Rabu, 20 Agustus 2008

MEMILIH CALON KEPALA DAERAH DAN WAKIL KEPALA DAERAH YANG SEHAT

KPUD Provinsi Maluku telah menetapkan pasangan calon kepala daerah dan wakil kepala daerah. Para pasangan calon beserta tim suksesnya pun mulai gerah, terlihat tidak sabaran untuk memulai star dan mengeluarkan jurus-jurus ampuhnya guna memenangkan Pemilukada meskipun, tahapan kampanye belum dimulai. Pengamat politik pun seakan tak ingin ketinggalan, mulai dari wacana, asumsi politik bahkan strategi pemenangan dengan hitung-hitungan matematika digelar mulai dari rumah kopi hingga perguruan tinggi hangat dibicarakan. Media massa pun hampir setiap hari memberitakan profil dan berbagai kemampuan serta kelebihan masing-masing pasangan calon. Sehingga bisa dapat dipastikan bahwa tidak ada lagi yang tidak diketahui oleh masyarakat tentang pasangan calon. Namun kendati pemilukada sudah di depan mata, dan masyarakat telah dicekoki dengan berbagai informasi, yakinkah kita bahwa kita tahu pasangan calon kepala daerah dan wakil kepala daerah yang akan kita pilih nanti adalah orang-orang yang sehat dan mampu memimpin Maluku lima tahun mendatang? sudah pasti jawabannya adalah tidak tahu karena yang tahu hal itu hanya KPUD dan Tim Dokter yang memeriksa pasangan calon kepala daerah dan wakil kepala daerah, plus pasangan calon itu sendiri.
Pemilukada adalah pesta demokrasi rakyat, ajang pemilihan kepala daerah dan wakil kepala daerah yang mampu mengembangkan inovasi, berwawasan ke depan dan siap melakukan perubahan ke arah yang lebih baik. Di pundak mereka terletak tugas berat pengembangan kehidupan demokrasi, keadilan, pemerataan, kesejahteraan masyarakat, memelihara hubungan yang serasi antara Pemerintah dan Daerah serta antar Daerah untuk menjaga keutuhan Negara Kesatuan Republik Indonesia. Demikian makna filosofis yang terkandung dalam UU No 32 Tahun 2004 beserta perubahannya, terakhir dengan UU No. 12 Tahun 2008 perubahan kedua atas UU No 32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah. Mengingat tugas berat tersebut dan peran startegisnya maka patutkah bila tanggung jawab ini diemban oleh orang yang sakit-sakitan. Olehnya itu sesuai amanat konstitusi maka calon kepala daerah dan wakil kepala daerah, haruslah orang-orang yang sehat secara jasmani maupun rohani.

Persyaratan sehat jasmani dan rohani
Tahap penetapan pasangan calon kepala daerah dan wakil kepala daerah telah dilalui, itu berarti para pasangan calon yang telah ditetapkan dinyatakan mampu dan memenuhi syarat sebagai pasangan calon (peserta pemilukada) oleh KPUD. Salah satu syarat tersebut adalah sehat jasmani dan rohani berdasarkan hasil pemeriksaan kesehatan menyeluruh dari tim dokter ( Pasal 58 huruf (e) UU No 32 Tahun 2004 yo Pasal 38 ayat 1 (e) PP No 6 Tahun 2005). Terlepas dari polimik hak politik (right to vote and rihgt to be candidate) adalah hak asasi yang tidak boleh dikurangi meski terhadap calon yang mengalami disabilitas namun realitas konstitusi kita mempersyaratkan sehat jasmani dan rohani. Sehingga dalam PP No. 6 Tahun 2005 diatur bahwa pemeriksaan kemampuan secara rohani dan jasmani sebagaimana dimaksud dalam Pasal 38 ayat (1) huruf e dilakukan oleh Tim Pemeriksa Khusus dari dan dilakukan di rumah sakit yang ditunjuk oleh KPUD (Pasal 39 ayat (1). Hasil pemeriksaan sebagaimana dimaksud pada ayat (1), disampaikan oleh Tim Pemeriksa Khusus kepada KPUD sebagai pembuktian kebenaran kelengkapan persyaratan calon. (Pasal 39 ayat (2).

Pengertian Sehat Jasmani dan Rohani
Pasal 1 butir 1 Undang-Undang No 23 tahun 1992 tentang Kesehatan menyatakan bahwa kesehatan adalah keadaan sejahtera dari badan, jiwa dan sosial yang memungkinkan setiap orang hidup produktif secara sosial dan ekonomis. Dalam arti sesungguhnya, sehat melingkupi fisik-mental-sosial. Karena definisi sehat bukan hanya tidak sakit. “ … Health is a state of complete physical, mental and social well-being, and not merely an absence of disease or infirmity…” (WHO).
Menurut DR. Dr. Fachmi Idris, M.Kes, Sehat fisik adalah komponen terpenting dari keadaan sehat secara keseluruhan. Sehat fisik artinya seluruh organ tubuh berada dalam ukuran sebenarnya dan berada dalam kondisi optimal, serta dapat berfungsi normal. Sehat secara fisik diukur dari parameter nilai-nilai normal dari tanda-tanda vital tubuh, antara lain: denyut nadi pada saat istirahat, tekanan darah.
Sehat fisik harus bersamaan dengan sehat secara mental. Ciri seseorang dinyatakan sehat secara mental, minimal meliputi: merasa puas dengan keadaan dirinya (tidak pernah merasa kecewa dengan keadaan dirinya); patuh pada aturan-aturan (dapat menerima dengan baik perbedaan antar sesama, mudah menerima kritik); mempunyai kontrol diri yang baik (tidak akan selalu didominasi oleh emosi, rasa kecewa dan marah).
Banyak perbedaan pendapat tentang sehat secara sosial (social well-being). Namun demikian secara umum disepakati, bahwa sehat secara sosial berkonotasi dengan kemampuan seseorang untuk membina hubungan keakraban dengan sesama, memiliki tanggung jawab menurut kapasitas yang dimilikinya, dapat hidup secara efektif dengan sesama, dan menunjukkan perilaku sosial yang penuh perhitungan.

Tujuan Penilaian Kesehatan
Penilaian kesehatan calon kepala daerah dan wakil kepala daerah bertujuan untuk menilai kesehatan para calon yang diajukan oleh Partai Politik atau gabungan Partai Politik, atau calon persorangan sehingga calon yang diterima adalah mereka yang memenuhi syarat mampu secara rohani dan jasmani untuk melaksanakan tugas dan kewajiban sebagai kepala daerah dan wakil kepala daerah. Mampu secara rohani dan jasmani dalam arti kesehatan adalah keadaan kesehatan (status kesehatan) jiwa dan jasmani yang bebas dari gangguan/disabilitas.

Prinsip dan Protokol Penilaian Kesehatan
Merujuk Pada Petunjuk Teknis Penilaian Kemampuan Rohani dan Jasmani Pasangan calon Kepala Daerah dan Wakil Kepala Daerah yang dirumus oleh PB IDI Penilaian tersebut dilaksanakan dengan memperhatikan prinsip pemeriksaan kesehatan yang memenuhi persyaratan obyektif-ilmiah berlandaskan ilmu kedokteran berbasis bukti (evidence-based medicine). Pemeriksaan kesehatan tersebut menggunakan protokol yang sesuai dengan standar profesi kedokteran, meliputi pemeriksaan­: Anamnesis dan analisis riwayat kesehatan; Pemeriksaan psikiatrik; Pemeriksaan jasmani meliputi Interna; Jantung dan pembuluh darah; Paru; Bedah; Urologi; Ortopedi; Obstetri ginekologi; Saraf; Mata:Telinga hidung dan tenggorokan. Pemeriksaan Penunjang meliputi Ultrasonografi abdomen; Elektro Kardio Grafi dan Treadmill Test; Ekokardiografi dan Dopler Karotis; Foto roentgen thoraks; Spirometri; Audiometri bila diperlukan;MRI/CT Scan bila diperlukan; USG transvaginal bila diperlukan;Mammograf/USG payudara bila diperlukan. Pemeriksaan laboratorium meliputi pemeriksaan darah dan urine: Hematologi lengkap; Urinalisis lengkap; Tes faal hati; Tes faal ginjal; Profil lipid; Metabolisme karbohidrat;Tumor marker atas indikasi; Papsmear: sitologi bagi calon yang perempuan.

Merubah Paradigma
Selama ini Keterangan hasil penilaian kesehatan merupakan pendapat dari Tim Penilaian Kesehatan yang disampaikan kepada KPUD untuk dijadikan bahan pertimbangan. Dalam kaitannya dengan rahasia kedokteran, rekam medis hasil pemeriksaan kesehatan menjadi arsip Tim Dokter dan disimpan di rumah sakit tempat pemeriksaan, sedangkan keterangan hasil pemeriksaan lengkap dikirimkan kepada KPUD dan menjadi tanggungjawab KPUD. KPUD tidak memiliki kewajiban hukum untuk mempublikasikannya karena tidak diatur dalam UU. Perlakuan hukum berbeda jika dibandingkan dalam hal persyaratan menyerahkan daftar kekayaan pribadi dan kesediaan untuk diumumkan (Pasal 58 huruf i). Demikianpun tentang dana kampanye. Hasil audit diumumkan oleh KPUD paling lambat 3 (tiga) hari setelah KPUD menerima laporan hasil audit dari kantor akuntan publik. Laporan dana kampanye yang diterima KPUD wajib dipelihara dan terbuka untuk umum (Pasal 84 ayat (5), dan (6). Hal ini jelas menandakan adanya diskrimnasi atas hak publik untuk mengetahui kesehatan dari calon pejabat publik. Paradigma menyampaikan visi misi dan sekedar menjual janji-janji dalam kampanye yang belum tentu ditepati, juga harus diubah. Pasangan calon harus berani membuka diri dan menyatakan dirinya sehat dan siap mengemban tugas. Saat penyampaian visi misi digedung DPRD maupun dikala kampanye, kesehatan harus dijadikan prioritas. Hal ini harus menjadi parameter penilaian dan kredit point tersendiri dalam menarik simpati publik. Dengan demikian masyarakat benar-benar dapat memilih mana calon kepala daerah dan wakil kepala daerah yang sehat dalam arti sesungguhnya. Sepanjang hal tersebut belum dapat dilakukan maka tentunya harapan besar rakyat hanya dapat digantungkan pada komitmen Tim Dokter untuk menjunjung tinggi moral, hukum dan sumpah serta etika profesi untuk bekerja jujur dan profesional. Tak ada salahnya sekedar mengingatkan bahwa dibalik itu semua ada konsekwensinya yaitu Pasal 115 ayat (6) ”Setiap orang yang dengan sengaja memberikan keterangan yang tidak benar atau menggunakan surat palsu seolah-olah sebagai surat yang sah tentang suatu hal yang diperlukan bagi persyaratan untuk menjadi pasangan calon kepala daerah/wakil kepala daerah, diancam dengan pidana penjara paling singkat 36 (tiga puluh enam) bulan dan paling lama 72 (tujuh puluh dua) bulan dan denda paling sedikit Rp36.000.000,00 (tiga puluh enam juta rupiah) dan paling banyak Rp72.000.000,00 (tujuh puluh dua juta rupiah).” Pemimpin yang sehat diharapkan dapat membangun rakyat yang sehat (fisik, mental, dan social well-being). Kalaulah bangsa Indonesia harus disehatkan maka pemimpin yang sehat adalah suatu kemutlakan. Karena sehat sesungguhnya merupakan modal dasar kehidupan bangsa menuju Kebangkitan Nasional Baru. Dan hanyalah bangsa yang sehat yang dapat menjadi bangsa terhormat.

