka tidak mungkin akan membentuk suatu sistem.
c) suatu aturan (atau subsistem) pada gilirannya juga bertegak sebagai suatu sistem tersendiri, sekalipun ukuran dan lingkupnya sudah dengan sendirinya lebih kecil daripada “komponen” atau “sistem induknya” sendiri.
d) suatu syarat mutlak lain menuntut agar sekalian komponen-komponen dan aturan-aturan tersebut harus “tersusun secara teratur rapi” untuk mewujudkan suatu “sistem”. Suatu kumpulan belaka dari komponen-komponen dan aturan-aturan tersebut apalagi suatu kumpulan yang kacau balau tidak mungkin akan mewujudkan suatu sistem.
e) syarat mutlak berikutnya ialah bahwa suatu sistem harus memiliki suatu tujuan secara pasti. Jika suatu sistem tidak memiliki tujuan, tata pengaturan komponen-komponen dan aturan-aturan secara rapi tersebut tidak mungkin akan bertegak menjadi suatu sistem. Justru karena adanya suatu tujuan pasti tersebut, maka suatu sistemmemiliki daya gerak (menuju kepada “tujuan pasti” yersebut) oleh karena itu sistem tersbut mempunyai daya hidup. Tanpa adanya suatu tujuan pasti suatu sistem akan ternyata mati dan akan berhenti bertegak sebagai suatu sistem.
f) dalam proses gerak suatu sistem menuju tujuannya pasti, maka terjadilah interaksidan saling pengaruh antara sekalian komponen dan aturan-aturan secara padat dan mesra menurut aturan keserasian, keselarasan dan keseimbangan yang mengganbarkan proses hidup sistem termaksud. Jenis “interaksi” dan “saling mempengaruhi” antara kompnen-komponen dan aturan-aturan tersbut biasanya disebut faktir intern (internal factor) perikehidupan suatu sistem.
g) selain “faktor intern” tersebut suatu sistem juga berhubungan dan saling mempengaruhi dengan lingkungannya yang bergerak sebagai “faktor ekstern” (external factor) bagi sistem yang bersangkutan, juga interaksi dan saling pengaruh antara sistem dan lingkungannya merupakan syarat mutlak bagi kehidupan sistem tersebut karena dalam kenyataan alami tidak pernah terdapat suatu sistem yang ada dan tumbuh bergerak dalam kehampaan. Demikianlah antara “sistem” dan “lingkungannya” itu selalu berada dalam situasi dan kondisi interdepedensi yang tetap.
Menurut Carl J. Fredrich,[7] yang dikutip oleh Moh. Kusnardi dan Hermaily Ibrahim, sistem diartikan sebagai suatu keseluruhan terdiri dari beberapa bagian yang mempunyai hubungan fungsionil baik antara bagian-bagian maupun hubungan fungsionil terhadap keseluruhannya sehingga hubungan itu menimbulkan suatu ketergantungan antara bagian-bagian yang akibatnya jika salah satu bagian tidak bekerja dengan baik akan mempengaruhi keseluruhan itu.

1.2. Pengertian Pemerintahan
Pemerintahan berasal dari kata pemerintah dengan asal kata perintah. Adapun arti kata tersebut menurut W.J.S. Purwadarminta adalah sebagai berikut:
a) perintah adalah perkataan yang bermaksud menyuruh mlakukan sesuatu
b) pemerintah adalah kekuasaan memerintah suatu negara (daerah negara) atau badan yang tertinggi yang memerintah suatu negara (seperti kabinet merupakan suatu pemerintah).
c) Pemerintahan adalah perbuatan (cara, hal, urusan dan sebagainya) memerintah.
Menurut Moh. Kusnardi dan Hermaily Ibrahim,[8] Pemerintah dalam arti luas adalah segala urusan yang dilakukan oleh negara dalam menyelenggarakan kesejahteraan rakyatnya dan kepentingan negaranya sendiri, jadi tidak diartikan sebagai pemerintah yang hanya menjalankan tugas eksekutif saja, melainkan juga meliputi tugas-tugas lainnya termasuk legislatif dan yudikatif. Karena itu membicarakan sistem pemerintahan adalah membicarakan bagaimana pembagian kekuasaan serta hubungan antara lembaga-lembaga negara yang menjalankan kekuasaan-kekuasaan negara itu, dalam rangka menyelenggarkan kepentingan rakyat.
Ditinjau dari segi pembagian kekuasaannya, organissi pemerintahan itu dibagi menurut garis horisontal dan vertikal. Pembagian kekuasaan secara horisontal didasarkan atas sifat tugas yang berbeda-beda jenisnya yang menimbulkan berbagai macam lembaga di dalam suatu negara, sedangkan pembagian kekuasaan secara vertikal melahirkan dua garis hubungan antara Pusat dan Daerah dalam sistem desentralisasi dan dekonsentrasi.
Selanjutnya menurut Sri Soemantri,[9] dikatakan bahwa perkataan pemerintahan berasal dari kata perintah maka perlu diselidiki terlebih dahulu arti pemerintah. Dalam kepustakaan Inggris dijumpai adanya perkataan government. C.F. Strong dalam bukunya Modern Political Constitution mengatakan sebagai berikut:
“Government is, therefore, ‘that organization in which is vested.....the right to exercise souverign powers.’ Government, in the broad sense, is something bigger than a special body of ministers, a sense in which we cologuially use it to day, when...
“Government, in the brouder sense, is charged with the maintenance of the peace security of state within and without.
“It mast, therefore, have, first military power, or teh control of armed forces; secondly, legislature power, or the means of making laws; thirdly, financial power, or the ability to extract sufficient money from the community to defray the cost of defending the state and of enfoscing the law it makes on the state’s behalf.
“It must, in short, have legislature power, executive power, and judicial power, which we may call the three departments of government.”
Selanjutnya menurut Beliau bahwa dari pandangan C.F. Strong diatas, government dalam arti luas meliputi kekuasaan legislatif, kekuasaan eksekutif dan kekuasaan yudikatif. Pengertian ini didasarkan atas ajaran Tripraja Montesquieu. Artinya government yang luas akan lain apabila dilihat dari pandangan ajaran caturpraja dan pancapraja. Oleh karena perkataan dan istilah pemerintah dan government itu sama, maka arti yang luas dari istilah government berlaku juga bagi istilah pemerintah.
Pengertian pemerintahan yang lebih dibatasi lagi adalah pendapat Achmad Sanusi yaitu sebagai berikut:
“Kata pemerintahan kami maksudkan disini adalah suatu lapangan kerja, suatu tugas, khususnya yang disebut pemerintah dan dalam hubungannya dengan badan perundang-undangan”.
Ada pemerintah dalam arti luas maka ada pula pemerintah dalam arti sempit. Dilihat dari Tripraja, pemerintah dalam arti sempit hannyalah meliputi eksekutif saja, yang menurut UUD 1945 adalah Presiden dengan pembantu-pembantunya.
Selanjutnya mengenai pengertian pemerintahan, Kuntjoro Purbupranoto dalam bukunya, Perkembangan Hukum Administrasi Indonesia, halaman 1-2, antara lain mengatakan sebagai berikut:
“Pemerintah dalam arti luas (regering atau government) adalah pelaksanaan tugas seluruh badan-badan, lembaga-lembaga dan petugas-petugas yang diserahi wewenang mencapai tujuan negara. Dalam arti sempit (bestuur atau government) mencakup organisasi fungsi-fungsi yang menjalankan tugas pemerintahan. Pemerintahan (atau juga disebut pangreh) adalah fungsi pemerintah (het bestuuren, het regeren) dalam arti menjalankan tugas-tugas pemerintah (bestuursfunnctie). Arti pemerintahan ini dapat dipandang sejajar atau berhadapan dengan fungsi peradilan (rechtspraak) dan tugas perundang-undangan (wetgeving). Maka tugas pemerintahan dapat diartikan secara negatif ialah tugas penguasa yang bukan peradilan atau pun perundang-undangan. Penguasa atau overheid disini diartikan kekuasaan keseluruhan organisasi yang dibentuk dengan tujuan untuk menyusun dan menegakan masyarakat dalam satu wadah yang mendukung kekuasaan itu yang disebut negara (state, staat)”