MALPRAKTIK Vs TAKDIR

PAGI itu seperti biasa Dokter Nefa melaksanakan kegiatan rutinitasnya visite memeriksa pasien-pasien yang sedang rawat inam di puskesmas. Dokter Nefa saat itu dibantu oleh Suster Novi ketika tiba-tiba datang seorang suami istri membawa putrinya yang berusia 10 tahun dengan tergopoh-gopoh.
“Anak ini kenapa, Pak ?” tanya Dokter Nefa dengan penuh ingin tahu.
“Anak saya ini sudah beberapa hari demam dan sekarang sudah tak sadarkan diri, Dok !” jelas ayah anak itu dengan cemas dan memelas memohon pertolongan dokter.
“Sus tolong infusnya segera dipasang”. Perintah Dokter Nefa kepada Suster Novi, sambil melakukan tensi pada pasien. Ternyata Dokter Nefa tidak dapat mengukur sistole dan diastole. Dipegangnya tangan pasien ternyata tubuh pasien agak dingin. Dia lihat pasien masih bernafas. Dirabanya denyut jantung pada nadi ditangan kiri pasien, namun tidak teraba. Dia buka mata pasien terlihat ada subkonjungtiva bleeding (perdarahan kecil) dan pada rongga hidung ada keluar sedikit darah. Dia juga melihat ada bintik-bintik merah kecil tersebar dilengan pasien.
“Infusnya juga susah dipasang Dok,” ujar Suster Novi dengan nada cemas.
“Cepat periksa Hb dan Trombositnya, Sus,” perintah Dokter Nefa sambil dengan cekatan mengambil alih tugas Suster Novi. Baru kali ini terlihat Dokter Nefa begitu khawatir menghadapi kondisi pasiennya. Dengan cepat Dokter Nefa mencari vena (pembuluh darah). Namun ternyata semua vena pasien colaps, mengkerut dan susah untuk dimasukkan jarum infus. Terpaksa dilakukan vena seksi, menyobek kulit untuk mencari vena tersebut, namun tiba-tiba pasien berhenti bernafas. Dokter Nefa langsung memeriksa pupil penderita dan terlihat myosis. Dia tekan arteri carotis (pembuluh darah dileher) tidak ada denyutan. Seketika itu juga Dokter Nefa terduduk sedih dan meneteskan air mata. Kepada kedua orang tua anak itu dijelaskan bahwa anak mereka menderita demam berdarah grade empat. Dokter sudah berusaha semaksimal mungkin, tetapi Tuhan berkehendak lain. Akhirnya walaupun berat hati ditinggal buah hati tercinta, mereka tetap tabah menerima kepergian anaknya dengan ikhlas.
Inilah yang disebut takdir, meskipun kita sudah berusaha dengan penuh optimisme namun kita semua hanya dapat berikhtiar tanpa mampu memastikan hasil akhir dari suatu upaya medis dan juga harus disadari bahwa masih banyak hal-hal yang belum kita fahami dalam kehidupan ini (et causa ignota).
Pada kasus yang lain, ada seorang anak lelaki berusia enam tahun dibawa ke UGD sebuah rumah sakit oleh ayahnya. Anak tersebut jatuh dari sebuah pohon di halaman belakang rumahnya. Ia mengalami cedera yang tampak seperti luka kecil dibagian pahanya, terlihat ada darah yang memancar keluar dari sumber luka itu. Saat itu keadaan di UGD sangat sibuk karena dibanjiri pasien. Setelah menunggu tiga jam, anak tersebut baru mendapat perawatan dan pengobatan. Setelah luka anak itu dijahit kemudian oleh dokter diperbolehkan pulang. Pada hari berikutnya anak tersebut mengalami demam dan tungkai yang cedera membengkek. Orang tua anak ini kembali membawanya ke dokter yang merawatnya, hasilnya dirujuk ke rumah sakit lain. Di rumah sakit ini, dilakukan bedah eksplorasi pada luka dan ditemukan serpihan kayu sepanjang 3 cm. Namun anak tersebut terlanjur mengalami nekrotik pada fasia (jaringan daging membusuk). Meskipun telah diberikan antibiotik, oksigen hiperbalik dan pembedahan berulang, sebagian besar tubuh anak itu telah terkena penyakit kerusakan jaringan. Akhirnya ia diamputasi dan akibat infeksi sistemik, ia juga mengalami buta sebagian dan kerusakan pada otak.
Pada kasus kedua ini tentu tidak dapat dikatakan bahwa ini merupakan takdir. Kegagalan mendapatkan riwayat kesehatan yang adekuat, yang dapat memberikan peringatan kemungkinan adanya serpihan kayu, tidak melakukan tindakan eksplorasi luka untuk menemukan debris dan tidak dilakukan cumputed tomography (CT) atau ultrasonografi untuk mengkaji serpihan kayu yang tertinggal didalam luka sebelum dijahit, adalah tindakan malpraktik. Fakta bahwa UGD sangat sibuk pada hari itu bukanlah alasan pembenar untuk memberikan perawatan dibawah standar karena semua pasien berhak mendapatkan perawatan seksama dan intervensi lain yang sesuai dan patut.
Dari sudut pandang hukum apabila perlakuan medis telah dilakukan dengan benar dan patut menurut standar profesi, dan standar operasional maka meskipun tanpa hasil penyembuhan yang diharapkan, tidaklah melahirkan malpraktik. Namun apabila setelah perlakuan medis dilakukan terjadi keadaan tanpa hasil sebagaimana diharapkan (tidak sembuh) atau menjadi lebih parah sifat penyakitnya disebabkan perlakuan medis yang menyalahi standar profesi dan standar operasional atau prinsip-prinsip umum kedokteran maka dokter dapat dianggap melakukan malpraktik.
Pasien berhak menuntut penggantian kerugian atas malpraktik dokter melalui gugatan perdata sebagai perbuatan wanprestasi (Pasal 1243 BW) dan perbuatan melawan hukum (Pasal 1365 BW) serta apabila akibat perbuatan tersebut sampai menimbulkan luka atau kematian maka terbentuk pertanggung jawaban pidana yang wujudnya bukan sekedar penggantian kerugian saja tetapi juga pemidanaan/strafbaar (Pasal 359 atau 360 KUHP).
Ancaman pidana atas suatu perbuatan yang dilakukan dengan sengaja (doleus) dan dengan tidak sengaja (culpoos) berbeda jauh. Ancaman pidana Pasal 338 KUHP bila dilakukan dengan sengaja, maksimum 15 tahun penjara namun atas obyek yang sama pada Pasal 359 KUHP yakni nyawa dan akibat yang sama yaitu menyebabkan hilangnya nyawa orang lain, maksimum 5 tahun penjara bila dilakukan dengan tidak sengaja.
Profesi kedokteran adalah bidang pekerjaan profesional yang mempunyai ciri utama keahlian profesi, kehati-hatian, tanggung jawab, dan kesejawatan. Dan dalam menjalankan praktik profesinya, didasarkan pada perilaku ingin berbuat baik demi kesembuhan pasien (doing good) dan tidak ada niat untuk menyakiti, mencederai, dan merugikan pasien apalagi membunuh (primum non nocere). Olehnya itu Prof Dr Indrianto Seno Adji SH berpendapat bahwa kelalaian yang sangat besar (tort/gross negligence) oleh dokter masuk dalam lingkup hukum pidana. Namun tidak setiap kelalaian/kesalahan dokter serta-merta dianggap sebagai malapraktik sehingga harus dijerat dengan hukum pidana.
Tidak semua akibat buruk penanganan medis (adverse events or bad result) bisa menyebabkan malpraktik. Ada 3 penanganan medis yang bukan malpraktik. Pertama, kejadian buruk yang pasien darita sudah diketahui ilmu kedokteran dan diterima semua khalayak (acceptable risk) contohnya minum obat batuk ada efek samping mengantuk atau pasien kanker yang mengalami penyinaran akan mengalami kebotakan. Kedua, resiko medis tersebut sudah diinformasikan oleh dokter kepada pasien atau keluarganya dan disetujui (informed consent). Ketiga, adalah yang disebut dengan kejadian buruk nir laik bayang (untoward result or unforesseeable) atau musibah medik. Kejadian buruk ini terjadi tanpa dokter mampu membayangkan atau memperkirakan sebelumnya hal itu terjadi, kendati dokter sudah cukup hati-hati sesuai dengan langkah-langkah baku dalam srtandar profesi dan standar operasional. Sebagai contoh Sindroma Steven Johnson yaitu ketika seseorang diberi suntikan atau obat, tiba-tiba timbul efek pada tubuh yang tidak biasa. Padahal, obat tersebut bila diberikan pada ribuan atau jutaan orang lain tidak memberikan efek samping yang buruk, bahkan obat tadi berkhasiat sehingga ribuan bahkan jutaan orang menjadi sembuh. Kejadian seperti ini benar-benar amat langka (hanya satu dari ribuan atau jutaan orang).
Ada juga kesalahan dokter yang tidak bisa disebut kesalahan hukum, yakni kekeliruan atau kemelesetan dokter (error of judgment). Diagnosisnya meleset karena keterbatasan peralatan medis, contoh kekeliruan mendiagnosis tuberkulosis dini di paru-paru pasien yang disebabkan karena membaca foto rontgen dada serial depan-belakang yang rutin dipakai sebagai standard, padahal bila memakai CT (computed tomografi) Scan, hal itu akan tampak jelas dan diagnosis akan lebih akurat.
Pada dasarnya, dengan konseling atau informasi yang memadai dari dokter, pasien atau keluarganya bisa menilai setiap langkah yang dilakukan dokter. Saat ini informed consent (persetujuan tindakan medis) semakin penting disediakan oleh dokter serta dipahami sepenuhnya oleh pasien/keluarganya sehingga tidak setiap kekecewaan dari hasil pelayanan medis menjadi kasus malapraktek.
Informasi ini hendaknya dapat dijadikan sebagai introspeksi bagi kita semua agar dapat menyikapai isu malpraktik dengan bijaksana dalam koridor hukum.
Seandainya manusia itu sempurna maka tak kan ada dokter yang digugat, tak akan ada polisi, pengacara, jaksa atau hakim yang gegabah, pun tak akan ada dendam dan sumpah serapah. Kalaulah manusia tahu tidak banyak yang ia tahu maka tentulah dokter akan berdoa dan pasienpun akan mengamini bahwa kesembuhan ada ditangan-Mu dan ajal hanyalah atas perkenan-Mu.

MALPRAKTEK DOKTER MENURUT DIAGNOSA HUKUM

Perkembangan ilmu kedokteran yang semakin pesat serta kecanggihan peralatan medis yang serba modern telah mempermudah pekerjaan dokter dalam melaksanakan profesinya dengan baik. Di R.S. St. Luke, Houston Texas, Amerika Serikat, para dokter disana bisa melakukan operasi jantung di 11 meja operasi sekaligus dengan frekuensi operasi sebanyak 30 kali sehari. Suatu pekerjaan massal yang biasanya hanya ada dalam kegiatan produksi pabrik. Ini baru sebagian kecil dari sekian banyak kesuksesan dalam bidang kedokteran yang kita dengar diabad ini.
Keadaan tersebut melahirkan opini bahwa tuntutan akan kebutuhan jasa profesi dokter dalam dinamika kehidupan masyarakat yang mendambakan derajat kesehatan yang tinggi selalu diiringi dengan suatu anggapan bahwa dokter adalah manusia setengah Tuhan, dokter akan mampu memberikan pelayanan kesehatan dan pengobatan yang maksimal. Namun kenyataannya seringkali keinginan untuk bisa sembuh, malah yang didapat justru kekecewaan karena sakitnya bertambah parah atau bahkan meninggal dunia. Ketika sesuatu yang tidak diharapkan ini terjadi, muncul sikap yang beragam dari keluarga. sebagian ada yang menerimanya dengan lapang dada dan menganggapnya sebagai takdir tanpa ‘reserve’ namun tidak sedikit pula yang antipati, sedih, kecewa bahkan marah dan mempertanyakan secara kritis, apakah karena ada kesalahan dokter ?
Maraknya isu malparktek dokter belakangan ini sedikit banyak telah mempengaruhi hubungan dokter dan pasien yang semula dekat dan saling mempercayai telah berubah menjadi sikap “An eye, for an eye” alias “nyawa dibayar nyawa” hal ini kian memicu krisis malpraktek karena para dokter juga akan memperagakan strategi “defensif medicine” alias perlawanan pola bertahan ala cattenacio (sistem grendel gaya Italia, setiap gerakan lawan ‘dikunci’ satu persatu ) sehingga jangan kaget kalau akhirnya dokter akan meminta agar pasien terlebih dahulu harus memeriksakan darah, urine dan lain-lain karena takut salah mendiagnosa padahal cuma sakit flu, tapi apa mau dikata kocek pasien sudah terlanjur terkuras. Kalau sudah begini maka masyarakatpun beranggapan bahwa pergi ke dokter kok sama seperti pergi ke rentenir.
Permasalahan ini padahal dapat diminimalisir kalau kita semua memahami persoalan malpraktek secara baik dan benar.

Pengertian malpraktek
Secara harfiah, istilah malpraktek, malpractice, atau malpraxis artinya praktik yang buruk (bad practice), atau praktek yang jelek (Hermin Hadiati Koeswadji, 1998). Malpraktek adalah prilaku menyimpang atau prilaku tidak etis /tidak bermoral melanggar kewajiban hukum; praktek jahat profesi; kekurangterampilan yang tak layak atau tidak pantas dari seorang profesional (Henry Campbel Black, et al. dalam Black’s Law Dictionary, 5th ed, West Publishing Co, 1979). Apabila istilah tersebut dirangkai dengan kata ‘dokter’ menjadi malpraktek kedokteran. Istilah ini pertama kali digunakan oleh Sir William Blackstone tahun 1768 dikatakan bahwa ...that, malapraxis is great misdemeanour and offence at common law whether it be for curiosity or experiment, or by neglect; because it breaks the trust which the party had placed in his physician, and tends to the patient’s destruction (John Healy, 1999).
Menurut Ikatan Dokter Sedunia (World Medical Association/WMA) pada pertemuan internasional ke 44 di Marbella Spanyol 1992 menyebutkan bahwa malpraktek dokter mencakup kegagalan dokter mamatuhi standar pelayanan medis, atau kekurangcakapan, atau kelalaian dalam memberi pelayanan kepada pasiennya sehingga menjadikannya penyebab langsung suatu cedera pada pasien tersebut.

Malpraktek dokter menurut undang-undang kesehatan dan praktik kedokteran
Kartono Muhammad berpendapat bahwa malpraktek kedokteran adalah istilah hukum (Oemar Seno Adji, 1991). Sayangnya Undang-undang nomor 29 Tahun 2004 tentang Praktik Kedokteran tidak memuat ketentuan tentang malpraktek kedokteran. Pasal 66 ayat (1) hanya mengandung kalimat yang mengarah pada aspek prosedural, yakni: “Setiap orang yang mengetahui atau kepentingannya dirugikan atas tindakan dokter atau dokter gigi dalam menjalankan praktik kedokteran dapat mengadukan secara tertulis kepada Ketua Majelis Kehormatan Disiplin Kedokteran Indonesia”. Secara normatif pasal ini hanya memberikan dasar hukum untuk melaporkan dokter atau dokter gigi ke organisasi profesinya apabila terdapat indikasi tindakan dokter yang membawa kerugian. Bukan pula merupakan landasan yuridis untuk dapat menuntut ganti rugi atas tindakan dokter. Pasal ini hanya bermakna untuk tujuan hukum administrasi praktik kedokteran.
Undang-undang Nomor 23 Tahun 1992 tentang Kesehatan, pada Pasal 54 ayat (1) hanya menentukan bentuk sanksi, sebagai bentuk pertanggung jawaban dokter yakni: “Terhadap tenaga kesehatan yang melakukan kesalahan atau kelalaian dalam melaksanakan profesinya dapat dikenakan tindakan disiplin”. Rumusannya hanya untuk lebih memperjelas istilah kepentingan yang dirugikan atas tindakan dokter dengan istilah melakukan kesalahan atau kelalaian dalam melaksanakan profesi. Tidak dijelaskan apa artinya, atau apa isinya sehingga kriteria kesalahan atau kelalaian dalam melaksanakan profesi juga masih menjadi tidak jelas. Apalagi norma pasal inipun sudah tidak berlaku lagi karena berlakunya Pasal 85 Undang-undang No 29 Tahun 2004 tentang Praktik Kedokteran
Dengan demikian jika dilihat dari kedua undang-undang diatas tidak memberikan kejelasan tentang hakekat pengertian malpraktek kedokteran.