Berikut adalah pendapat S. Pamudji, dalam bukunya berjudul Perbandingan Pemerintahan, halaman 3-7 antara lain juga mengutip pendapat C.F. Strong yang diterjemahkan sebagai berikut:
“Pemerintah adalah organisasi yang didalamnya diletakkan.... hak untuk melaksanakan kekuasaan berdaulat atau tertinggi pemerintah dalam arti luas merupakan sesuatu yang lebih besar daripada suatu badan atau kementrian, yaitu suatu arti yang biasa kita pakai dalam pembicaraan dewasa ini apabila..... pemerintahan dalam arti luas diberi tanggung jawab pemeliharaan perdamaian dan keamanan negara, didalam ataupun diluar negeri. Ia, pemerintah ahrus memiliki pertama, kekuasaan militer atau pengawasan atas angkatan bersenjata. Kedua kekuasaan legislatif atau sarana pembuatan hukum. ketiga kekuasaan keuangan yaitu kesanggupan memungut uang yang cukup untuk membayar biaya mempertahankan negara dan menegakan hukum yang dibuat atas nama negara”.
Sedangkan Samuel Edward Finer dalam bukunya Comparative Government, 1974 halaman 3-4, menyatakan bahwa istilah government paling sedikit mempunyai empat arti yaitu sebagai berikut:
a. Menunjukan kegiatan atau proses memerintah yaitu melaksanakan kontrol atas pihak lain (the aktivity or the process of governing)
b. Menunjukkan masalah atau hal ihkwal negara yang didalamnya ada kegiatan atau proses (state of affairs)
c. Menunjukkan orang-orang (maksudnya pejabat-pejabat) yang dibebani tugas-tugas untuk memerintah (people charged with the duty of governing)
d. Menunjukkan cara, metode atau sistem untuk memerintah masyarakat tertentu (the manner, method or sistem by which a particular society is governed)

Berdasarkan uraian tersebut diatas S. Pamudji kemudian merumuskan bahwa yang dimaksud dengan pemerintahan dalam arti luas adalah perbuatan pemerintah yang dilakukan oleh organ-organ atau badan legislatif, eksekutif dan yudikatif dalam rangka mencpai tujuan pemerintahan negara (tujuan nasional) sedangkan pemerintahan dalam arti sempit adalah perbuatan pemerintah yang dilakukan oleh organ eksekutif dan jajarannya dalam rangka mencapai tujuan pemerintahan negara.
3.1.3. Pengertian Sistem Pemerintahan
Setelah diketahui pengertian tentang sistem dan pemerintahan kemudian oleh Achmad Sanusi mengemukakan arti sistem pemerintahan sebagai berikut:
“Pertama: Sistem yang dipusatkan secara mutlak dan bersifat revolusioner.
Kedua: Sistem presidensial, Ketiga: Sistem parlementer.”
Tentang sistem pemerintahan Sri Soemantri, berpendapat sama dengan Achmad Sanusi dengan catatan bahwa disamping sistem presidensial atau sistem pemerintahan presidensial dan sistem parlementer atau sistem pemerintahan parlementer, masih dikenal adanya sistem pemerintahan yang lain (lihat Sri Soemantri: Tentang Lembaga-Lembaga Negara Menurut UUD 1945).
Jadi dapat dikatakan bahwa jika berbicara tentang sistem pemerintahan adalah membicarakan bagaimana pembagian kekuasaan serta hubungan antara lembaga-lembaga negara yang menjalankan kekuasaan-kekuasaan negara itu, dalam rangka menyelenggarakan kepentingan rakyat.[10]
S. Pamudji, mengartikan sistem pemerintahan sebagai suatu kebulatan atau keseluruhan yang utuh yang terdiri dari komponen-komponen seperti legislatif, eksekutif dan yudikatif yang telah mempunyai fungsi masing-masing. Pada gilirannya legislatif merupakan atau menjadi satu sistem tersendiri. Demikian juga eksekutif dan yudikatif. Mereka saling berhubungan satu dengan yang lain mengikuti satu pola, tata, dan norma tertentu yang kesemuanya itu dalam rangka mencapai tujuan pemerintahan negara, yang lazimnya terumus dalam UUD suatu negara atau dalam dokumen-dokumen lain. Lebih lanjut diungkapkan bahwa apabila kita ambil komponen eksekutif (pemerintah dalam arti sempit) maka ia juga merupakan suatu kebulatan atau keseluruhan yang utuh yang didalamnya ada komponen-komponen yaitu departemen-departemen dan lembaga-lembaga nondepartemen yang memiliki fungsi-fungsi tertentu, berkaitan atau berhubungan satu dengan yang lain dengan mengikuti suatu pola, tata dan norma tertntu dalam rangka mencapai tujuan eksekutif (pemerintah dalam arti sempit). Demikian seterusnya analisa dapat dilanjutkan sampai kepada satuan organisasi terkecil, baik ditingkat nasional, daerah maupun lokal. Akhirnya kita akan mencupai suatu hirarki tujuan yang berpuncak pada tujuan nasional atau tujuan pemerintahan negara.

2. Macam-Macam Sistem Pemerintahan
S. Pamudji membagi sistem pemerintahan atas 2 macam yaitu:
a) Sistem Pemerintahan Parlementer
b) Sistem Pemerintahan Presidential
Menurut Moh.Kusnardi dan Hermaily Ibrahim,[11] bahwa pada garis besarnya sistem pemerintahan yang dilakukan pada negara-negara demokrasi menganut sistem parlementer atau sistem Presidensiil, dan masih terdapat beberapa bentuk lainnya sebagai variasi, disebabkan situasi dan kondisi yang berbeda yang melahirkan bentuk-bentuk semua (quasi) karena jika dilihat dari salah satu sistem diatas dia bukan merupakan bentuk yang sebenarnya, misalnya quasi parlementer atau quasi presidensiil.
Sementara menurut Sri Soemantri,[12] bahwa sistem pemerintahan dapat dikelompokkan atas 3 macam yaitu:
(1). Sistem parlementer atau disebut Cabinet Government, seperti mula-mula di Inggris yang kemudian diikuti oleh negara lainnya seperti Perancis, Belanda, Jerman Barat, Italia, India, Jepang, Republik Indonesia berdasarkan konstitusi RIS dan UUDS 1950 dan negara-negara lainnya.
(2) Sistem presidensiil, seperti di anut antara lain Amerika Serikat dan beberapa negara Amerika Latin
(3) Sistem pemerintahan yang tidak dapat digolongkan kedalam kedua sistem diatas ataupula dapat dimasukan kedalam kedua-duanya. Hal demikian ini dapat kita lihat dalam sistem pemerintahan di Swiss dan Republik Indonesia.

3. Perbedaan Masing-Masing Sistem Pemerintahan
3.1 Sistem Pemerintahan Parlementer
Sistem pemerintahan parlementer ini dikenal dengan nama Cabinet Government. Adapun yang dimaksud dengan sistem pemerintahan parlementer menurut Sri Soemantri adalah suatu pemerintahan, dimana pemerintah/kabinet/presiden harus bertanggung jawab kepada parlemen/badan legislatif.[13]
Sistem pemerintahan parlementer memiliki ciri-ciri:
(1) Kabinet yang dipimpin oleh perdana menteri dibentuk oleh atau atas dasar kekuatan dan atau kekuatan-kekuatan yang menguasai parlemen.
(2) Para anggota kabinet mungkin seluruhnya anggota parlemen mungkin pula tidak seluruhnya dan mungkin pula seluruhnya bukan anggota parlemen.
(3) Kabinet dengan ketuanya bertanggung jawab kepada parlemen. Apabila kabinet atau seorang atau beberapa orang anggotanya mendapat mosi tidak percaya dari parlemen maka kabinet atau orang atau beberapa orang daripadanya harus mengundurkan diri.
(4) Sebagai imbangan dapat dijatuhkannya kabinet maka kepada negara (presiden, raja atau ratu) dengan saran atau nasehat perdana menteri dapat membubarkan parlemen.
Sementara ciri dari sistem pemerintahan parlementer menurut Moh.Kusnardi dan Hermaily Ibrahim,[14] adalah:
(1) Raja/Ratu stsu presiden adalah sebagai kepala negara. Kepala negara tidak bertanggung jawab atas segala kebijaksanaan yang diambil oleh Kabinet.
(2) Eksekutif bertanggung jawab kepada legislatif. Dan yang disebut eksekutif disini adalah kabinet. Kabinet harus meletakkan atau mengembalikan mandatnya kepada kepala negara manakala parlemen mengeluarkan pernyataan mosi tidak percaya kepada menteri tertentu atau seluruh menteri..
(3) Dalam sistem dua partai, yang ditunjuk sebagai pembentuk kabinet dan sekaligus sebagai perdana menteri adalah ketua partai politik yang memenangkan pemilihan umum. Sedangkan partai politik yang kalah akan berlaku sebagai pihak oposisi.
(4) Dalam sistem banyak partai, formatur kabinet harus membentuk kabinet secara koalisi, karena kabinet harus mendapat dukungan kepercayaan dari parlement.
(5) Apabila terjadi perselisihan antara kabinet dan parlemen, dan kepala negara berangapan kabinet berada pada pihak yang benar maka kepala negara akan membubarkan perlemen. Dan adalah menjadi tanggung jawab kabinet untuk melaksanakan pemilihan umum dalam tempo 30 hari setelah pembubaran itu. Sebagai akibatnya apabila partai politik yang menguasai parlmen menang dalam pemilihan umum tersebut maka kabinet akan terus memerintah, sebaliknya apabila partai oposisi yang menang maka dengan sendirinya kabinet mengembalikan mandatnya dan partai politik yang menang akan membentuk kabinet baru (bandingkan dengan pendapat Sri Soemantri, Sistem-sistem Pemerintahan Negara-negara ASEAN, hlm 35)
Dengan demikian hubungan antara eksekutif dan parlemen sangat erat karena disebabkan adanya pertanggung jawaban para menteri terhadap parlemen, maka setiap kabinet yang dibentuk harus memperoleh dukungan kepercayaan dengan suara yang terbanyak dari parlemen, yang berarti bahwa kebijaksanaan pemerintah atau kabinet tidak boleh menyimpang dari apa yang dikehendaki oleh parlemen.

Menurut Sri Soemantri,[15] pembentukkan kabinet adalah sukar apabila negara yang bersangkutan tidak menganut sistem dua partai, melainkan menganut sistem banyak partai. Pertama-tama Kepala Negara harus mengadakan pembicaraan telebih dahulu dengan partai-partai politik yang mempunyai wakil-wakil dalam badan legislatif. Dari pembicaraan itu pejabat tersebut kemudian mempunyai gambaran dan pandangan siapakah yang diberi tugas untuk menyusun kabinet. Setelah pembentuk kabinet diangkat oleh kepala negara, barulah formatur tersebut dapat memulai bekerja. Pada umumnya pekerjaan pembentuk kabinet diats memakan waktu lama. Hal ini disebabkan banyaknya partai-partai politik dan disamping itu partai politik dimana pembentuk kabinet menjadi anggotanya harus menentukan sikap, dengan partai politik manakah dia dapat bekerja sama. Kegagalan pembentuk kabinet dalam membentuk kabinet dapat berakibat adanya penggantian dalam personalia kabinet formatur. Kalau seandainya pembentukan kebinet berhasil, maka kabinet ini masih akan mendapat kesulitan yang lain yaitu antara lain kerjasama antara para menteri yang masing-masing mewakili partai politiknya. Itulah sebabnya mengapa sistem pemerintahan parlementer yang diikuti dengan sistem banyak partai dapat dipastikan selalu mengakibatkan adanya pemerintah yang tidak stabil.
Dalam negara yang menganut sistem parlemnter seperti tersebut diatas maka kekuasaan kehakiman secara prinsipil tidak digantungkan kepada lembaga eksekutif dan lembaga legislatif, karena tugasnya yang khusus serta untuk mencegah jangan sampai lembaga ini dipengaruhi oleh lembaga-lembaga lainnya dan agar ia tidak melakukan tugasnya dengan berat sebelah



3.2. Sistem Pemerintahan Presidensiil
Sistem Pemerintahan Presidensiil adalah sistem pemerintahan dimana pemerintah tidak bertanggung jawab kepada parlemen/badan legislatif. Dalam sistem pemerintahan tersebut terdapat ciri-ciri:
(1) Kekuasaan eksekutif dijabat oleh seorang pejabat, sedangkan pejabat-pejabat yang lain disebut menteri-menteri hanya pembantu presiden.
(2) Masa jabatan presiden ditentukan dengan tegas (fixed).
Selain ciri yang disebutkan diatas, adapula ciri yang lain yaitu:
(1) Presiden adalah kepala eksekutif yang memimpin kabinetnya yang semuanya diangkat olehnya dan bertanggung jaawab kepadanya. Ia sekaligus juga berkedudukan sebagai kepala negara (lambang negara) dengan masa jabatan yang telah ditentukan dengan pasti oleh undang-undang dasar.
(2) Presiden tidak dipilih oleh badan legislatif tetapi dipilih oleh sejumlah pemilih oleh karena itu ia bukan bagian dari badan legislatif seperti dalam sistem pemerintahan parlementer.
(3) Presiden tidak bertanggung jawab kepada badan legislatif dan dalam hubungan ini tidak dapat dijatuhkan oleh badan legislatif (di Amerika Serikat, Presiden dapat dijatuhkan melalui impeachment).
(4) Sebagai imbangannya, presiden tidak dapat atau tidak mempunyai kewenangan untuk membubarkan parlemen atau badan legislatif.
Didalam sistem pemerintahan presidensiil sebagaimana berlaku di Amerika Serikat, presiden dipilih oleh suatu badan pemilih (ellectoral collage). Apabila presiden talah terpilih maka pejabat tersebut setelsah melalui beberapa prosedur lalu mengangkat pembantu-pembantunya ayang bernama menteri. (the executive). Akan tetapi menteri tersebut tidak merupakan subyek terhadap kehendak kongres. Disamping itu presiden Amerika Serikat tidak dapat dijatuhkan atau diberhentikan oleh kongres, selama masa jabatannya telah ditentukan dalam konstitusi (4 tahun),[16] kecuali dalam hal tertentu. Apabila hal itu terjadi Badan Perwakilan Rakyat akan menuntut perbuatan presiden dan senatlah yang mengadilinya. Tetapi dalam hal adanya perbedaan pendapat mengenai kebijaksanaan politik dengan keinginan kongres, terhadap presiden tidak dikenakan sanksi.[17]
Tugas peradilan dilakukan oleh badan-badan peradilan yang pada asasnya tidak boleh dipengaruhi oleh kekuasaan lain. Hakimnya diangkat seumur hidup selama kelakuannya tidak tercela, dan ada sebagian yang dipilih oleh rakyat.[18]

3.3. Kelebihan dan kekuranganya
Kedua sistem ini mengenal keuntungan dan kelemahan.
Sistem Pemerintahan Parlementer
No
Keuntungan
Kalemahan
1
Penyesuaian antara pihak eksekutif dan legislatif mudah dicapai
Pertentangan antara keduanya bisa sewaktu waktu terjadi menyebabkan kabinet harus mengundurkan diri dan akibatnya pemerintah tidak stabil

Sistem Pemerintahan Presidensiil
No
Keuntungan
Kalemahan
1
Pemerintahan untuk jangka waktu yang ditentukan stabil
Bahwa kemungkinan terjadi apa yang ditetapkan sebagai tujuan negara menurut eksekutif bisa berbeda dari pendapat legislatif. Lagipula pemilihan umum diselenggarakan untuk memilih wakil rakyat dan untuk memilih presiden dilakukan untuk masa jabatan yang tidak sama, sehingga perbedaan pendapat yang timbul pada para pemilih dapat mempengaruhi sikap dan keadaan lembaga itu menjadi berlainan. Misalnya kebijaksanaan politik yang ditempuh oleh presiden Nixon bertentangan dengan pendapat Congres mengenai perang vietnam.