Malpraktek dokter dalam frame teori hukum
Pemahaman malpraktek kedokteran dari frame teori hukum umumnya menyangkut tiga aspek pokok yakni: (1) sikap batin pembuat, (2) aspek perlakuan medis, dan (3) aspek akibat perlakuan.
Syarat dalam hal sikap batin dokter ada tiga sikap yaitu sikap batin mengenai wujud perbuatan (baik aktif maupun pasif), sikap batin mengenai sifat melawan hukum dan sikap batin mengenai akibat dari wujud perbuatan. Unsur –unsur yang menyertainya dapat berupa kesengajaan (dolus) dapat juga berupa kealpaan atau kelalaian (culpa). Malpraktek dapat terjadi bilamana dokter karena kedudukannya, jabatan atau tugas pekerjaannya dan lain-lain menyebabkan dokter dalam keadaan tertentu secara hukum diwajibkan untuk berbuat. Karena tidak berbuat maka ia bersalah dan memikul tanggung jawab hukum apabila menimbulkan kerugian.
Perbuatan dalam perlakuan medis harus mengandung sifat melawan hukum. sifat melawan hukum dapat berupa: dilanggarnya standar profesi kedokteran, dilanggarnya standar prosedur operasional, dilanggarnya hukum seperti praktek tanpa Surat Tanda Registrasi dan Surat Izin Praktik, dilanggarnya kode etik kedokteran, dilanggarnya prinsip-prinsip umum kedokteran, dilanggarnya kesusilaan umum, terapi tidak sesuai dengan kebutuhan medis pasien, praktik kedokteran tanpa informed consent dan lain-lain.
Aspek akibat harus akibat yang merugikan pasien baik mengenai kesehatan fisik atau mental maupun nyawa pasien. Munir Fuadi merinci beberapa akibat seperti rasa sakit, luka, cacat, kematian, kerusakan pada tubuh dan jiwa, atau kerugian lain yang diderta oleh pasien selama proses perawatan (Munir Fuadi, 2005). Akibat tersebut sekaligus juga merupakan unsur tindak pidana (untuk malpraktek pidana) atau unsur perbuatan melawan hukum/wanprestasi (untuk malpraktek perdata).
Unsur akibat adalah penentu (essensielia) ada atau tidaknya malpraktek kedokteran. Tiada malpraktek kedokteran tanpa akibat kerugian pasien. Dan akhirnya harus ada pertanggung jawaban hukum. fokus pertanggung jawaban hukum dokter terletak pada akibat. Pertanggung jawaban hukum dokter juga bisa diakibatkan kerena kesalahan pegawai atau perawat yang tunduk dibawah perintahnya (vicarious liability). Berat ringannya pertanggung jawaban bergantung pada berat ringannya akibat yang diderita oleh pasien. Namun harus juga dilihat secara proposional dan obyektif
Dengan demikian dapat disimpulkan bahwa malpraktek kedokteran mengandung makna sebagai berikut: Adanya wujud perbuatan (aktif maupun pasif) dalam praktik kedokteran, yang dilakukan oleh dokter atau orang yang ada dibawah perintahnya, dilakukan terhadap pasien, dengan sengaja maupun kelalaian, yang bertentangan dengan standar profesi kedokteran atau melanggar hukum atau dilakukan tanpa wewenang baik disebabkan tanpa informed consent tanpa STR, SIP atau dilakukan tidak sesuai dengan kebutuhan medis pasien, atau membocorkan rahasia pasien yang menimbulkan akibat (causaal verband) atas kerugian bagi kesehatan fisik, mental maupun nyawa pasien. Oleh karena itu melahirkan pertanggung jawaban hukum bagi dokter.
Kealpaan adalah manusiawi bukan untuk dicerca namun bukan pula untuk menjadi pembenar kala berbuat salah adalah bijak jika ia hadir sebagai pengingat bahwa manusia tak ada yang sempurna

HUKUM TENTANG PENCEGAHAN DAN PENANGGULANGAN

Apa yang selama ini kita khawatirkan akhirnya terjadi juga, Kota Ambon yang tadinya bebas flu burung akhirnya positif juga. Kasus kematian unggas secara mendadak di Kawasan Air Kuning Kebun Cengkeh dan beberapa tempat lainnya di Kota Ambon menandai awal sejarah kelam kota bertajuk Manise memasuki fase buram bagi dunia perunggasan di daerah ini bahkan bukan tidak mungkin dapat menjadi duka yang mendalam karena mengancam kelangsungan hidup anak negeri dimasa akan datang. Terlepas dari keakuratan atau tidak hasil uji laboratorium Maros maupun polimik yang terjadi seputar itu namun satu hal yang pasti bahwa penyakit ini telah menjadi momok bagi masyarakat bangsa kita dan dunia internasional secara keseluruhan.
Sejak tahun 2003 Pemerintah Indonesia bertempat di Departeman Kesehatan Jakarta telah mengumumkan pemberlakukan Undang-Undang Ancaman Wabah No. 4 Tahun 1984 karena adanya ancaman wabah SARS (Severe Acute Respiratory Syndrome) untuk itu kepada jajaran Depkes diminta untuk lebih ofensif dalam mengantisipasi penyebaran virus itu. Pemerintah akan menyiapkan dana berapapun untuk memerangi SASR dan untuk langkah pertama dana Depkes yang akan digunakan tegas Yusuf Kalla, yang kala itu masih menjabat Menko Kesra (Jakarta, Sinar harapan, Maret 2003).
Januari 2004, terjadi KLB unggas “flu burung” di seluruh Jawa, Lampung, Bali, Kalimantan Selatan, Kalimantan Tengah dan Kalimantan Barat. Pemerintah menetapkan flu burung sebagai bencana darurat nasional dan meminta persetujuan DPR untuk mengucurkan dana sebesar Rp. 212 milyar untuk penanggulangannya (www.ppmpl.depkes.go.id).
Dalam tahun yang sama, PBB telah memperingatkan bahwa flu burung lebih berbahaya dari SARS, karena kemampuan virus ini yang mampu membangkitkan hampir keseluruhan respon “bunuh diri” dalam sistem imunitas tubuh manusia.
Apabila dilihat dari sejarahnya flu burung, sebenarnya sudah ada sejak tahun 1960-an. Penularan virus asal unggas ke manusia mulai dilaporkan sejak 1968. Tahun 1997, pertama kali muncul di Hongkong dengan 18 orang dirawat di rumah sakit dan enam orang diantaranya meninggal dunia, kemudian menyebar ke Vietanam, dua juta unggas Vietnam dimusnahkan dan empat orang dinyatakan tewas oleh WHO sehingga jumlah korban akibat virus itu mencapai 16 orang salah satunya adalah bocah lima tahun asal Provinsi Nam Dinh, 60 mil selatan Hanoi. April 2003 penyakit ini mewabah di Belanda, Korea kemudian Thailand, Kamboja dan Taiwan dengan delapan kasus diantaranya meninggal. Januari 2004, penyebaran flu burung mencapai Jepang dan merajalela di kawasan 800 kilometer barat daya Tokyo, para pejabat di Jepang mengatakan, enam ribu ayam mati karena virus itu dan ribuan ayam terpaksa dibasmi. (Edy Sudibyo, SH, Flu Burung, 2004)
Sebetulnya apa dan bagaimanakah penyakit flu burung itu serta sehebat apakah bahaya yang ditimbulkannya sehingga jenis penyakit ini begitu ditakuti.

Sekilas Tentang Flu Burung
Flu Burung (Avian Influenza) adalah suatu penyakit menular yang disebabkan oleh virus influensa yang ditularkan oleh unggas, terdiri dari beberapa tipe dan terbagi lagi atas beberapa strain, diantaranya H1N1, H3N3, H5N1 dan lain-lain. Influensa A (H5N1) merupakan penyebab wabah virus flu burung di banyak negara seperti Hongkong, Vietnam, Thialand dan Jepang. Virus ini hidup didalam saluran pencernaan unggas. kemudian dikeluarkan bersama kotoran. Infeksi akan terjadi bila orang mendekatinya. Penularan diduga terjadi dari kotoran secara oral atau melalui saluran pernapasan. Orang yang terserang flu burung menunjukan gejala klinis seperti demam, sakit tenggorokan, batuk, nyeri otot sakit kepala, lemas dan kondisinya sangat cepat menurun drastis dengan terjadinya peradangan di paru-paru (Pneumonia). Bila tidak cepat ditolong, korban bisa meninggal dunia. Hasil studi yang ada menunjukkan, unggas yang sakit (oleh influenza A H5N1) dapat mengelurkan virus dengan jumlah besar dalam kotorannya. Virus tersebut dapat bertahan hidup di air sampai empat hari pada suhu 22 derajat celcius dan lebih dari 30 hari pada nol derajat celcius. Didalam kotoran dan tubuh unggas yang sakit virus dapat bertahan lebih lama, tapi mati pada pemanasan 600 derajat celcius selama 30 menit. Virus ini sendiri mempunyai masa inkubasi selama 1 – 3 hari.
Kemampuan virus flu burung adalah membangkitkan hampir seluruh keseluruhan respon “bunuh diri” dalam sistem imunitas tubuh manusia. Semakin banyak virus itu tereplikasi, semakin banyak pula sitoksin-protein yang memicu untuk peningkatan respon imunitas dan memainkan peran penting dalam peradangan yang diproduksi tubuh. Sitoksin yang membanjiri aliran darah, karena virus yang bertambah banyak, justru melukai jaringan-jaringan dalam tubuh – efek bunuh diri. (Levi Silalahi, berbagai sumber).
Mengingat begitu seriusnya bahaya yang ditimbulkan terhadap kesehatan manusia, maka tak heran penularan infeksi virus flu burung di tanah air menurut Menteri Kesehatan Siti Fadilah Supardi, telah mengalami peningkatan nyata dalam dua pekan terakhir sehingga secara kumulatif jumlah kasus flu burung sampai dengan Januari 2007 mencapai 79 kasus dan 61 diantaranya meninggal dunia. Mengatasi hal tersebut kebijakan yang diambil adalah Pemda diminta segera membuat peraturan daerah (perda) pendukung pelaksanaan Undang-Undang No. 4 tahun 1984 tentang Wabah Penyakit menular. Perda pendukung itu diharapakan dalam waktu paling lambat satu minggu, telah dapat dijalankan khususnya di tiga provinsi yaitu DKI Jakarta, Banten dan Jawa Barat (karena 80 % kasus flu burung berada di tiga wilayah tersebut). Demikian hasil rapat Komnas Flu Burung yang diikuti oleh Menteri Kesehatan, Menko Kesra, Dirjen Peternakan Deptan, Dirjen Pemerintahan Umum Depdagri, Ketua Komnas Flu Burung dan ketiga pemda tersebut. Ketentuan dimaksud akan menjadi payung hukum bagi pemerintah daerah untuk mengambil semua tindakan yang dianggap perlu untuk mencegah dan mengendalikan penularan infeksi virus flu burung termasuk melakukan pemusnahan unggas di daerah pemukiman untuk memutus mata rantai penularan virus mematikan itu (Jakarta, Bpost, Januari 2007).
Menteri Koordinator Kesejahteraan Rakyat Aburizal Bakrie, ketika menjelaskan hasil rapat, mengatakan peraturan larangan tersebut diberlakukan hanya untuk masyarakat yang memelihara unggas secara nonkomersial atau kurang dari 20 ekor (pemeliharaan unggas skala rumah tangga/backyard farming).

Undang-Undang Tentang Wabah Penyakit Menular
Undang-Undang No 4 Tahun 1984 tentang Wabah Penyakit Menular (pengganti UU No 6 Tahun 1962 tentang Wabah dan UU No. 7 Tahun 1968 tentang perubahan Pasal 3 UU No. 6 Tahun 1962) memang tidak secara spesifik mengatur tentang Wabah Flu Burung. Namun secara insplisit terakomudir di dalam undang-undang tersebut sebagai wabah penyakit menular sebagaimana di atur dalam Pasal 1 yaitu bahwa yang dimaksud dengan pengertian wabah penyakit menular adalah:
(a). “kejadian berjangkitnya suatu penyakit menular dalam masyarakat yang jumlah penderitanya meningkat secara nyata melebihi daripada keadaan lazim pada waktu dan daerah tertentu serta dapat menimbulkan malapetaka”
(b). “Sumber penyakit adalah manusia, hewan, tumbuhan, dan benda-benda yang mengandung dan/atau tercemar bibit penyakit, serta yang dapat menimbulkan wabah”.
Apabila jumlah penderita suatu penyakit menular meningkat melebihi keadaan yang lazim di suatu daerah dalam satuan waktu tertentu, dan dapat menimbulkan malapetaka, maka keadaan ini dapat dianggap sebagai suatu wabah. Dengan demikian satu kasus tunggal dari suatu penyakit menular yang lama tidak ditemukan, atau adanya penyakit baru yang belum diketahui sebelumnya di suatu daerah memerlukan laporan yang secepatnya disertai dengan penyelidikan epidemiologis. Apabila ditemukan penderita kedua dari jenis penyakit yang sama dan diperkirakan penyakit ini dapat menimbulkan malapetaka, maka keadaan, ini cukup merupakan indikasi (pertanda) untuk menetapkan daerah tersebut sebagai daerah wabah.
Untuk menetapkan daerah dalam wilayah Inonesia yang terjangkit wabah sebagai daerah wabah dan menetapkan jenis-jenis penyakit tertentu yang dapat menimbulkan wabah serta untuk mencabut penetapan daerah wabah jika dianggap telah aman dari wabah menjadi kewenangan Menteri Kesehatan. Tata cara pelaksanaan ketentuan sebagaimana dimaksud diatur dengan peraturan pemerintah (Pasal 4 ayat (1) ,(2) dan (3) UU No. 4 Tahun 1984.
Sesuai Pasal 5 Ayat (1) Upaya penanggulangan wabah mempunyai 2 (dua) tujuan pokok yaitu :
1. Berusaha memperkecil angka kematian akibat wabah dengan pengobatan.
2. Membatasi penularan dan penyebaran penyakit agar penderita tidak bertambah banyak, dan wabah tidak meluas kedaerah lain.
Upaya penanggulangan wabah di suatu daerah wabah haruslah dilakukan dengan mempertimbangkan keadaan masyarakat setempat antara lain : agama, adat, kebiasaan, tingkat pendidikan, sosial ekonomi, serta perkembangan masyarakat.Dengan memperhatikan hal-hal tersebut diharapkan upaya penanggulangan wabah tidak mengalami hambatan dari masyarakat, malah melalui penyuluhan yang intensif dan pendekatan persuasif edukatif, diharapkan masyarakat akan memberikan bantuannya, dan ikut serta secara aktif. Yang dimaksud dengan mengikutsertakan masyarakat secara aktif haruslah tidak mengandung paksaan, disertai kesadaran dan semangat gotong royong, dilaksanakan dengan penuh tanggungjawab
Agar tujuan tersebut dapat tercapai perlu dilakukan beberapa tindakan, yakni :
a. Penyelidikan epidemiologis, yaitu melakukan penyelidikan untuk mengenal sifat-sifat penyebabnya serta faktor yang dapat mempengaruhi timbulnya wabah.Dengan adanya penyelidikan tersebut, maka dapat dilakukan tindakan-tindakan penanggulangan yang paling berdaya guna dan berhasil guna oleh pihak yang berwajib dan/atau yang berwenang.
Dengan demikian wabah dapat ditanggulangi dalam waktu secepatnya, sehingga meluasnya wabah dapat dicegah dan jumlah korban dapat ditekan serendah-rendahnya.
b. Pemeriksaan, pengobatan, perawatan dan isolasi penderita termasuk tindakan karantina adalah tindakan-tindakan yang dilakukan terhadap penderita dengan tujuan
1. Memberikan pertolongan medis kepada penderita agar sembuh dan mencegah agar mereka tidak menjadi sumber penularan;
2. Menemukan dan mengobati orang yang nampaknya sehat, tetapi mengandung penyebab penyakit sehingga secara potential dapat menularkan penyakit ("carrier").
c. Pencegahan dan pengebalan adalah tindakan-tindakan yang dilakukan untuk memberi perlindungan kepada orang-orang yang belum sakit, akan tetapi mempunyai risiko untuk terkena penyakit.
d. Yang dimaksud dengan penyebab penyakit adalah bibit penyakit yakni bakteri, virus, dan lain-lainnya yang menyebabkan penyakit.
Dalam pemusnahan penyebab penyakit, kadang-kadang harus dilakukan pemusnahan terhadap benda-benda, tempat-tempat dan lain-lain yang mengandung kehidupan penyebab penyakit yang bersangkutan, misalnya sarang berkembang biak nyamuk, sarang tikus, dan lain-lain.
e. Penanganan jenazah apabila kematiannya disebabkan oleh penyakit yang menimbulkan wabah atau jenazah tersebut merupakan sumber penyakit yang dapat menimbulkan wabah harus dilakukan secara khusus menurut jenis penyakitnya tanpa meninggalkan norma agama serta harkatnya sebagai manusia.
f. Penyuluhan kepada masyarakat adalah kegiatan komunikasi yang bersifat persuasif edukatif tentang penyakit yang dapat menimbulkan wabah agar mereka mengerti sifat-sifat penyakit, sehingga dengan demikian dapat melindungi diri dari penyakit tersebut dan apabila terkena, tidak menular kepada orang lain.Selain dari pada itu penyuluhan dilakukan agar masyarakat dapat berperan serta secara aktif dalam menanggulangi wabah.
g. Upaya penanggulangan lainnya adalah tindakan-tindakan yang dilakukan dalam rangka penanggulangan wabah, yakni bahwa untuk masing-masing penyakit dilakukan tindakan- tindakan khusus.
Upaya penanggulangan wabah sebagaimana dimaksud tersebut dilaksanakan dengan tetap memperhatikan kelestarian lingkungan hidup.
Menyangkut dengan Pengelolaan bahan-bahan yang mengandung penyebab penyakit dan dapat menimbulkan wabah diatur dengan Peraturan Pemerintah. usaha-usaha tersebut meliputi antara lain : pemasukan, penyimpanan, pengangkutan, penggunaan, penelitian, dan pemusnahannya. Sedangkan yang dimaksud dengan bahan-bahan yang mengandung penyebab penyakit dan dapat menimbulkan wabah antara lain adalah : spesimen, bahan yang tercemar kuman, bahan yang mengandung toksin. Bahan tersebut digunakan untuk keperluan penegakan diagnosa di laboratorium maupun untuk percobaan dan penelitian.
Pengaturan menyangkut hak dan kewajiban pemerintah maupun masyarakat, didalam Pasal 8 disebutkan bahwa :
(1). “Kepada mereka yang mengalami kerugian harta benda yang diakibatkan oleh upaya penanggulangan wabah sebagaimana dimaksud dalam Pasal 5 ayat (1) dapat diberikan ganti rugi.
(2) “Pelaksanaan pemberian ganti rugi sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) diatur dengan Peraturan Pemerintah”
Pengertian harta benda dalam pasal ini antara lain: rumah, ternak, peternakan, tanaman, ladang, dan lain-lain. Ganti rugi diberikan oleh Pemerintah secara memadai, dengan mengutamakan golongan masyarakat yang kurang mampu dan diatur dengan peraturan pemerintah.
Sementara kepada para petugas tertentu yang melaksanakan upaya penanggulangan wabah dapat diberikan penghargaan atas risiko yang ditanggung dalam melaksanakan tugasnya. Petugas tertentu yang dimaksud dalam pasal ini adalah setiap orang, baik yang berstatus sebagai pegawai negeri maupun bukan, yang ditunjuk oleh yang berwajib dan/atau yang berwenang untuk melaksanakan penanggulangan wabah. Sedangkan penghargaan yang diberikan dapat berupa materi dan/atau bentuk lain. Pelaksanaan pemberian penghargaan dimaksud diatur dengan Peraturan Pemerintah.
Dalam melaksanakan upaya penanggulangan wabah, menjadi kewajiban Pemerintah untuk bertanggung jawab sesuai amanat Pasal 10. Berhubung dengan pentingnya penanggulangan wabah ini, maka biaya yang diperlukan ditanggung oleh Pemerintah. Pada prinsipnya Pemerintah Pusat yang berkewajiban membiayai, terutama terhadap wabah-wabah yang luas, dengan tidak mengurangi kewajiban Pemerintah Daerah, swasta atau masyarakat, dan hal ini diatur dalam Peraturan Pemerintah sebagaimana dimaksud dalam Pasal 5 ayat (3).

Pasal 13
Barang siapa mengelola bahan-bahan yang mengandung penyebab penyakit dan dapat menimbulkan wabah, wajib mematuhi ketentuan-ketentuan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 7.

Sanksi Pidana
Undang-Undang No. 4 Tahun 1984 juga mengatur tentang ketentuan pidana. Disebutkan dalam Pasal 14 bahwa :
(1) Barang siapa dengan sengaja menghalangi pelaksanaan penanggulangan wabah sebagaimana diatur dalam Undang-Undang ini, diancam dengan pidana penjara selama-lamanya 1 (satu) tahun dan/atau denda setinggi-tingginya Rp 1.000.000,- (satu juta rupiah).
(2) Barang siapa karena kealpaannya mengakibatkan terhalangnya pelaksanaan penanggulangan wabah sebagaimana diatur dalam Undang-Undang ini, diancam dengan pidana kurungan selama-lamanya 6 (enam) bulan dan/atau denda setinggi-tingginya Rp 500.000,- (lima ratus ribu rupiah).
(3) Tindak pidana sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) adalah kejahatan dan tindak pidana sebagaimana dimaksud dalam ayat (2) adalah pelanggaran.

Pasal 15
(1) Barang siapa dengan sengaja mengelola secara tidak benar bahan-bahan sebagaimana diatur dalam Undang-Undang ini sehingga dapat menimbulkan wabah, diancam dengan pidana penjara selama-lamanya 10 (sepuluh) tahun dan/atau denda setinggi-tingginya Rp 100.000.000,- (seratus juta rupiah).
(2) Barang siapa karena kealpaannya mengelola secara tidak benar bahan-bahan sebagaimana diatur dalam Undang-Undang ini sehingga dapat menimbulkan wabah, diancam dengan pidana kurungan selama-lamanya 1 (satu) tahun dan/atau denda setinggi-tingginya Rp 10.000.000,- (sepuluh juta rupiah).
(3) Apabila tindak pidana sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) dilakukan oleh suatu badan hukum, diancam dengan pidana tambahan berupa pencabutan izin usaha.
(4) Tindak pidana sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) adalah kejahatan dan tindak pidana sebagaimana dimaksud dalam ayat (2) adalah pelanggaran.
Wabah (termasuk dalam hal ini flu burung) yang menimbulkan malapetaka yang menimpa umat manusia dari dulu sampai sekarang maupun masa mendatang tetap merupakan ancaman terhadap kelangsungan hidup dan kehidupan.Selain wabah membahayakan kesehatan masyarakat, karena dapat mengakibatkan sakit, cacad dan kematian, juga akan mengakibatkan hambatan dalam pelaksanaan pembanguunan nasional. Kesehatan merupakan komponen dari kesejahteraan, karena manusia yang sehat mampu melaksanakan pembangunan. Jadi Undang-Undang ini sekaligus menyangkut upaya menggali atau meningkatkan sumber daya manusia dalam pembangunan dan meningkatkan ketahanan nasional.jelaslah bahwa maksud dan tujuan Undang-Undang ini adalah untuk melindungi penduduk dari malapetaka yang ditimbulkan wabah sedini mungkin, dalam rangka meningkatkan kemampuan masyarakat untuk hidup sehat.