3.4 Sistem pemerintahan gabungan atau campuran
Selain kedua sistem pemerintahan tersebut diatas, masih ada sistem pemerintahan lainnya yang merupakan gabungan atau kombinasi ataupun campuran antara kedua sistem pemerintahan diatas yaitu sistem pemerintahan yang dianut dan berlaku di Swiss dan Indonesia sekarang ini menurut UUD 1945.
Berdasarkan konstitusi negara Swiss tahun 1874, kabinetnya dinamakan Federal Counsil dan terdiri atas tujuh orang anggota. Ketujuh orang menteri diatas diambil dari anggota-anggota Federal Assembly yang mawakili partai-partai politik yang mempunyai wakil dalam Federal Counsil. Pemerintah atau kabinet yang dinamakan Federal Counsil diatas mempunyai masa jabatan yang ditentukan yaitu empat tahun. Sebelum kabinet Swiss menyelesaikan tugasnya, badan eksekutif tidak dapat dijatuhkan oleh Federal Counsil. Sebenarnya sistem pemerintahan Swiss mirip dengan yang berlaku di Amerika Serikat kecuali tentang jumlah anggota badan eksekutifnya dan bahwa badan tersebut merupakan kolegial.
Tugas pembuat undang-undang berada dibawah pengawasan rakyat yang mempunyai hak pilh. Pengawasan itu dilakukan dalam bentuk referendumyang terduri dari referendum obligatoir dan fakultatif. Obligator jika perestujuan dari rakyat mutlak harus diberikan dalam pembuatan suatu peraturan undang-undang yang mengikat rakyat seluruhnya, karena sangat pentingnya. Contoh dari referendum obligatoir adalah persetujuan yang diberikan oleh rakyat terhadap pembuatan UUD. Sedangkan referendum fakultatif dilakukan terhadap undang-undang biasa, karena kurang pentingnya, setelah undang-undang itu diumumkan dalam jangka waktu yang ditentukan..Keuntungan dari sistem referendum ini ialah bahwa pada setiap masalah negara, rakyat langsung ikut serta menanggulanginya, akan tetapi kelemahannya bahwa tidak setiap masalah rakyat mampu, menyelesaikannya, karena untuk mengatasinya perlu pengetahuan yang cukup harus dimiliki oleh rakyat sendiri. sistem ini tidak bisa dilaksanakan jika banyak terdapat perbedaan faham antara rakyat dan eksekutif yang menyangkut kebijaksanaan politiknya. Keuntungan yang lain ialah bahwa kedudukan pemerintah itu stabil yang membawa akibat pemerintah akan memperoleh pengalaman yang baik dalam menyelenggarakan kepentingan rakyat.[19]
Sistem pemerintahan dalam negara Indonesia benar-benar mempunyai ciri-ciri yang terdapat di Amerika Serikat. Pertama-tama kita melihat bahwa badan eksekutifnya terdiri dari seorang pejabat saja yaitu Presiden. Presiden sebagai pemerintah memegang jabatannya untuk waktu tertentu (fixed). Menteri-menteri yang merupakan pembantunya seperti halnya di Amerika Serikat tidak merupakan subyek terhadap kehendak baik Dewan Perwakilan Rakyat maupun Majelis Permusyawaratan Rakyat. Dan presiden dipilih oleh pemilih-pemilih (kiescollege). Bukan oleh suatu lembaga negara.
Dari Pasal 4 dan 17 UUD 1945 telah menunjukkan bahwa Indonesia menganut sistem pemerintahan presidensiil. Presiden menjadi kepala eksekutif dan mengangkat dan memberhentikan menteri yang bertanggung jawab kepadanya. Namun demikian jika dilihat dari pasal 5 ayat (1) dalam hubungannya dengan pasal 21 ayat (2) UUD 1945 itu tidak menganut sistem pemerintahan presidensiil sepenuhnya karena menurut pasal-pasal tersebut, presiden dan Dewan Perwakilan Rakyat bersama-sama membuat udang-undang yang berarti sistem pemerintahan presidensiil di Indonesia itu bukan merupakan pelaksana dari ajaran Trias Politica.
Dilihat dari sudut pertanggung jawaban presiden kepada Majelis, maka berarti bahwa eksekutif dapat dijatuhkan oleh lembaga negara lain, maka sistem pemerintahan di bawah UUD 1945 dapat disebut ”quasi presidensiil” sesuai Pasal 3 UUD 1945 yaitu:
(1) Majelis Permusyawaratan Rakyat berwenang mengubah dan menetapkan Undang-undang Dasar
(2) Majelis Permusyawaratan Rakyat melantik Presiden dan/atau Wakil Presiden
(3) Majelis Permusyawaratan Rakyat hanya dapat memberhentikan Presiden dan/atau Wakil Presiden dalam masa jabatannya menurut Undang-Undang Dasar

Bedanya dengan di Amerika Serikat Usulan pemberhentian Presiden di Indonesia melalui proses sesuai Pasal 7A dan 7 B yaitu:
Pasal 7A

Presiden dan/atau Wakil Presiden dapat diberhentikan dalam masa jabatannya oleh Majelis Permusyawaratan Rakyat atas usul Dewan Perwakilan Rakyat, baik apabila terbukti telah melakukan pelanggaran hukum berupa pengkhianatan terhadap negara, korupsi, penyuapan, tindak pidana berat lainnya, atau perbuatan tercela maupun apabila terbukti tidak lagi memenuhi syarat sebagai Presiden dan/atau Wakil Presiden.***)

Pasal 7B

(1) Usul pemberhentian Presiden dan/atau Wakil Presiden dapat diajukan oleh Dewan Perwakilan Rakyat kepada Majelis Permusyawaratan Rakyat hanya dengan terlebih dahulu mengajukan permintaan kepada Mahkamah Konstitusi untuk memeriksa, mengadili, dan memutus Dewan Perwakilan Rakyat bahwa Presiden dan/atau Wakil Presiden telah melakukan pelanggaran hukum berupa pengkhianatan terhadap negara, korupsi, penyuapan, tindak pidana berat lainnya, atau perbuatan tercela; dan/atau pendapat bahwa Presiden dan/atau Wakil Presiden tidak lagi memenuhi syarat sebagai Presiden dan/atau Wakil Presiden
(2) Pendapat Dewan Perwakilan Rakyat bahwa Presiden dan/atau Wakil Presiden telah melakukan pelanggaran hukum tersebut ataupun telah tidak lagi memenuhi syarat sebagai Presiden dan/atau Wakil Presiden adalah dalam rangka pelaksanaan fungsi pengawasan Dewan Perwakilan Rakyat
(3) Pengajuan permintaan Dewan Perwakilan Rakyat kepada Mahkamah Konstitusi hanya dapat dilakukan dengan dukungan sekurang-kurangnya 2/3 dari jumlah anggota Dewan Perwakilan Rakyat yang hadir dalam sidang paripurna yang dihadiri oleh sekurang-kurangnya 2/3 dari jumlah anggota Dewan Perwakilan Rakyat.
(4) Mahkamah Konstitusi wajib memeriksa, mengadili, dan memutus dengan seadil-adilnya terhadap Dewan Perwakilan Rakyat tersebut paling lama sembilan puluh hari setelah permintaan Dewan Perwakilan Rakyat itu diterima oleh Mahkamah Konstitusi.
(5) Apabila Mahkamah Konstitusi memutuskan bahwa Presiden dan/atau Wakil Presiden terbukti melakukan pelanggaran hukum berupa pengkhianatan terhadap negara, korupsi, penyuapan, tindak pidana berat lainnya, atau perbuatan tercela; dan/atau terbukti bahwa Presiden dan/atau Wakil Presiden tidak lagi memenuhi syarat sebagai Presiden dan/atau wakil Presiden, Dewan Perwakilan Rakyat menyelenggarakan sidang paripurna untuk meneruskan usul pemberhentian Presiden dan/atau Wakil Presiden kepada Majelis Permusyawaratan Rakyat
(6) Majelis Permusyawaratan Rakyat wajib menyelenggarakan sidang untuk memutuskan usul Dewan Perwakilan Rakyat tersebut paling lambat tiga puluh hari sejak Majelis Permusyawaratan Rakyat menerima usul tersebut.
(7) Keputusan Majelis Permusyawaratan Rakyat atas usul pemberhentian Presiden dan/atau Wakil Presiden harus diambil dalam rapat paripurna Majelis Permusyawaratan yang dihadiri oleh sekurang-kurangnya ¾ dari jumlah anggota dan disetujui oleh sekurang-kurangnya 2/3 dari jumlah anggota yang hadir, setelah Presiden dan/atau Wakil Presiden diberi kesempatan menyampaikan penjelasan dalam rapat paripurna Majelis Permusyawaratan Rakyat.

Presiden juga tidak dapat membubarkan dewan perwakilan rakyat sesuai Pasal 7C hal ini berarti pula bahwa Indonesia bukan menganut sistem parlementer. Jadi apabila kita menggunakan istilah Sri Soemantri maka Indonesia menganut suatu combine system antara sistem parlementer dan presidensiil.

1 Simpulan
1. Sistem pemerintahan dapat dikelompokkan atas tiga sistem yaitu:
(1). Sistem parlementer atau disebut Cabinet Government, seperti mula-mula di Inggris yang kemudian diikuti oleh negara lainnya seperti Perancis, Belanda, Jerman Barat, Italia, India, Jepang, Republik Indonesia berdasarkan konstitusi RIS dan UUDS 1950 dan negara-negara lainnya.
(2) Sistem presidensiil, seperti di anut antara lain Amerika Serikat dan beberapa negara Amerika Latin
(3) Sistem pemerintahan yang tidak dapat digolongkan kedalam kedua sistem diatas ataupula dapat dimasukan kedalam kedua-duanya. Hal demikian ini dapat kita lihat dalam sistem pemerintahan di Swiss dan Republik Indonesia.
2. Semua sistem pemerintahan memiliki kelebihan dan kekurangannya masing-masing .
3. Sebab-sebab timbulnya perbedaan diantara sistem tersebut adalah karena latar belakang sejarah politik yang dialami oleh negara masing-masing itu berlainan.