Undang-Undang Tentang Peternakan dan Kesehatan Hewan
Selain undang-undang diatas, Indonesia juga telah memiliki Undang-Undang No. 6 Tahun 1967 tentang Ketentuan-ketentuan Pokok Peternakan dan Kesehatan Hewan. Pengertian hewan disini adalah semua binatang, yang hidup di darat, baik yang dipelihara maupun yang hidup secara liar; sedangkan pengertian penyakit hewan menular: ialah penyakit hewan, yang membahayakan oleh karena secara cepat dapat menjalar dari hewan pada hewan atau pada manusia dan disebabkan oleh virus, bakteri, cacing, protozoa dan parasit; Jika demikian maka flu burung juga termasuk dalam pengertian tersebut. Sehingga pemberlakuan UU No. 4 Tahun 1984 haruslah terintegrasi bersama-sama dengan UU No. 6 Tahun 1967 tentang Ketentuan-ketentuan Pokok Peternakan dan Kesehatan Hewan. Keterpaduan ini penting sebab Negara Republik Indonesia yang agraris tidak lepas dari soal peternakan dan oleh karena itu Pemerintah wajib memajukannya, setidak-tidaknya mencegah penyakit-penyakit hewani, baik yang menular maupun yang tidak menular, sebab tanpa usaha itu rakyat akan kehilangan sumber protein-hewani yang diperlukan, padahal sumber yang dimaksud berada di tangan rakyat sendiri. Memperkembangkan ternak secara sehat dan wajar merupakan salah satu syarat untuk menjaga dan mempertahankan dasar agraris negara kita, sebab ternak dan alam selain ada hubungan timbal-balik, terdapat pula adanya keseimbangan yang perlu diperhatikan dan dipelihara. Dalam kesehatan hewani itulah perlu adanya keseimbangan antara alam dan ternak, yang membuka perspektif lain, yaitu produksi obat-obatan untuk ternak, perkembangan teknologi baru disamping hygiene, yang kesemuanya itu akan membawa masyarakat Indonesia pada taraf hidup yang lebih tinggi. Bila sementara ini banyak obat-obatan yang masih diimpor, maka dikandung maksud untuk mengadakan penyelidikan sedemikian rupa, sehingga obat-obatan itu akhirnya dapat kita buat sendiri, termasuk didalamnya vaksin flu burung sesuai amanat Pasal 23 yaitu:
(1) Pemerintah menyediakan obat-obatan dalam jumlah yang cukup serta mengatur dan mengawasi perbuatan, persediaan, peredaran serta pemakaiannya.
(2) Mengadakan penyelidikan-penyelidikan ilmiah bahan-bahan obat-obatan hewani.
Kini Departemen Kesehatan (Depkes) bekerja sama dengan Baxter Healthcare, perusahaan farmasi yang berbasis di Swiss, untuk pengembangan vaksin virus H5N1. Nota kesepahamannya ditandatangani Kepala Badan Litbang Kesehatan Depkes, Triono Soendoro, dan Presiden Bidang Pengembangan Vaksin Baxter, Kim C. Bush, Selasa lalu.Vaksin baru ini akan digunakan untuk menumpas virus flu burung strain (varian) Indonesia. Dalam kerja sama ini, Depkes akan menyediakan spesimen klinis virus H5N1. Sementara Baxter akan melakukan alih teknologi yang meliputi formulasi, pengisian, dan penyelesaian vaksin flu burung yang disebut A/Indonesia/5/2005. Depkes akan memiliki hak memproduksi dan memasarkan vaksin A/Indonesia/5/2005 itu di seluruh Indonesia (Kesehatan, Gatra Nomor 14 Kamis, 15 Februari 2007).
Disamping upaya memproduksi vaksin yang terpenting juga adalah upaya-upaya yang harus dilakukan seperti usaha penolakan dan pencegahan penyakit. Hal ini dapat dilakukan melalui beberapa 4 fase sebagaimana diatur dalam Pasal 20 UU. No. 6 Tahun 1967 yaitu:
(1) Penolakan penyakit hewan meliputi kegiatan-kegiatan penolakan masuknya suatu penyakit hewan ke dalam wilayah Republik Indonesia.
Tindakan itu meliputi:
a. pelarangan pemasukan jenis ternak yang tertentu dari daerah tertentu yang tekenal sebagai sumber sesuatu penyakit; misalnya pelarangan pemasukan sapi dari Australia berhubung dengan penyakit pleuropneumonia contagiosabovum.
b. pelarangan pemasukan bahan-bahan makanan berasal dari ternak yang dapat dianggap sebagai bahan penyebar penularan. Begitu juga alat-alat yang dapat dipakai pemiaraan hewan seperti pakaian, tali dan lain-lainnya, makanan ternak seperti rumput (kering) makanan penguat dan lain-lainnya atau bagian-bagian hewan seperti kulit, tulang, bulu dan lain-lainnya.
c. pemeriksaan kapal-kapal yang akan berlabuh dapat digolongkan usaha ini. Usaha-usaha ini diatur dalam pasal 20 ayat (1).
(2) Pencegahan penyakit hewan meliputi:
a. karantina;
b. pengawasan lalu-lintas hewan;
c. pengawasan atas impor dan ekspor hewan;
d. pengebalan hewan;
e. pemeriksaan dan pengujian penyakit;
f. tindakan hygiene.
(3) Pemberantasan penyakit hewan meliputi usaha-usaha:
a. penutupan suatu daerah tertentu untuk keluar dan masuknya hewan;
b. pembatasan bergerak dari hewan di daerah itu;
c. pengasingan hewan sakit atau yang tersangka sakit;
d. pembinasaan hewan hidup atau mati, yang ternyata dihinggapi penyakit menular.
(4) Pengobatan penyakit hewan meliputi usaha-usaha:
a. pengawasan dan pemeriksaan hewan;
b. penyediaan obat-obatan dan immum-sera oleh Pemerintah atau swasta, baik dari dalam maupun luar negeri;
c. urusan-urusan pemakaian obat-obatan dan immum-sera.

Kewenangan Pemerintah Daerah
Keempat phase ini merupakan suatu kesatuan-program penolakan, pencegahan dan pemberantasan penyakit hewan. Di dalam pelaksanaan usaha-usaha di atas, ada beberapa usaha yang harus tinggal di tangan Pemerintah Pusat, antara lain penolakan penyakit dan Karantina. Dilakukan dengan dukungan kerja sama dengan Pemerintah Daerah
Menyangkut dengan kesehatan masyarakat veteriner, diatur didalam Pasal 21 yaitu: Untuk kepentingan pemeliharaan kesehatan manusia dan ke ketentraman bathin masyarakat, sebagaimana termaksud pada pasal 19 ayat (2), maka dengan Peraturan Pemerintah ditetapkan ketentuan-ketentuan tentang:
a. pengawasan pemotongan hewan;
b. pengawasan perusahaan susu, perusahaan unggas, perusahaan babi;
c. pengawasan dan pengujian daging, susu dan telur;
d. pengawasan pengolahan bahan makanan yang berasal dari hewan;
e. pengawasan dan pengujian bahan makanan yang berasal dari hewan yang diolah;
f. pengawasan terhadap "Bahan-bahan Hayati" yang ada sangkut-pautnya dengan hewan, bahan-bahan pengawetan makanan dan lain-lain.
Beberapa peraturan pelaksanaan yang berkaitan dengan hal tersebut teristimewa hewan unggas juga telah ada seperti:
Keputusan Menteri Pertanian No. 557/kpts/TN.520/9/1987 tentang Syarat-Syarat Rumah Pemotongan Unggas dan Usaha Pemotongan Unggas
Keputusan Menteri Pertanian No. 306/kpts/TN.330/4/1994 tentang Pemotongan Unggas dan Penanganan Daging serta Hasil Ikutannya.

Kewajiban Pemerintah daerah antara lain diatur dalam Pasal 11, 12 dan 13 yaitu:
(1) Barang siapa yang mempunyai tanggung jawab dalam lingkungan tertentu yang mengetahui adanya penderita atau tersangka penderita penyakit sebagaimana dimaksud dalam Pasal 3, wajib melaporkan kepada Kepala Desa atau Lurah dan/atau Kepala Unit Kesehatan terdekat dalam waktu secepatnya.
(2) Kepala Unit Kesehatan dan/atau Kepala Desa atau Lurah setempat sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) masing-masing segera melaporkan kepada atasan langsung dan instansi lain yang bersangkutan.
Pengertian barang siapa dalam ayat ini bukan berarti setiap orang, karena dalam pengertian ini dikaitkan dengan lingkungan yang menjadi tanggung jawabnya, sehingga mempunyai pengertian yang terbatas, yaitu kepala keluarga, ketua rukun tetangga, kepala sekolah, kepala asrama, kepala (direktur) perusahaan, kepala stasiun kereta api, kepala terminal angkutan kendaraan bermotor, nakoda kendaraan air dan udara, dan sebagainya atau wakilnya. Dan Kepala Wilayah/Daerah, yaitu Gubernur/Kepala Daerah Tingkat I, Bupati/Walikotamadya/ Kepala Daerah Tingkat II, Camat sebagai penanggung jawab wilayah. Dengan bantuan perangkat pelayanan kesehatan yang ada di wilayahnya, wajib segera melaksanakan tindakan penanggulangan seperlunya antara lain meliputi :
a. isolasi, pemeriksaan dan pengobatan terhadap penderita;
b. pembentukan tim gerak cepat dan penggerakannya;
c. penghapushamaan lingkungan, misalnya kaporisasi sumur;
d. vaksinasi dan kalau perlu evakuasi masyarakat;
e. penutupan daerah/lokasi yang tersangka terjangkit wabah;
f. dan lain-lain tindakan yang diperlukan.
Kepala Wilayah (Camat) memberikan tugas dan tanggung jawab kepada Kepala Desa atau Lurah untuk melaksanakan tindakan penanggulangan seperlunya.
(3) Tata cara penyampaian laporan sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) dan ayat (2) serta tata cara penyampaian laporan adanya penyakit yang dapat menimbulkan wabah bagi nakoda kendaraan air dan udara, diatur dengan peraturan perundang-undangan.

Pasal 12.
(1) Kepala Wilayah/Daerah setempat yang mengetahui adanya tersangka wabah di wilayahnya atau adanya tersangka penderita penyakit menular yang dapat menimbulkan wabah, wajib segera melakukan tindakan-tindakan penanggulangan seperlunya.
(2) Tata cara penanggulangan sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) diatur dengan peraturan perundang-undangan.

Di dalam usaha kita mengambil manfaat dari ternak ini hendaknya kita jangan lupa kepada kesejahteraan dari ternak itu sendiri.Tempat dan perkandangan, Pengawasan dan Pemotongan Ternak, dan lain-lain. Peraturan-peraturan mengenai soal ini dikeluarkan oleh Pemerintah Daerah. Diusahakan, agar dalam soal ini, jangan sampai tersinggung perasaan dan ketenteraman masyarakat. Sungguhpun begitu syarat-syarat harus sesuai dengan daya kemampuan rakyat, dan dijaga agar peraturan-peraturan itu jangan sampai menjadi penghalang produksi atau peningkatan reduksi.
Sebagai masukan tidak ada salahnya juga kalau kita dapat mengadopsi beberapa Peraturan Daerah DKI Jakarta sepanjang sesuai dengan kondisi permasalahan di daerah seperti:
Perda DKI Jakarta No. 8 Tahun 1989 tentang Pengawasan Pemotongan Ternak, Perdagangan Ternak dan Daging di Wilayah DKI Jakarta.
Perda DKI Jakarta No. 5 Tahun 1992 tentang Penampungan dan Pemotongan Unggas serta Peredaran Daging Unggas di Wilayah DKI Jakarta.
Dan Keputusan Gubernur DKI Jakarta No. 459/1996 tentang Petunjuk Pelaksanaan Penampungan dan Pemotongan Unggas serta Peredaran Daging Unggas di Wilayah DKI Jakarta.
Antisipasi wabah flu burung di Provinsi Maluku adalah harga mati yang sudah tidak bisa ditawar lagi. Semua aturan telah ada, kerja sama semua pihak mutlak diperlukan. Kinerja DPRD dan Pemerintah Daerah tidak lagi harus sebatas dengar pendapat namun sudah harus action, jang sampe su kajadian lalu orang bilang sio ale dong su tarlambat.





.



ALIRAN SESAT DALAM PRESPEKTIF HUKUM POSITIF

1. PENDAHULUAN

Maraknya aliran sesat yang menodai Islam maupun dalam agama lainnya yang bermunculan saat di Indonesia seperti Sekte Kiamat pondok Nabi dalam agama Kristen, atau dalam agama Islam seperti Ahmadiyah, Kerajaan Eden, Al-Quran Suci, Al Qiadah Al Islamiah dan lain-lain, telah menimbulkan reaksi dan tanggapan yang beragam dari berbagai kalangan di tanah air, ada yang gerah namun adapula yang simpati.
Berbagai pemberitaan dan stetmenpun banyak menghiasi media massa sebagai reaksi atas bermunculannya aliran–aliran sesat itu. Ada yang menanggapi sebagai imbas yang tak bisa dipisahkan dari kondisi ekonomi masyarakat yang terpuruk, ada juga yang mengkaitkannya dengan upaya pihak asing yang ingin menghancurkan Indonesia dengan cara memecah belah umat Islam dengan harapan terjadi instabilitas di Indonesia, ada juga pendapat sebagian orang bahwa hal itu termasuk bagian dari kebebasan beragama yang merupakan hak asasi setiap manusia, demikian juga ada yang menganggapnya sebagai hal yang biasa saja sehingga tidak perlu ditanggapi secara berlebihan karena mereka beranggapan bahwa yang hanya berhak untuk menilai sesat atau tidak, yang tahu hanya Tuhan.
Majelis Ulama Indonesia sejak tahun 1989 dengan tegas telah mengeluarkan fatwa tentang sembilan aliran yang dianggap sesat diantaranya adalah Islam Jamaah, Ahmadiyah, Ikrar Sunah, Quran Suci, Sholat Dua Bahasa, Kerajaan Eden, LDII dan Al Qiadah Al Islamiah. Terhadap aliran yang difatwakan sesat ini, MUI telah meminta kepada pemerintah agar segera mengambil tindakan hukum terhadap para pelakunya, namun disayangkan pula bahwa sebagian ulama yang tergolong keras bersama masyarakat juga langsung mengambil tindakan main hakim sendiri dengan menghancurkan fasilitas yang biasa menjadi tempat aktivitas dari para pengikut aliran sesat tersebut, tidak sebatas itu mereka juga melakukan swuiping dan menangkap orang-orang yang dianggap telah menjadi pengikut aliran sesat sehingga para pengikut aliran sesat, terpaksa mencari perlindungan kepada pihak aparat kepolisian. Fenomena sosial seperti ini selalu saja terjadi hampir setiap saat ketika munculnya aliran sesat di masyarakat.
Pemerintah sendiri pada beberapa kasus tertentu telah mengambil tindakan hukum dengan memenjarakan pimpinan aliran sesat seperti Lia Aminudin dan Pendeta Mangapin Sibuea. Namun seakan tak jera-jeranya mereka tetap saja pada keyakinannya dan bahkan aliran-aliran sesat semakin banyak saja bermunculan. Buktinya belum selesai kasus Al Qiadah Al Islamiah, sekarang sudah muncul lagi Al Haq
Terlepas dari pro dan kontra tentang keberadaan aliran seperti ini, yang jelas aliran-aliran sesat tersebut terlihat semakin eksis dan mendapatkan pengikut yang semakin banyak saja, Kepala Badan Intelijen Negara (BIN), Syamsir Siregar,[1] mengungkapkan saat ini saja untuk faham Al-Qiyadah Al-Islamiyah tercatat ada sekitar 8.000 penganut di Indonesia.
Reaksi keras sebagian ulama dan masyarakat seakan bukanlah hambatan bagi mereka untuk terus maju bahkan tindakan hukum yang diambil pemerintahpun dianggap tidak terlalu menjadi sesuatu hal yang perlu mereka takuti. Hal ini bisa terlihat dari sikap para pengikut kerajan Eden yang tidak bergeming sedikitpun untuk meninggalkan keyakinannya dan tetap memilih menjadi pengikut setia Kerajaan Eden meskipun pimpinan meraka (Lia Aminudin) dinyatakan bersalah dan telah dipenjara. Lia Aminudin sendiri setelah selesai menjalani masa hukumannyapun tetap beraktivitas kembali seperti biasa memimpin Tahta Suci Kerajaan Eden sebagai Jibril Ruhul Kudus seakan merasa tidak pernah terjadi apa-apa.
Belum lagi yang terjadi pada pengikut aliran sesat lainnya yang terlihat masih tetap eksis dalam berbagai modus tersembunyi berkedok ruatan maupun yang secara terang-terangan dipraktekan melalui pesugihan dan berbagai klinik mistik lainnya
Seperti apakah profil hukum positif kita sehingga terkesan sulit untuk memberantas aliran sesat dan sejauhmanakah efektifitasnya sehingga dapat menimbulkan efek jera bagi pelanggarnya. Hal ini menjadi pertanyaan menarik yang perlu kita jawab lewat tulisan ini.