DAFTAR PUSTAKA

Boer Mauna, Hukum Internasional Pengertian Peranan dan Fungsi dalam Era Dinamika Global, Alumni, Bandung, 2005
Carl J. Fredrich, Man and his Government, An Empirical Theory of Politics, New York, mc Graw Hill Book Coy, inc, 1963
Moh.Kusnardi dan Hermaily Ibrahim, Pengantar Hukum Tata Negara Indonesia, Sinar Bakti, Jakarta, 1988
Samuel Edward Finer, Comparative Government, 1974
Sri Soemantri, Perbandingan Hukum Tata Negara, Alumni, Bandung, 1971
..............., Sistem Dua Partai, Binacipta, Bandung, 1968
..............., Sistem-sistem Pemerintahan Negara-negara ASEAN
..............., Demokrasi Pancasila dan Implementasi UUD 1945, Alumni, Bandung, 1969








[1] Boer Mauna, Hukum Internasional Pengertian Peranan dan Fungsi dalam Era Dinamika Global, Alumni, Bandung, 2005, hlm 17
[2] Ibid, hlm 22
[3] Ibid
[4] Moh.Kusnardi dan Hermaily Ibrahim, Pengantar Hukum Tata Negara Indonesia, Sinar Bakti, Jakarta, 1988, hlm 171
[5] Sri Soemantri, Perbandingan Hukum Tata Negara, Alumni, Bandung, 1971, hlm 81-82
[6] Moh.Kusnardi dan Hermaily Ibrahim, Op.Cit, hlm 177
[7] Carl J. Fredrich, Man and his Government, An Empirical Theory of Politics, New York, mc Graw Hill Book Coy, inc, 1963, dalam Moh. Kusnardi dan Hermaily Ibrahim, Op.Cit, hlm 171
[8] Ibid, hlm 171
[9] Sri Soemantri, Sistem-Sistem Pemerintahan Negara-negara ASEAN, hlm 18-21
[10] Moh.Kusnardi dan Hermaily Ibrahim, Op.Cit, hlm 171
[11] Moh.Kusnardi dan Hermaily Ibrahim, Pengantar Hukum Tata Negara Indonesia, Sinar Bakti, Jakarta, 1988, hlm 171
[12] Sri Soemantri, Perbandingan Hukum Tata Negara, Alumni, Bandung, 1971, hlm 81-82
[13] Sri Soemantri, Op.Cit, hlm 81
[14] Moh.Kusnardi dan Hermaily Ibrahim, Op.Cit, hlm 175
[15] Sri Soemantri, Op.Cit, hlm 83
[16] Sri Soemantri, Op.Cit, hlm 84
[17] Moh.Kusnardi dan Hermaily Ibrahim, Op.Cit, hlm 177
[18] Ibid, hlm 178
[19] Moh.Kusnardi dan Hermaily Ibrahim, Op.Cit, hlm 179

Rabu, 20 Agustus 2008

MEMILIH CALON KEPALA DAERAH DAN WAKIL KEPALA DAERAH YANG SEHAT

KPUD Provinsi Maluku telah menetapkan pasangan calon kepala daerah dan wakil kepala daerah. Para pasangan calon beserta tim suksesnya pun mulai gerah, terlihat tidak sabaran untuk memulai star dan mengeluarkan jurus-jurus ampuhnya guna memenangkan Pemilukada meskipun, tahapan kampanye belum dimulai. Pengamat politik pun seakan tak ingin ketinggalan, mulai dari wacana, asumsi politik bahkan strategi pemenangan dengan hitung-hitungan matematika digelar mulai dari rumah kopi hingga perguruan tinggi hangat dibicarakan. Media massa pun hampir setiap hari memberitakan profil dan berbagai kemampuan serta kelebihan masing-masing pasangan calon. Sehingga bisa dapat dipastikan bahwa tidak ada lagi yang tidak diketahui oleh masyarakat tentang pasangan calon. Namun kendati pemilukada sudah di depan mata, dan masyarakat telah dicekoki dengan berbagai informasi, yakinkah kita bahwa kita tahu pasangan calon kepala daerah dan wakil kepala daerah yang akan kita pilih nanti adalah orang-orang yang sehat dan mampu memimpin Maluku lima tahun mendatang? sudah pasti jawabannya adalah tidak tahu karena yang tahu hal itu hanya KPUD dan Tim Dokter yang memeriksa pasangan calon kepala daerah dan wakil kepala daerah, plus pasangan calon itu sendiri.
Pemilukada adalah pesta demokrasi rakyat, ajang pemilihan kepala daerah dan wakil kepala daerah yang mampu mengembangkan inovasi, berwawasan ke depan dan siap melakukan perubahan ke arah yang lebih baik. Di pundak mereka terletak tugas berat pengembangan kehidupan demokrasi, keadilan, pemerataan, kesejahteraan masyarakat, memelihara hubungan yang serasi antara Pemerintah dan Daerah serta antar Daerah untuk menjaga keutuhan Negara Kesatuan Republik Indonesia. Demikian makna filosofis yang terkandung dalam UU No 32 Tahun 2004 beserta perubahannya, terakhir dengan UU No. 12 Tahun 2008 perubahan kedua atas UU No 32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah. Mengingat tugas berat tersebut dan peran startegisnya maka patutkah bila tanggung jawab ini diemban oleh orang yang sakit-sakitan. Olehnya itu sesuai amanat konstitusi maka calon kepala daerah dan wakil kepala daerah, haruslah orang-orang yang sehat secara jasmani maupun rohani.

Persyaratan sehat jasmani dan rohani
Tahap penetapan pasangan calon kepala daerah dan wakil kepala daerah telah dilalui, itu berarti para pasangan calon yang telah ditetapkan dinyatakan mampu dan memenuhi syarat sebagai pasangan calon (peserta pemilukada) oleh KPUD. Salah satu syarat tersebut adalah sehat jasmani dan rohani berdasarkan hasil pemeriksaan kesehatan menyeluruh dari tim dokter ( Pasal 58 huruf (e) UU No 32 Tahun 2004 yo Pasal 38 ayat 1 (e) PP No 6 Tahun 2005). Terlepas dari polimik hak politik (right to vote and rihgt to be candidate) adalah hak asasi yang tidak boleh dikurangi meski terhadap calon yang mengalami disabilitas namun realitas konstitusi kita mempersyaratkan sehat jasmani dan rohani. Sehingga dalam PP No. 6 Tahun 2005 diatur bahwa pemeriksaan kemampuan secara rohani dan jasmani sebagaimana dimaksud dalam Pasal 38 ayat (1) huruf e dilakukan oleh Tim Pemeriksa Khusus dari dan dilakukan di rumah sakit yang ditunjuk oleh KPUD (Pasal 39 ayat (1). Hasil pemeriksaan sebagaimana dimaksud pada ayat (1), disampaikan oleh Tim Pemeriksa Khusus kepada KPUD sebagai pembuktian kebenaran kelengkapan persyaratan calon. (Pasal 39 ayat (2).

Pengertian Sehat Jasmani dan Rohani
Pasal 1 butir 1 Undang-Undang No 23 tahun 1992 tentang Kesehatan menyatakan bahwa kesehatan adalah keadaan sejahtera dari badan, jiwa dan sosial yang memungkinkan setiap orang hidup produktif secara sosial dan ekonomis. Dalam arti sesungguhnya, sehat melingkupi fisik-mental-sosial. Karena definisi sehat bukan hanya tidak sakit. “ … Health is a state of complete physical, mental and social well-being, and not merely an absence of disease or infirmity…” (WHO).
Menurut DR. Dr. Fachmi Idris, M.Kes, Sehat fisik adalah komponen terpenting dari keadaan sehat secara keseluruhan. Sehat fisik artinya seluruh organ tubuh berada dalam ukuran sebenarnya dan berada dalam kondisi optimal, serta dapat berfungsi normal. Sehat secara fisik diukur dari parameter nilai-nilai normal dari tanda-tanda vital tubuh, antara lain: denyut nadi pada saat istirahat, tekanan darah.
Sehat fisik harus bersamaan dengan sehat secara mental. Ciri seseorang dinyatakan sehat secara mental, minimal meliputi: merasa puas dengan keadaan dirinya (tidak pernah merasa kecewa dengan keadaan dirinya); patuh pada aturan-aturan (dapat menerima dengan baik perbedaan antar sesama, mudah menerima kritik); mempunyai kontrol diri yang baik (tidak akan selalu didominasi oleh emosi, rasa kecewa dan marah).
Banyak perbedaan pendapat tentang sehat secara sosial (social well-being). Namun demikian secara umum disepakati, bahwa sehat secara sosial berkonotasi dengan kemampuan seseorang untuk membina hubungan keakraban dengan sesama, memiliki tanggung jawab menurut kapasitas yang dimilikinya, dapat hidup secara efektif dengan sesama, dan menunjukkan perilaku sosial yang penuh perhitungan.

Tujuan Penilaian Kesehatan
Penilaian kesehatan calon kepala daerah dan wakil kepala daerah bertujuan untuk menilai kesehatan para calon yang diajukan oleh Partai Politik atau gabungan Partai Politik, atau calon persorangan sehingga calon yang diterima adalah mereka yang memenuhi syarat mampu secara rohani dan jasmani untuk melaksanakan tugas dan kewajiban sebagai kepala daerah dan wakil kepala daerah. Mampu secara rohani dan jasmani dalam arti kesehatan adalah keadaan kesehatan (status kesehatan) jiwa dan jasmani yang bebas dari gangguan/disabilitas.

Prinsip dan Protokol Penilaian Kesehatan
Merujuk Pada Petunjuk Teknis Penilaian Kemampuan Rohani dan Jasmani Pasangan calon Kepala Daerah dan Wakil Kepala Daerah yang dirumus oleh PB IDI Penilaian tersebut dilaksanakan dengan memperhatikan prinsip pemeriksaan kesehatan yang memenuhi persyaratan obyektif-ilmiah berlandaskan ilmu kedokteran berbasis bukti (evidence-based medicine). Pemeriksaan kesehatan tersebut menggunakan protokol yang sesuai dengan standar profesi kedokteran, meliputi pemeriksaan­: Anamnesis dan analisis riwayat kesehatan; Pemeriksaan psikiatrik; Pemeriksaan jasmani meliputi Interna; Jantung dan pembuluh darah; Paru; Bedah; Urologi; Ortopedi; Obstetri ginekologi; Saraf; Mata:Telinga hidung dan tenggorokan. Pemeriksaan Penunjang meliputi Ultrasonografi abdomen; Elektro Kardio Grafi dan Treadmill Test; Ekokardiografi dan Dopler Karotis; Foto roentgen thoraks; Spirometri; Audiometri bila diperlukan;MRI/CT Scan bila diperlukan; USG transvaginal bila diperlukan;Mammograf/USG payudara bila diperlukan. Pemeriksaan laboratorium meliputi pemeriksaan darah dan urine: Hematologi lengkap; Urinalisis lengkap; Tes faal hati; Tes faal ginjal; Profil lipid; Metabolisme karbohidrat;Tumor marker atas indikasi; Papsmear: sitologi bagi calon yang perempuan.

Merubah Paradigma
Selama ini Keterangan hasil penilaian kesehatan merupakan pendapat dari Tim Penilaian Kesehatan yang disampaikan kepada KPUD untuk dijadikan bahan pertimbangan. Dalam kaitannya dengan rahasia kedokteran, rekam medis hasil pemeriksaan kesehatan menjadi arsip Tim Dokter dan disimpan di rumah sakit tempat pemeriksaan, sedangkan keterangan hasil pemeriksaan lengkap dikirimkan kepada KPUD dan menjadi tanggungjawab KPUD. KPUD tidak memiliki kewajiban hukum untuk mempublikasikannya karena tidak diatur dalam UU. Perlakuan hukum berbeda jika dibandingkan dalam hal persyaratan menyerahkan daftar kekayaan pribadi dan kesediaan untuk diumumkan (Pasal 58 huruf i). Demikianpun tentang dana kampanye. Hasil audit diumumkan oleh KPUD paling lambat 3 (tiga) hari setelah KPUD menerima laporan hasil audit dari kantor akuntan publik. Laporan dana kampanye yang diterima KPUD wajib dipelihara dan terbuka untuk umum (Pasal 84 ayat (5), dan (6). Hal ini jelas menandakan adanya diskrimnasi atas hak publik untuk mengetahui kesehatan dari calon pejabat publik. Paradigma menyampaikan visi misi dan sekedar menjual janji-janji dalam kampanye yang belum tentu ditepati, juga harus diubah. Pasangan calon harus berani membuka diri dan menyatakan dirinya sehat dan siap mengemban tugas. Saat penyampaian visi misi digedung DPRD maupun dikala kampanye, kesehatan harus dijadikan prioritas. Hal ini harus menjadi parameter penilaian dan kredit point tersendiri dalam menarik simpati publik. Dengan demikian masyarakat benar-benar dapat memilih mana calon kepala daerah dan wakil kepala daerah yang sehat dalam arti sesungguhnya. Sepanjang hal tersebut belum dapat dilakukan maka tentunya harapan besar rakyat hanya dapat digantungkan pada komitmen Tim Dokter untuk menjunjung tinggi moral, hukum dan sumpah serta etika profesi untuk bekerja jujur dan profesional. Tak ada salahnya sekedar mengingatkan bahwa dibalik itu semua ada konsekwensinya yaitu Pasal 115 ayat (6) ”Setiap orang yang dengan sengaja memberikan keterangan yang tidak benar atau menggunakan surat palsu seolah-olah sebagai surat yang sah tentang suatu hal yang diperlukan bagi persyaratan untuk menjadi pasangan calon kepala daerah/wakil kepala daerah, diancam dengan pidana penjara paling singkat 36 (tiga puluh enam) bulan dan paling lama 72 (tujuh puluh dua) bulan dan denda paling sedikit Rp36.000.000,00 (tiga puluh enam juta rupiah) dan paling banyak Rp72.000.000,00 (tujuh puluh dua juta rupiah).” Pemimpin yang sehat diharapkan dapat membangun rakyat yang sehat (fisik, mental, dan social well-being). Kalaulah bangsa Indonesia harus disehatkan maka pemimpin yang sehat adalah suatu kemutlakan. Karena sehat sesungguhnya merupakan modal dasar kehidupan bangsa menuju Kebangkitan Nasional Baru. Dan hanyalah bangsa yang sehat yang dapat menjadi bangsa terhormat.