2. FENOMENA ALIRAN SESAT
Timbulnya berbagai aliran sesat dalam Islam telah menjadi catatan sejarah sejak Nabi Muhammad wafat. Sebelum wafatnya, beliau telah mengingatkan kepada kita tentang akan adanya 73 golongan dalam Islam dimana masing-masing golongan mengklaim paling benar. namun cuma ada satu golongan yang selamat, menurut Nabi.
Nampaknya kekhawatiran Nabi ini telah menjadi kenyataan. Berikut ini adalah penelusuran yang kami kutip dari hasil investigasi Hartono Ahmad Jais (Sabili)[2] bahwa diketahui ternyata aliran sesat tampak makin marak, bahkan mengalami euforia (mabuk kebebasan) sejak masa Presiden Abdurrahman Wahid atau Gus Dur yang menduduki jabatan sejak Oktober 1999 sampai 23 Juli 2001. Dimasa itu dari pihak sesat pun berkelit bahwa yang berhak menentukan sesat itu hanyalah Tuhan. Si sesat masih berteriak pula bahwa yang mengorek kesesatan itulah pemecah belah.
Di antara contoh tersebut menurutnya adalah kelompok yang tidak langsung dikenali sebagai kelompok sesat, misalnya:
Komunitas Penimbrung Qur'an Sunnah
Golongan yang satu ini tidak mau disebut kelompok agama, tak mau pula disebut sekuler. Tapi mereka menolak semua yang datang dari al-Qur'an dan as-Sunnah. Kelompok ini muncul menjelang pertengahan abad 20 dengan membatasi bahwa al-Qur'an dan as-Sunnah tidak bisa diberlakukan di wilayah mereka, karena beralasan bahwa di tempat mereka bukanlah wilayah al-Qur'an dan as-Sunnah. Mereka punya aturan-aturan tertentu yang kadang masuk ke wilayah yang diatur al-Qur'an dan as-Sunnah dengan "membantu" pelaksanaan praktisnya, dalam hal yang menguntungkan mereka. Misalnya tentang pelaksanaan ibadah haji. Di sisi itulah al-Qur'an dan as-Sunnah mereka terima, bahkan hampir mereka monopoli.
Lain lagi dengan kelompok yang secara nama adalah Islamis, namun justru sesat menyesatkan. Misalnya:
NII KW IX
NII (Negara Islam Indonesia) asalnya DI (Darul Islam, diproklamasikan Sekarmadji Maridjan Kartosoewirjo, 7 Agustus 1949 di Cisayong Tasikmalaya Jawa Barat). Kemudian nama NII itu berupa penjelasan singkat tentang proklamasi. Pada tahun 1980-an ketika diadakan musyawarah tiga wilayah besar (Jawa Barat, Sulawesi, dan Aceh) di Tangerang Jawa Barat, diputuskan bahwa Adah Djaelani Tirtapradja diangkat menjadi Imam NII. Lalu ada pemekaran wilayah NII yang tadinya 7 menjadi 9, penambahannya itu KW VIII (Komandemen Wilayah VIII) Priangan Barat (mencakup Bogor, Sukabumi, Cianjur), dan KW IX Jakarta Raya (Jakarta, Tangerang, Bekasi).
Pada dekade 1990-an KW IX dijadikan sebagai Ummul Quro (ibukota negara) bagi NII, menggantikan Tasikmalaya, atas keputusan Adah Djaelani. Karena pentingnya menguasai ibukota sebagai pusat pemerintahan, maka dibukalah program negara secara lebih luas, dan puncaknya ketika pemerintahan dipegang Abu Toto Syekh Panjigumilang (yang juga Syekh Ma'had Al-Zaitun, Desa Gantar, Indramayu, Jawa Barat) menggantikan Adah Djaelani sejak tahun 1992.
Penyelewengannya terjadi ketika pucuk pimpinan NII dipegang Abu Toto. Ia mengubah beberapa ketetapan-ketetapan Komandemen yang termuat dalam kitab PDB (Pedoman Dharma Bakti) seperti menggantikan makna fai' dan ghanimah yang tadinya bermakna harta rampasan dari musuh ketika terjadi peperangan (fisik), tetapi oleh Abu Toto diartikan sama saja, baik perang fisik maupun tidak. Artinya, harta orang selain NII boleh dirampas dan dianggap halal. Pemahaman ini tidak dicetuskan dalam bentuk ketetapan syura (musyawarah KW IX) dan juga tidak secara tertulis, namun didoktrinkan kepada jamaahnya. Sehingga jamaahnya banyak yang mencuri, merampok, dan menipu, namun menganggapnya sebagai ibadah, karena sudah diinstruksikan oleh 'negara'.
Dalam hal shalat, dalam Kitab Undang-undang Dasar NII diwajibkan shalat fardhu 5 waktu, namun perkembangannya, dengan pemahaman teori kondisi perang, maka shalat bisa dirapel. Artinya, dari mulai shalat zuhur sampai dengan shalat subuh dilakukan dalam satu waktu, masing-masing hanya satu rakaat. Ini doktrin Abu Toto dari tahun 2000-an. Mengenai puasa, mereka mengamalkan hadits tentang mengakhirkan sahur dan menyegerakan berbuka dengan cara, sudah terbit matahari pun masih boleh sahur, sedang jam 5 sore sudah boleh berbuka. Alasannya dalil hadits tersebut.
Gerakan ini mencari mangsa dengan jalan setiap jamaah diwajibkan mencari satu orang tiap harinya untuk dibawa tilawah. Lalu diarahkan agar hijrah dan berbaiat sebagai anggota NII. Karena dengan baiat maka seseorang terhapus dari dosa masa lalu, tersucikan diri, dan menjadi ahli surga. Untuk itu peserta ini harus mengeluarkan shadaqah hijrah yang besarnya tergantung dosa yang dilakukan. Anggota NII di Jakarta saja, saat ini diperkirakan 120.000 orang yang aktif.

LDII (Lembaga Dakwah Islam Indonesia)
Pendiri dan pemimpin tertinggi pertama gerakan ini adalah Madigol Nurhasan Ubaidah Lubis bin Abdul bin Thahir bin Irsyad. Lahir pada tahun 1915 di Desa Bangi, Kec. Purwoasri, Kediri, Jawa Timur. Paham yang dianut oleh LDII tidak berbeda dengan aliran Islam Jama'ah/Darul Hadits yang telah dilarang oleh Jaksa Agung Republik Indonesia pada tahun 1971. Keberadaan LDII mempunyai akar kesejarahan dengan Darul Hadits/Islam, Jama'ah yang didirikan pada tahun 1951 oleh Nurhasan Al Ubaidah Lubis (Madigol). Setelah aliran tersebut dilarang tahun 1971, kemudian berganti nama dengan Lembaga Karyawan Islam (LEMKARI) pada tahun 1972 (tanggal 13 Januari 1972. Pengikut gerakan ini pada pemilu 1971 berafiliasi dan mendukung GOLKAR).Aliran sesat yang telah dilarang Jaksa Agung 1971 ini kemudian dibina oleh mendiang Soedjono Hoermardani dan Jenderal Ali Moertopo. LEMKARI dibekukan di seluruh Jawa Timur oleh pihak penguasa di Jawa Timur atas desakan keras MUI (Majelis Ulama Indonesia) Jatim di bawah pimpinan KH. Misbach. LEMKARI diganti nama oleh Jenderal Rudini (Mendagri), 1990/1991, menjadi LDII (Lembaga Dakwah Islamiyah Indonesia). Penyelewengan utamanya, menganggap al-Qur'an dan as-Sunnah baru sah diamalkan kalau manqul (yang keluar dari mulut imam atau amirnya). Gerakan ini membuat syarat baru tentang sahnya keislaman seseorang. Orang yang tidak masuk golongan mereka dianggap kafir dan najis.
Modus operandi gerakan ini mengajak siapa saja ikut ke pengajian mereka secara rutin. Peserta akan diberikan ajaran tentang shalat dan sebagainya berdasarkan hadits, lalu disuntikkan doktrin-doktrin bahwa hanya Islam model manqul itulah yang sah, benar. Pelanggaran-pelanggaran yang dilakukan, boleh ditebus dengan uang oleh anggota ini.
Inkar Sunnah
Orang yang tidak mempercayai hadits Nabi saw sebagai landasan Islam, maka dia sesat. Itulah kelompok Inkar Sunnah.
Ada tiga jenis kelompok Inkar Sunnah. Pertama kelompok yang menolak hadits-hadits Rasulullah saw secara keseluruhan. Kedua, kelompok yang menolak hadits-hadits yang tak disebutkan dalam al-Qur'an secara tersurat ataupun tersirat. Ketiga, kelompok yang hanya menerima hadits-hadits mutawatir (diriwayatkan oleh banyak orang setiap jenjang atau periodenya, tak mungkin mereka berdusta) dan menolak hadits-hadits ahad (tidak mencapai derajat mutawatir) walaupun shahih. Mereka beralasan dengan ayat, ".sesungguhnya persangkaan itu tidak berguna sedikitpun terhadap kebenaran" (Qs An-Najm: 28). Mereka berhujjah dengan ayat itu, tentu saja menurut penafsiran model mereka sendiri.
Inkar Sunnah di Indonesia muncul tahun 1980-an ditokohi Irham Sutarto. Kelompok Inkar Sunnah di Indonesia ini difatwakan oleh MUI (Majelis Ulama Indonesia) sebagai aliran yang sesat lagi menyesatkan, kemudian dilarang secara resmi dengan Surat Keputusan Jaksa Agung No. Kep-169/ J.A./ 1983 tertanggal 30 September 1983 yang berisi larangan terhadap aliran inkarsunnah di seluruh wilayah Republik Indonesia.




Ahmadiyah
Orang yang mengakui adanya nabi lagi sesudah Nabi Muhammad saw maka mereka sesat. Itulah kelompok Ahmadiyah yang mempercayai Mirza Ghulam Ahmad dari India sebagai nabi setelah Nabi Muhammad saw.
Gerakan Ahmadiyah didirikan oleh Mirza Ghulam Ahmad di India. Mirza lahir 15 Februari 1835 M. dan meninggal 26 Mei 1906 M di India.
Ahmadiyah masuk ke Indonesia tahun 1935, tapi mereka mengklaim diri telah masuk ke negeri ini sejak tahun 1925. Tahun 2000, mendiang khalifah Ahmadiyah dari London, Tahir Ahmad, bertemu dengan Presiden Abdurahman Wahid. Kini Ahmadiyah mempunyai sekitar 200 cabang, terutama Jakarta, Jawa Barat, Jawa Tengah, Sumatera Barat, Palembang, Bengkulu, Bali, NTB dan lain-lain. Basis-basis Ahmadiyah di Kuningan, Jawa Barat dan Lombok telah dihancurkan massa (2002/2003) karena mereka sesumbar dan mengembangkan kesesatannya.
Tipuan Ahmadiyah Qadyan, mereka mengaku bahwa Mirza Ghulam Ahmad itu nabi namun tidak membawa syariat baru. Tipuan mereka itu dusta, karena mereka sendiri mengharamkan wanitanya nikah dengan selain orang Ahmadiyah. Sedangkan Nabi Muhammad saw tidak pernah mensyariatkan seperti itu, jadi itu syari'at baru mereka. Sedangkan Ahmadiyah Lahore yang di Indonesia berpusat di Jogjakarta mengatakan, Mirza Ghulam Ahmad itu bukan nabi tetapi Mujaddid. Tipuan mereka ini dusta pula, karena mereka telah mengangkat pembohong besar yang mengaku mendapatkan wahyu dari Allah, dianggap sebagai mujaddid.

Salamullah
Agama Salamullah adalah agama baru yang menghimpun semua agama, didirikan oleh Lia Aminuddin, di Jakarta. Dia mengaku sebagai Imam Mahdi yang mempercayai reinkarnasi. Lia mengaku sebagai jelmaan roh Maryam, sedang anaknya, Ahmad Mukti yang kini hilang, mengaku sebagai jelmaan roh Nabi Isa as. Dan imam besar agama Salamullah ini Abdul Rahman, seorang mahasiswa alumni UIN Jakarta, yang dipercaya sebagai jelmaan roh Nabi Muhammad saw.
Ajaran Lia Aminuddin yang profesi awalnya perangkai bunga kering ini difatwakan MUI pada 22 Desember 1997 sebagai ajaran yang sesat dan menyesatkan. Pada tahun 2003, Lia Aminuddin mengaku mendapat wahyu berupa pernikahannya dengan pendampingnya yang dia sebut Jibril. Karena itu, Lia Aminuddin diubah namanya menjadi Lia Eden sebagai lambang surga, menurut kitabnya yang berjudul Ruhul Kudus. Pengikutnya makin menyusut, kini tinggal 70-an orang, maka ada "wahyu-wahyu" yang menghibur atas larinya orang dari Lia.

Isa Bugis
Orang yang memaknakan al-Qur'an semaunya, tidak sesuai dengan petunjuk Rasulullah saw, maka mereka sesat. Itulah kelompok Isa Bugis. Contohnya, mereka memaknakan al-fiil yang artinya gajah menjadi meriam atau tank baja. Alasannya di Yaman saat zaman Nabi tidak ada rumput maka tak mungkin ada gajah. Kelompok ini tidak percaya mukjizat, dan menganggap mukjizat tak ubahnya seperti dongeng lampu Aladin. Nabi Ibrahim menyembelih Ismail itu dianggapnya dongeng belaka. Kelompok ini mengatakan, tafsir al-Qur'an yang ada sekarang harus dimuseumkan, karena salah semua. Al-Qur'an bukan Bahasa Arab, maka untuk memahami al-Qur'an tak perlu belajar Bahasa Arab. Lembaga Pembaru Isa Bugis adalah Nur, sedang yang lain adalah zhulumat, maka sesat dan kafir. Itulah ajaran sesat Isa Bugis
Tahun 1980-an mereka bersarang di salah satu perguruan tinggi di Rawamangun, Jakarta. Sampai kini masih ada bekas-bekasnya, dan penulis pernah berbantah dengan kelompok ini pada tahun 2002. Tampaknya, mereka masih dalam pendiriannya, walau tak mengaku berpaham Isa Bugis.

Baha'i
Kelompok ini adalah kelompok yang menggabung-gabungkan Islam dengan Yahudi, Nasrani dan lainnya. Itulah kelompok Baha'i. Menghilangkan setiap ikatan agama Islam, menganggap syariat Islam telah kadaluarsa. Persamaan antara manusia meskipun berlainan jenis, warna kulit dan agama. Inilah inti ajaran Baha'i. Menolak ketentuan-ketentuan Islam. Menolak Poligami kecuali dengan alasan dan tidak boleh dari dua istri. Mereka melarang talaq dan menghapus 'iddah (masa tunggu). Janda boleh langsung kawin lagi, tanpa 'iddah. Ka'bah bukanlah kiblat yang mereka akui. Kiblat mereka adalah dimana Tuhan menyatu dalam diri Bahaullah (pemimpin mereka).

Pluralisme Agama, JIL (Jaringan Islam Liberal).
Orang yang menyamakan semua Agama, hingga Islam disamakan dengan Yahudi, Nasrani, dan agama-agama kemusyrikan, mereka juga sesat dan menyesatkan. Itulah kelompok yang berpaham pluralisme agama, yang sejak Maret 2001 menamakan diri sebagai JIL (Jaringan Islam Liberal) yang dikoordinir oleh Ulil Abshar Abdalla. Ulil tidak mengakui adanya hukum Tuhan, hingga syariat mu'amalah (pergaulan antar manusia). Perintah syari'at jilbab, qishash, hudud, potong tangan bagi pencuri dan sebagainya itu tidak perlu diikuti. Bahkan larangan nikah antara Muslim dengan non Muslim dianggap tidak berlaku lagi, karena ayat larangannya dianggap tidak jelas. Vodca (minuman keras beralkohol lebih dari 16%) pun menurut Ulil bisa jadi di Rusia halal, karena udaranya dingin sekali.
Pemahaman "kembali kepada al-Qur'an dan as-Sunnah/al-Hadits" seperti yang dipahami umat Islam sekarang ini menurut Ulil, salah, karena menjadikan penyembahan terhadap teks. Maka harus dipahami bahwa al-Qur'an yang sekarang baru separuhnya, sedang separuhnya lagi adalah pengalaman manusia

Lembaga Kerasulan
Kelompok ini mengibaratkan Rasul bagai menteri, sedang kerasulan adalah sebuah departemen. Lalu Rasul boleh wafat sebagaimana menteri boleh mati, namun kerasulan atau departemen tetap ada. Diangkatlah rasul baru sebagaimana diangkat pula menteri baru. Karena Nabi Muhammad saw adalah rasul terakhir. Yang berpaham Rasul tetap diangkat sampai hari kiyamat itulah kelompok Lembaga Kerasulan.
Masih banyak sebenarnya lembaga dan gerakan aliran sesat yang berkembang di Indonesia. Ada yang bergerak secara kelompok, tapi ada pula yang bersifat pemikiran individu, seperti Harun Nasution dan Ahmad Wahib. Kedua tokoh ini nyaris sama. Harun Nasution mengatakan bahwa semua agama pada dasarnya adalah sama. Sedangkan Ahmad Wahib yang pernah menerbitkan buku Pergolakan Pemikiran Islam pernah membuat statemen yang mengagetkan dalam bukunya, "Seandainya Muhammad tidak ada, wahyu dari Allah (al-Qur'an) dengan tegas aku berkata bahwa Karl Marx dan Frederick Engels lebih hebat dari utusan Tuhan itu. Otak kedua orang itu yang luar biasa dan pengabdiannya yang luar biasa akan meyakinkan setiap orang bahwa kedua orang besar itu adalah penghuni surga tingkat pertama berkumpul dengan para Nabi dan Syuhada."
Begitu banyak tantangan untuk umat Islam. Ada tekanan yang datang dari luar, ada pula pengkhianatan dan kesesatan yang muncul dari dalam. Demikian hasil investigasi yang dilakukan oleh Hartono Ahmad Jais

3. PENGERTIAN SESAT
Dalam bahasa Arab, sesat atau kesesatan itu adalah dhalal. Yaitu setiap yang menyimpang dari jalan yang dituju (yang benar) dan setiap yang berjalan bukan pada jalan yang benar, itulah kesesatan. Dalam al-Qur'an disebutkan, setiap yang di luar kebenaran itu adalah sesat. [3] Kebenaran hanya datang dari Allah.
Kebenaran dari Allah itu adanya di al-Qur'an dan as-Sunnah, namun cara pemahamannya/penafsirannya model apa? Pertanyaan itu sudah ada jawabannya, dalam hadits tentang 73 golongan, riwayat At-Tirmidzi. "Siapakah dia (golongan yang satu-yang selamat dari neraka-itu) wahai Rasulullah?" Beliau menjawab, "(Mereka yang mengikuti apa) yang aku dan sahabatku berada di atasnya."
Syaikh Shalih bin Fauzan al-Fauzan, penulis Lamhah 'anil firaq adh-dhaallah, Membongkar Firqah-Firqah Sesat, berkomentar. Ketika Rasulullah ditanya tentang siapakah satu yang selamat itu, beliau menjawab, "Mereka adalah orang-orang yang menempuh jalan seperti yang aku dan sahabatku tempuh." Maka barangsiapa yang tetap di atas jalan yang ditempuh Rasul saw dan para sahabatnya, maka dia termasuk yang selamat dari neraka. Dan barangsiapa yang menyelisihi dari hal tersebut sesungguhnya dia diancam dengan neraka sesuai dengan kadar jauhnya. [4]
Majelis Ulama Indonesia (MUI),[5] akhirnya telah mengeluarkan pedoman identifikasi aliran sesat. Pedoman ini dikeluarkan terkait dengan bermunculannya berbagai aliran yang mengatasnamakan agama dengan pemahaman yang tidak sesuai dengan akidah dan syariat Islam.
Ada 10 kriteria untuk menentukan paham atau aliran dikatakan sesat, yaitu mengingkari salah satu rukun Iman dan Islam, mengikuti akidah yang tidak sesuai dengan dalil syar’i yaitu Al­quran dan Sunnah, meyakini turunnya wahyu setelah Al­quran, mengingkari otentitas dan kebenaran isi ajarannya, melakukan penafsiran Alquran dengan tidak berdasarkan kai­dah tafsir, mengingkari ke­dudukan hadis Nabi, menghina dan melecehkan atau merendahkan Nabi dan Rasul, mengingkari Nabi Muhammad sebagai Nabi dan Rasul terakhir. Mengubah, menambah, dan atau mengurangi pokok-pokok ibadah yang telah ditetapkan syariah seperti haji tidak ke Baitullah, salat fardlu tidak lima waktu, dan mengkafirkan se­sama muslim tanpa dalil syar’i seperti meng­kafiran muslim ha­nya karena bukan kelompoknya