MALPRAKTIK Vs TAKDIR

PAGI itu seperti biasa Dokter Nefa melaksanakan kegiatan rutinitasnya visite memeriksa pasien-pasien yang sedang rawat inam di puskesmas. Dokter Nefa saat itu dibantu oleh Suster Novi ketika tiba-tiba datang seorang suami istri membawa putrinya yang berusia 10 tahun dengan tergopoh-gopoh.
“Anak ini kenapa, Pak ?” tanya Dokter Nefa dengan penuh ingin tahu.
“Anak saya ini sudah beberapa hari demam dan sekarang sudah tak sadarkan diri, Dok !” jelas ayah anak itu dengan cemas dan memelas memohon pertolongan dokter.
“Sus tolong infusnya segera dipasang”. Perintah Dokter Nefa kepada Suster Novi, sambil melakukan tensi pada pasien. Ternyata Dokter Nefa tidak dapat mengukur sistole dan diastole. Dipegangnya tangan pasien ternyata tubuh pasien agak dingin. Dia lihat pasien masih bernafas. Dirabanya denyut jantung pada nadi ditangan kiri pasien, namun tidak teraba. Dia buka mata pasien terlihat ada subkonjungtiva bleeding (perdarahan kecil) dan pada rongga hidung ada keluar sedikit darah. Dia juga melihat ada bintik-bintik merah kecil tersebar dilengan pasien.
“Infusnya juga susah dipasang Dok,” ujar Suster Novi dengan nada cemas.
“Cepat periksa Hb dan Trombositnya, Sus,” perintah Dokter Nefa sambil dengan cekatan mengambil alih tugas Suster Novi. Baru kali ini terlihat Dokter Nefa begitu khawatir menghadapi kondisi pasiennya. Dengan cepat Dokter Nefa mencari vena (pembuluh darah). Namun ternyata semua vena pasien colaps, mengkerut dan susah untuk dimasukkan jarum infus. Terpaksa dilakukan vena seksi, menyobek kulit untuk mencari vena tersebut, namun tiba-tiba pasien berhenti bernafas. Dokter Nefa langsung memeriksa pupil penderita dan terlihat myosis. Dia tekan arteri carotis (pembuluh darah dileher) tidak ada denyutan. Seketika itu juga Dokter Nefa terduduk sedih dan meneteskan air mata. Kepada kedua orang tua anak itu dijelaskan bahwa anak mereka menderita demam berdarah grade empat. Dokter sudah berusaha semaksimal mungkin, tetapi Tuhan berkehendak lain. Akhirnya walaupun berat hati ditinggal buah hati tercinta, mereka tetap tabah menerima kepergian anaknya dengan ikhlas.
Inilah yang disebut takdir, meskipun kita sudah berusaha dengan penuh optimisme namun kita semua hanya dapat berikhtiar tanpa mampu memastikan hasil akhir dari suatu upaya medis dan juga harus disadari bahwa masih banyak hal-hal yang belum kita fahami dalam kehidupan ini (et causa ignota).
Pada kasus yang lain, ada seorang anak lelaki berusia enam tahun dibawa ke UGD sebuah rumah sakit oleh ayahnya. Anak tersebut jatuh dari sebuah pohon di halaman belakang rumahnya. Ia mengalami cedera yang tampak seperti luka kecil dibagian pahanya, terlihat ada darah yang memancar keluar dari sumber luka itu. Saat itu keadaan di UGD sangat sibuk karena dibanjiri pasien. Setelah menunggu tiga jam, anak tersebut baru mendapat perawatan dan pengobatan. Setelah luka anak itu dijahit kemudian oleh dokter diperbolehkan pulang. Pada hari berikutnya anak tersebut mengalami demam dan tungkai yang cedera membengkek. Orang tua anak ini kembali membawanya ke dokter yang merawatnya, hasilnya dirujuk ke rumah sakit lain. Di rumah sakit ini, dilakukan bedah eksplorasi pada luka dan ditemukan serpihan kayu sepanjang 3 cm. Namun anak tersebut terlanjur mengalami nekrotik pada fasia (jaringan daging membusuk). Meskipun telah diberikan antibiotik, oksigen hiperbalik dan pembedahan berulang, sebagian besar tubuh anak itu telah terkena penyakit kerusakan jaringan. Akhirnya ia diamputasi dan akibat infeksi sistemik, ia juga mengalami buta sebagian dan kerusakan pada otak.
Pada kasus kedua ini tentu tidak dapat dikatakan bahwa ini merupakan takdir. Kegagalan mendapatkan riwayat kesehatan yang adekuat, yang dapat memberikan peringatan kemungkinan adanya serpihan kayu, tidak melakukan tindakan eksplorasi luka untuk menemukan debris dan tidak dilakukan cumputed tomography (CT) atau ultrasonografi untuk mengkaji serpihan kayu yang tertinggal didalam luka sebelum dijahit, adalah tindakan malpraktik. Fakta bahwa UGD sangat sibuk pada hari itu bukanlah alasan pembenar untuk memberikan perawatan dibawah standar karena semua pasien berhak mendapatkan perawatan seksama dan intervensi lain yang sesuai dan patut.
Dari sudut pandang hukum apabila perlakuan medis telah dilakukan dengan benar dan patut menurut standar profesi, dan standar operasional maka meskipun tanpa hasil penyembuhan yang diharapkan, tidaklah melahirkan malpraktik. Namun apabila setelah perlakuan medis dilakukan terjadi keadaan tanpa hasil sebagaimana diharapkan (tidak sembuh) atau menjadi lebih parah sifat penyakitnya disebabkan perlakuan medis yang menyalahi standar profesi dan standar operasional atau prinsip-prinsip umum kedokteran maka dokter dapat dianggap melakukan malpraktik.
Pasien berhak menuntut penggantian kerugian atas malpraktik dokter melalui gugatan perdata sebagai perbuatan wanprestasi (Pasal 1243 BW) dan perbuatan melawan hukum (Pasal 1365 BW) serta apabila akibat perbuatan tersebut sampai menimbulkan luka atau kematian maka terbentuk pertanggung jawaban pidana yang wujudnya bukan sekedar penggantian kerugian saja tetapi juga pemidanaan/strafbaar (Pasal 359 atau 360 KUHP).
Ancaman pidana atas suatu perbuatan yang dilakukan dengan sengaja (doleus) dan dengan tidak sengaja (culpoos) berbeda jauh. Ancaman pidana Pasal 338 KUHP bila dilakukan dengan sengaja, maksimum 15 tahun penjara namun atas obyek yang sama pada Pasal 359 KUHP yakni nyawa dan akibat yang sama yaitu menyebabkan hilangnya nyawa orang lain, maksimum 5 tahun penjara bila dilakukan dengan tidak sengaja.
Profesi kedokteran adalah bidang pekerjaan profesional yang mempunyai ciri utama keahlian profesi, kehati-hatian, tanggung jawab, dan kesejawatan. Dan dalam menjalankan praktik profesinya, didasarkan pada perilaku ingin berbuat baik demi kesembuhan pasien (doing good) dan tidak ada niat untuk menyakiti, mencederai, dan merugikan pasien apalagi membunuh (primum non nocere). Olehnya itu Prof Dr Indrianto Seno Adji SH berpendapat bahwa kelalaian yang sangat besar (tort/gross negligence) oleh dokter masuk dalam lingkup hukum pidana. Namun tidak setiap kelalaian/kesalahan dokter serta-merta dianggap sebagai malapraktik sehingga harus dijerat dengan hukum pidana.
Tidak semua akibat buruk penanganan medis (adverse events or bad result) bisa menyebabkan malpraktik. Ada 3 penanganan medis yang bukan malpraktik. Pertama, kejadian buruk yang pasien darita sudah diketahui ilmu kedokteran dan diterima semua khalayak (acceptable risk) contohnya minum obat batuk ada efek samping mengantuk atau pasien kanker yang mengalami penyinaran akan mengalami kebotakan. Kedua, resiko medis tersebut sudah diinformasikan oleh dokter kepada pasien atau keluarganya dan disetujui (informed consent). Ketiga, adalah yang disebut dengan kejadian buruk nir laik bayang (untoward result or unforesseeable) atau musibah medik. Kejadian buruk ini terjadi tanpa dokter mampu membayangkan atau memperkirakan sebelumnya hal itu terjadi, kendati dokter sudah cukup hati-hati sesuai dengan langkah-langkah baku dalam srtandar profesi dan standar operasional. Sebagai contoh Sindroma Steven Johnson yaitu ketika seseorang diberi suntikan atau obat, tiba-tiba timbul efek pada tubuh yang tidak biasa. Padahal, obat tersebut bila diberikan pada ribuan atau jutaan orang lain tidak memberikan efek samping yang buruk, bahkan obat tadi berkhasiat sehingga ribuan bahkan jutaan orang menjadi sembuh. Kejadian seperti ini benar-benar amat langka (hanya satu dari ribuan atau jutaan orang).
Ada juga kesalahan dokter yang tidak bisa disebut kesalahan hukum, yakni kekeliruan atau kemelesetan dokter (error of judgment). Diagnosisnya meleset karena keterbatasan peralatan medis, contoh kekeliruan mendiagnosis tuberkulosis dini di paru-paru pasien yang disebabkan karena membaca foto rontgen dada serial depan-belakang yang rutin dipakai sebagai standard, padahal bila memakai CT (computed tomografi) Scan, hal itu akan tampak jelas dan diagnosis akan lebih akurat.
Pada dasarnya, dengan konseling atau informasi yang memadai dari dokter, pasien atau keluarganya bisa menilai setiap langkah yang dilakukan dokter. Saat ini informed consent (persetujuan tindakan medis) semakin penting disediakan oleh dokter serta dipahami sepenuhnya oleh pasien/keluarganya sehingga tidak setiap kekecewaan dari hasil pelayanan medis menjadi kasus malapraktek.
Informasi ini hendaknya dapat dijadikan sebagai introspeksi bagi kita semua agar dapat menyikapai isu malpraktik dengan bijaksana dalam koridor hukum.
Seandainya manusia itu sempurna maka tak kan ada dokter yang digugat, tak akan ada polisi, pengacara, jaksa atau hakim yang gegabah, pun tak akan ada dendam dan sumpah serapah. Kalaulah manusia tahu tidak banyak yang ia tahu maka tentulah dokter akan berdoa dan pasienpun akan mengamini bahwa kesembuhan ada ditangan-Mu dan ajal hanyalah atas perkenan-Mu.

MALPRAKTEK DOKTER MENURUT DIAGNOSA HUKUM

Perkembangan ilmu kedokteran yang semakin pesat serta kecanggihan peralatan medis yang serba modern telah mempermudah pekerjaan dokter dalam melaksanakan profesinya dengan baik. Di R.S. St. Luke, Houston Texas, Amerika Serikat, para dokter disana bisa melakukan operasi jantung di 11 meja operasi sekaligus dengan frekuensi operasi sebanyak 30 kali sehari. Suatu pekerjaan massal yang biasanya hanya ada dalam kegiatan produksi pabrik. Ini baru sebagian kecil dari sekian banyak kesuksesan dalam bidang kedokteran yang kita dengar diabad ini.
Keadaan tersebut melahirkan opini bahwa tuntutan akan kebutuhan jasa profesi dokter dalam dinamika kehidupan masyarakat yang mendambakan derajat kesehatan yang tinggi selalu diiringi dengan suatu anggapan bahwa dokter adalah manusia setengah Tuhan, dokter akan mampu memberikan pelayanan kesehatan dan pengobatan yang maksimal. Namun kenyataannya seringkali keinginan untuk bisa sembuh, malah yang didapat justru kekecewaan karena sakitnya bertambah parah atau bahkan meninggal dunia. Ketika sesuatu yang tidak diharapkan ini terjadi, muncul sikap yang beragam dari keluarga. sebagian ada yang menerimanya dengan lapang dada dan menganggapnya sebagai takdir tanpa ‘reserve’ namun tidak sedikit pula yang antipati, sedih, kecewa bahkan marah dan mempertanyakan secara kritis, apakah karena ada kesalahan dokter ?
Maraknya isu malparktek dokter belakangan ini sedikit banyak telah mempengaruhi hubungan dokter dan pasien yang semula dekat dan saling mempercayai telah berubah menjadi sikap “An eye, for an eye” alias “nyawa dibayar nyawa” hal ini kian memicu krisis malpraktek karena para dokter juga akan memperagakan strategi “defensif medicine” alias perlawanan pola bertahan ala cattenacio (sistem grendel gaya Italia, setiap gerakan lawan ‘dikunci’ satu persatu ) sehingga jangan kaget kalau akhirnya dokter akan meminta agar pasien terlebih dahulu harus memeriksakan darah, urine dan lain-lain karena takut salah mendiagnosa padahal cuma sakit flu, tapi apa mau dikata kocek pasien sudah terlanjur terkuras. Kalau sudah begini maka masyarakatpun beranggapan bahwa pergi ke dokter kok sama seperti pergi ke rentenir.
Permasalahan ini padahal dapat diminimalisir kalau kita semua memahami persoalan malpraktek secara baik dan benar.

Pengertian malpraktek
Secara harfiah, istilah malpraktek, malpractice, atau malpraxis artinya praktik yang buruk (bad practice), atau praktek yang jelek (Hermin Hadiati Koeswadji, 1998). Malpraktek adalah prilaku menyimpang atau prilaku tidak etis /tidak bermoral melanggar kewajiban hukum; praktek jahat profesi; kekurangterampilan yang tak layak atau tidak pantas dari seorang profesional (Henry Campbel Black, et al. dalam Black’s Law Dictionary, 5th ed, West Publishing Co, 1979). Apabila istilah tersebut dirangkai dengan kata ‘dokter’ menjadi malpraktek kedokteran. Istilah ini pertama kali digunakan oleh Sir William Blackstone tahun 1768 dikatakan bahwa ...that, malapraxis is great misdemeanour and offence at common law whether it be for curiosity or experiment, or by neglect; because it breaks the trust which the party had placed in his physician, and tends to the patient’s destruction (John Healy, 1999).
Menurut Ikatan Dokter Sedunia (World Medical Association/WMA) pada pertemuan internasional ke 44 di Marbella Spanyol 1992 menyebutkan bahwa malpraktek dokter mencakup kegagalan dokter mamatuhi standar pelayanan medis, atau kekurangcakapan, atau kelalaian dalam memberi pelayanan kepada pasiennya sehingga menjadikannya penyebab langsung suatu cedera pada pasien tersebut.

Malpraktek dokter menurut undang-undang kesehatan dan praktik kedokteran
Kartono Muhammad berpendapat bahwa malpraktek kedokteran adalah istilah hukum (Oemar Seno Adji, 1991). Sayangnya Undang-undang nomor 29 Tahun 2004 tentang Praktik Kedokteran tidak memuat ketentuan tentang malpraktek kedokteran. Pasal 66 ayat (1) hanya mengandung kalimat yang mengarah pada aspek prosedural, yakni: “Setiap orang yang mengetahui atau kepentingannya dirugikan atas tindakan dokter atau dokter gigi dalam menjalankan praktik kedokteran dapat mengadukan secara tertulis kepada Ketua Majelis Kehormatan Disiplin Kedokteran Indonesia”. Secara normatif pasal ini hanya memberikan dasar hukum untuk melaporkan dokter atau dokter gigi ke organisasi profesinya apabila terdapat indikasi tindakan dokter yang membawa kerugian. Bukan pula merupakan landasan yuridis untuk dapat menuntut ganti rugi atas tindakan dokter. Pasal ini hanya bermakna untuk tujuan hukum administrasi praktik kedokteran.
Undang-undang Nomor 23 Tahun 1992 tentang Kesehatan, pada Pasal 54 ayat (1) hanya menentukan bentuk sanksi, sebagai bentuk pertanggung jawaban dokter yakni: “Terhadap tenaga kesehatan yang melakukan kesalahan atau kelalaian dalam melaksanakan profesinya dapat dikenakan tindakan disiplin”. Rumusannya hanya untuk lebih memperjelas istilah kepentingan yang dirugikan atas tindakan dokter dengan istilah melakukan kesalahan atau kelalaian dalam melaksanakan profesi. Tidak dijelaskan apa artinya, atau apa isinya sehingga kriteria kesalahan atau kelalaian dalam melaksanakan profesi juga masih menjadi tidak jelas. Apalagi norma pasal inipun sudah tidak berlaku lagi karena berlakunya Pasal 85 Undang-undang No 29 Tahun 2004 tentang Praktik Kedokteran
Dengan demikian jika dilihat dari kedua undang-undang diatas tidak memberikan kejelasan tentang hakekat pengertian malpraktek kedokteran.

Malpraktek dokter dalam frame teori hukum
Pemahaman malpraktek kedokteran dari frame teori hukum umumnya menyangkut tiga aspek pokok yakni: (1) sikap batin pembuat, (2) aspek perlakuan medis, dan (3) aspek akibat perlakuan.
Syarat dalam hal sikap batin dokter ada tiga sikap yaitu sikap batin mengenai wujud perbuatan (baik aktif maupun pasif), sikap batin mengenai sifat melawan hukum dan sikap batin mengenai akibat dari wujud perbuatan. Unsur –unsur yang menyertainya dapat berupa kesengajaan (dolus) dapat juga berupa kealpaan atau kelalaian (culpa). Malpraktek dapat terjadi bilamana dokter karena kedudukannya, jabatan atau tugas pekerjaannya dan lain-lain menyebabkan dokter dalam keadaan tertentu secara hukum diwajibkan untuk berbuat. Karena tidak berbuat maka ia bersalah dan memikul tanggung jawab hukum apabila menimbulkan kerugian.
Perbuatan dalam perlakuan medis harus mengandung sifat melawan hukum. sifat melawan hukum dapat berupa: dilanggarnya standar profesi kedokteran, dilanggarnya standar prosedur operasional, dilanggarnya hukum seperti praktek tanpa Surat Tanda Registrasi dan Surat Izin Praktik, dilanggarnya kode etik kedokteran, dilanggarnya prinsip-prinsip umum kedokteran, dilanggarnya kesusilaan umum, terapi tidak sesuai dengan kebutuhan medis pasien, praktik kedokteran tanpa informed consent dan lain-lain.
Aspek akibat harus akibat yang merugikan pasien baik mengenai kesehatan fisik atau mental maupun nyawa pasien. Munir Fuadi merinci beberapa akibat seperti rasa sakit, luka, cacat, kematian, kerusakan pada tubuh dan jiwa, atau kerugian lain yang diderta oleh pasien selama proses perawatan (Munir Fuadi, 2005). Akibat tersebut sekaligus juga merupakan unsur tindak pidana (untuk malpraktek pidana) atau unsur perbuatan melawan hukum/wanprestasi (untuk malpraktek perdata).
Unsur akibat adalah penentu (essensielia) ada atau tidaknya malpraktek kedokteran. Tiada malpraktek kedokteran tanpa akibat kerugian pasien. Dan akhirnya harus ada pertanggung jawaban hukum. fokus pertanggung jawaban hukum dokter terletak pada akibat. Pertanggung jawaban hukum dokter juga bisa diakibatkan kerena kesalahan pegawai atau perawat yang tunduk dibawah perintahnya (vicarious liability). Berat ringannya pertanggung jawaban bergantung pada berat ringannya akibat yang diderita oleh pasien. Namun harus juga dilihat secara proposional dan obyektif
Dengan demikian dapat disimpulkan bahwa malpraktek kedokteran mengandung makna sebagai berikut: Adanya wujud perbuatan (aktif maupun pasif) dalam praktik kedokteran, yang dilakukan oleh dokter atau orang yang ada dibawah perintahnya, dilakukan terhadap pasien, dengan sengaja maupun kelalaian, yang bertentangan dengan standar profesi kedokteran atau melanggar hukum atau dilakukan tanpa wewenang baik disebabkan tanpa informed consent tanpa STR, SIP atau dilakukan tidak sesuai dengan kebutuhan medis pasien, atau membocorkan rahasia pasien yang menimbulkan akibat (causaal verband) atas kerugian bagi kesehatan fisik, mental maupun nyawa pasien. Oleh karena itu melahirkan pertanggung jawaban hukum bagi dokter.
Kealpaan adalah manusiawi bukan untuk dicerca namun bukan pula untuk menjadi pembenar kala berbuat salah adalah bijak jika ia hadir sebagai pengingat bahwa manusia tak ada yang sempurna