4. HUKUM POSITIF INDONESIA TENTANG ALIRAN SESAT
Hukum positif Indonesia adalah sistem atau tatanan hukum dan asas-asas berdasarkan keadilan yang mengatur kehidupan manusia di dalam masyarakat Indonesia pada waktu ini.[6]
Salah satu kewajiban negara dalam hukum positif adalah memberikan rasa aman dan nyaman bagi warga negaranya dan warga negara asing, termasuk dalam menjalankan kehidupan beragama dan kebebasan untuk memeluk suatu agama. Apabila ada gangguan terhadap hal tersebut, misalnya munculnya aliran sesat, maka negara harus segera mengambil tindakan, baik melalui sarana hukum maupun sarana non hukum, karena akibatnya dapat menimbulkan keresahan, perpecahan bahkan konflik sosial dimasyarakat secara terus menerus yang pada puncaknya dapat mengganggu ketahanan nasional bangsa.
Indonesia telah memiliki perangkat ketentuan hukum positif yang terkait dengan prosedur penegakkan hukum terhadap aliran yang dianggap sesat. Dasar hukumnya mengacu pada UU No1/PNPS/1965 tentang pencegahan, penyalahgunaan dan/atau penodaan agama dan berdasarkan KUHP.
Menurut Dwi Haryadi, SH, MH[7] aliran sesat dikategorikan sebagai salah satu jenis tindak pidana dalam delik agama yang berupa penistaan atau penodaaan agama yang dianut di Indonesia. Istilah tindak pidana atau delik agama dapat diartikan dalam tiga pengertian, yaitu tindak pidana ‘menurut agama’, tindak pidana ‘terhadap agama’ dan tindak pidana ‘yang berhubungan dengan agama atau terhadap kehidupan beragama’. Dalam hukum Indonesia, khususnya pengaturan dalam KUHP, untuk pengertian delik agama yang pertama, telah banyak diatur dalam KUHP, karena perbuatan yang dilarang dalam KUHP sebagian besar juga dilarang menurut agama, seperti pembunuhan, penganiayaan, pencurian, penipuan, pemerkosaan dan lain-lain.
Sementara pengertian delik agama yang kedua, diatur dalam Pasal 156a, yaitu melakukan penodaan terhadap agama dan perbuatan agar orang tidak menganut agama. Adapun pengertian delik agama yang ketiga, tersebar dalam KUHP, yaitu Pasal 175-181 dan Pasal 503 ke-2, yang terdiri dari merintangi pertemuan/upacara agama dan upacara penguburan jenazah, menggangu pertemuan/upacara keagamaan dan upacara penguburan jenazah, menertawakan petugas agama dalam menjalankan tugasnya yang diizinkan, menghina benda-benda keperluan jenazah, merintangi pengangkutan mayat ke kuburan, menodai/merusak kuburan, menggali, mengambil, memindahkan jenazah, menyembunyikan/menghilangkan jenazah untuk menyembunyikan kematian/kelahiran dan membuat gaduh dekat bangunan untuk ibadah atau pada waktu ibadah dilakukan.[8]
Pengaturan delik agama dalam KUHP, pada awalnya hanyalah mencakup pengertian delik agama yang ketiga, yaitu tindak pidana ‘yang berhubungan dengan agama atau terhadap kehidupan beragama’. Namun setelah adanya penambahan Pasal 156a kedalam KUHP berdasarkan Pasal 4 UU No. 1 tahun 1965 (UU No. 1/PNPS/1965) tertanggal 27 Januari 1965, barulah pengertian delik agama yang kedua tercakup dalam KUHP. Selain Pasal 156a, sebenarnya Pasal 1 UU No. 1/1965 juga merupakan delik agama, hanya saja tidak diintegrasikan dalam KUHP.[9]
Adapun jenis perbuatan yang dilarang dalam Pasal 1 tersebut adalah melakukan penafsiran dan kegiatan-kegiatan keagamaan yang menyimpang dari pokok-pokok ajaran agama yang dianut di Indonesia. Namun ketentuan ini baru dapat dipidana, menurut Pasal 3 UU No. 1/1965 apabila telah mendapat perintah dan peringatan keras untuk menghentikan perbuatan itu, organisasi/aliran kepercayaan yang melakukan perbuatan itu telah dibubarkan/dinyatakan terlarang oleh Presiden Republik Indonesia, namun orang/organisasi itu masih terus melakukan perbuatan itu.[10]
Prosedurnya jika ada aliran yang diduga sesat harus dibahas di Badan Koordinasi Penganut Aliran Kepercayaan Masyarakat (Bakorpakem) yang ada di daerah. Mekanisme pelarangan aliran dan organisasi tertentu, didasarkan pada Keputusan Jaksa Agung (Kepja) No 108/JA/5/1984 tentang pembentukan tim koordinasi Pakem. ”Kalau Bakorpakem itu memutuskan suatu ajaran dilarang, maka baru diteruskan ke Jaksa Agung,” Kejaksaan Agung akan mengeluarkan keputusan setelah ada persetujuan dari presiden untuk melarang sebuah ajaran yang dianggap sesat. Hal ini sesuai dengan Peraturan Pemerintah (PP) Nomor 1 Tahun 1965. Setelah dikeluarkan keputusan pelarangan, baru masuk dalam pasal penodaan agama, yang diatur dalam KUHP Pasal 156a.
Berdasarkan pembahasan di atas, kasus aliran sesat yang kini marak terjadi dapat dikategorikan dalam pengertian delik agama yang kedua, yaitu tindak pidana ‘terhadap agama’, dijerat dengan Pasal 156a KUHP atau dengan Pasal 1 UU No. 1/1965. Namun dalam penerapannya tetap harus memperhatikan prosedur sebagaimana telah dijelaskan diatas yaitu aliran tersebut harus dinyatakan sesat terlebih dahulu, baru kemudian keluar larangan. Apabila setelah dilarang masih tetap menjalankannya, maka Pasal 1 UU No. 1/1965 atau Pasal 156a KUHP dapat digunakan untuk menjeratnya.
5. ASPEK EFEKTIFITAS HUKUM DAN PARADIGMANYA DALAM HUKUM ISLAM
Kondisi faktual dimasyarakat menunjukan bahwa hukum yang ada sepertinya tidak efektif, baik untuk mencegah maupun memberikan efek jera bagi pelaku penistaan dan penodaan agama. Maraknya aliran sesat yang tumbuh subur bagaikan jamur dimusim penghujan serta pelakunya yang tetap melakukan kejahatan serupa meskipun telah dihukum (Lia Aminudin dihukum 2 tahun), menunjukan bukti tentang semua kelemahan itu. Lantas apa yang salah dari hukum kita tersebut.
Hukum memang bukanlah segala-galanya atau satu-satunya penentu keberhasilan dalam mencegah maupun menanggulangi kejahatan, ada banyak faktor kriminogen yang turut mempengaruhi, diantaranya rendahnya pemahaman masyarakat terhadap agamanya sendiri, issu-issu HAM yang kebablasan, sosio kultural masyarakat yang masih berpegang kuat pada keyakinan yang bersifat mistik, kondisi ekonomi masyarakat yang masih jauh dari sejahtera serta adanya intrik-intrik eksternal lainnya. Semuanya itu turut memberi andil atas munculnya kejahatan tersebut.
Namun terlepas dari itu semua, idealnya hukum masih tetap dapat diandalkan dan dikedepankan atau paling tidak sebagai benteng terakhir karena Indonesia adalah negara berdasarkan hukum (Rechts staats). Hukum merupakan peraturan yang bersifat memaksa serta memiliki instrumen spesifik yaitu adanya tindakan sanksi dan adanya organ pelaksananya sehingga dapat menciptakan ketentraman di masyarakat.[11]
Hukum yang baik memang harus mengakomodasikan nilai-nilai dan norma yang dapat menjawab persoalan rasa keadilan masyarakat serta dapat menciptakan ketertiban dan kepastian hukum bagi masyarakat. Sebagaimana juga teori “Utilitis”nya Jeremy Bantham[12] yaitu The greatesh Happyness For The Greatest Number. Dan hukum yang baik menurut teori “Sosiologi Hukum” Apeldoorn adalah hukum yang sesuai dengan hukum yang hidup didalam masyarakat sesuai hierarki yang mencerminkan nilai-nilai yang hidup dalam masyarakat.[13]
Berkaitan dengan kasus aliran sesat maka (selain UU No. 1 tahun 1965) apakah KUHP yang sekarang kita pergunakan untuk mengadili pelaku penyebar aliran sesat dan para pengikutnya telah dapat kita katakan mengandung norma yang sesuai dengan kehidupan masyarakat Indonesia maka sudah pasti jawabannya tidak, karena KUHP yang kita pergunakan saat ini adalah produk peninggalan kolonial Belanda itupun berasal dari Perancis yang nota bene juga mengadopsi hukum-hukum Romawi. Hukum semacam ini sudah pasti jauh dari cerminan nilai-nilai yang hidup dalam masyarakat Indonesia. Untuk itu tentunya kita memerlukan KUHP yang lebih baik dimasa datang, yang sesuai dengan kepribadian bangsa kita, semoga Rancangan KUHP yang baru dapat menjawab persoalan ini.
Persoalan kedua yaitu bahwa meskipun KUHP yang sekarang masih memiliki validitas karena diakui, dan mengikat secara konstitusional berdasarkan Pasal I Aturan Peralihan UUD 1945 (hasil Amandemen ke 4) yaitu “Segala peraturan perundang-undangan yang ada masih tetap berlaku selama belum diadakan yang baru menurut Undang-Undang Dasar ini” namun (Kitab Undang-Undang Hukum Pidana dimaksud) belum tentu memiliki efektivitas (effecacy). Pendapat yang sama juga disampaikan oleh Maria Farida bahwa sehubungan dengan berlakunya suatu norma karena adanya daya laku (validity), kita masih dihadapkan pula pada daya guna/bekerjanya (effecacy) dari norma tersebut. Dalam hal ini kita melihat suatu norma ada dan berlaku itu bekerja/berdaya guna secara efektif atau tidak, atau dengan perkataan lain apakah norma itu ditaati atau tidak.[14]
Dalam teori ilmu hukum banyak faktor yang turut mempengaruhi suatu hukum bisa berfungsi efektif. Diantaranya adalah hukum itu selain mencerminkan norma yang diakui dan hidup dimasyarakat, juga harus dapat merubah prilaku masyarakat (social engenering) kearah ketertiban dan keteraturan sehingga dapat terciptanya pembangunan dan pembaharuan. Mochtar Kusumaatmadja berpendapat,[15] bahwa “.....hukum sebagai sarana pembangunan adalah bahwa hukum dalam arti kaidah atau peraturan hukum memang bisa berfungsi sebagi alat (pengatur) atau sarana pembangunan dalam arti penyalur arah kegiatan manusia ke arah yang dikendaki oleh pembangunan atau pembaharuan.
Kenyataanya dalam kasus aliran sesat, pasal-pasal dalam KUHP belum mampu berfungsi sebagai alat (pengatur) atau sarana pembangunan, (sebagaimana pendapat Mochtar Kusumaatmadja tersebut), karena prilaku masyarakat (pelaku kejahatan) tidak berubah bahkan justru terjadi disorientasi terhadap tujuan pembangunan itu sendiri yaitu bisa dilihat dari masih terjadinya kejahatan penghinaan dan penistaan terhadap agama, meskipun KUHP telah diterapkan.
Untuk menjelaskan mengapa orang tidak taat pada hukum memang sulit untuk menjawabnya karena persoalan tersebut erat kaitannya dengan motivasi orang itu sendiri. dalam hal ini berhubungan dengan phsikologi dan meta juridis. Tetapi berdasarkan teori-teori hukum dapat dijelaskan bahwa orang mau mentaati hukum karena takut akan sanksi (hukuman). Ketakutan akan mendapatkan hukuman ini memang merupakan penjelasan yang cukup penting mengapa orang mentaati hukum. Lebih jauh Mochtar Kusumaatmadja mengatakan bahwa, sanksi hukum adalah bentuk perwujudan yang paling jelas dari kekuasaan negara dalam pelaksanaan kewajibannya untuk memaksakan ditaatinya hukum. Penerapan atau dijatuhkannya sanksi bisa mengakibatkan perampasan kebebasan (hukuman penjara), harta benda (penyitaan), kehormatan bahkan jiwa seseorang (hukuman mati).[16]
Austin berpendapat bahwa “orang merasa terikat atau diwajibkan untuk berbuat atau menghindar berbuat karena ia membenci kejahatan itu tapi juga bisa karena ia merasa takut terhadap sanksi atas kejahatannya itu (efek jera).
Dengan tidak jeranya para pelaku penyebar aliran sesat serta ketiadaan ancaman rasa takut bagi para pengikutnya, menunjukkan bahwa sanksi hukum yang diterapkan tidaklah efektif. Terbukti sekarang pada Lia Aminudin, bahwa ternyata ancaman sanksi hukum 2 tahun terhadapnya tidak efektif dan tidak menimbulkan efek jera. Hal senada juga disampaikan oleh Pakar hukum pidana dari Universitas Indonesia (UI), Rudy Satryo,[17] mengatakan hukuman terhadap pimpinan aliran sesat yang dijerat dengan pasal 156 dan 156 a KUHP tentang penodaan agama, dengan hukuman hanya 2 tahun, terlalu ringan sehingga aliran-aliran yang meresahkan masyarakat selalu muncul kembali. Ia mengatakan ringannya hukuman tersebut juga membuat para pimpinan aliran sesat tidak merasa jera. Ia mencontohkan Lia Aminuddin (Lia Eden), yang mengaku sebagai Jibril Ruhul Kudus, hanya dijatuhi hukuman 2 tahun, bukan hukuman maksimal. Bahkan lebih ekstrim lagi menurutnya ringannya hukuman tersebut merupakan bentuk lain dari pengakuan secara tidak langsung terhadap aliran-aliran sesat yang selalu muncul tersebut. Maka diperlukan tentunya sanksi yang lebih berat dan lebih keras sifatnya.
Dalam mencari bentuk sanksi yang demikian kiranya tidak ada salahnya kita perlu belajar dari risalah Nabi Muhammad SAW yang telah mengajarkan tentang syariat Islam. Syariat Islam menetapkan adanya kebebasan beragama yaitu :
“Tidak ada paksaan untuk (memasuki) agama (Islam). Sesungguhnya telah jelas jalan yang benar daripada jalan yang salah “[18]
“Dan jikalau Tuhanmu menghendaki tentulah beriman semua orang yang dimuka bumi seluruhnya. Apa kamu hendak memaksa manusia supaya mereka menjadi orang-orang yang beriman semuanya”[19]
”Dan katakanlah: Kebenaran itu datangnya dari Tuhanmu. Maka barang siapa yang ingin (beriman) biarlah ia beriman, dan barang siapa yang ingin kafir biarlah ia kafir”[20]
”Dan janganlah kamu memaki-maki sembahan-sembahan yang mereka sembah selain Allah, karena mereka nanti akan memaki Allah dengan melampaui batas tanpa pengetahuan “[21]
Sebagai konsekwensi kebebasan beragama ialah menghormati semua tempat-tempat ibadah tanpa membedakan antara agama yang satu dengan yang lain sesuai dengan ayat Qur’an :
“Sekiranya Allah tidak menolak (keganasan) sebagian manusia dengan sebagian yang lain, tentunya telah dirobohkan biara-biara Nasarani, gereja-gereja, rumah-rumah ibadah orang Yahudi dan masjid-masjid yang didalamnya banyak disebut nama Allah.....”[22]
Akan tetapi syariat Islam mengecualikan soal Murtad, termasuk pengertian ini menurut Menteri Agama RI Maftuh Basyuni bahwa suatu faham aliran disebut sesat, karena tidak sesuai dengan ajaran Islam yang sebenarnya. Islam itu Tuhannya cuma satu Allah SWT, Nabi terakhir hanya Muhammad SAW, dan kitab suci cuma satu yaitu Al-Quran.[23]
Keluar dari Islam sesudah taat, dengan perkataan atau perbuatan adalah murtad. Orang murtad harus disuruh masuk Islam kembali, karena pengakuannya terhadap kebenaran mewajibkan melaksanakan hukum-hukumnya. Apabila ia tidak bertobat, maka hukumannya adalah dibunuh. Demikian menurut pendapat jumhur ulama, berdasarkan Hadist Nabi : “Barang siapa mengganti agamanya maka bunuhlah ia” [24]
Menurut Subhi Mahmassani, [25] Apabila kemurtadan itu telah mengambil bentuk massal yang dibarengi tindakan pemecah belahan oleh kaum murtad dan ketidaktaatan kepada negara, atau keberfihakan kepada musuh, maka dalam keadaan demikian perbuatan tersebut dianggap sebagai fitnah yang membahayakan kemaslahatan umum dan membolehkan memerangi mereka hingga mereka bertobat dan kembali menghormati peraturan dan kedaulatan. Inilah yang dilakukan Khlifah pertama Abu Bakar Siddiq r.a pada waktu ia memerangi sebagian bangsa Arab dan beberapa kabilah di saat mereka berpecah belah dari agama setelah Nabi s.a.w wafat, atau ketika mereka menolak membayar zakat, karena perbuatan mereka itu merupakan pemberontakan, pembangkangan dan fitnah. Sebagaimana dimaklumi bahwa fitnah itu membahayakan keselamatan negara, dan menurut bahasa Quran sendiri, dipandang sebagai “lebih berat dan lebih berbahaya dari pembunuhan” (Al=Baqarah (2): 191).
Demikianlah Islam memberikan sanksi yang tegas bagi mereka yang telah murtad. Ancaman sanksi hukuman yang demikian tidaklah berlebihan bila ditinjau dari hukum positif Indonesia karena dalam hukum positif Indonesia sendiri, mengakui adanya hukuman mati dalam sistem pemidanaannya (pasal 10 KUHP) dimana hukuman mati termasuk salah satu pidana pokok. Namun Islam juga tidak dengan serta merta menjatuhkan sanksi keras tersebut sebelum memberikan kesempatan bagi mereka untuk bertobat. Semua yang telah dikemukan sebelumnya adalah sebagian hukum-hukum syariat yang ada hubungannya dengan hak-hak asasi manusia, sebagaimana yang diperintahkan Islam untuk diikuti yaitu :
“Dan hendaklah ada diantara kamu segolongan yang menyeru kepada kebajikan, dan menyuruh kepada yang ma’ruf dan mencegah dari yang munkar. Merekalah orang-orang yang beruntung”.[26]
Proses penyadaran agar mereka mau bertobat hendaklah ditempuh dengan cara-cara yang terpuji, Islam mengajarkan bahwa seseorang dalam menyampaikan pendapatnya dilakukan dengan menghormati kebebasan menyampaikan pendapat orang lain. Karena itu adalah salah satu etika dan kesopanan dalam musyawarah dan berdiskusi yaitu melakukan dialog dengan tenang dan sopan, dilakukan dengan cara yang baik. Cara inilah yang dikehendaki syariat Islam seperti dikemukakan Quran:
“Dan bantahlah mereka dengan cara yang baik.”[27]
Apabila mereka sadar akan kesalahannya dan bertobat maka kewajiban kita untuk memaafkannya karena syariat menjadikan hukum keadilan, yang merupakan asas pergaulan hidup, diisi dan diwarnai oleh ruh kemanusian yang didasarkan kepada iman dan akhlak. Firman Allah:
“Sesungguhnya Allah menyuruh (kamu) berlaku adil dan berbuat kebajikan.”[28]
Syariat Islam mendukung hak hidup tersebut, ia melarang membunuh orang tanpa hak, hal itu seperti dalam ayat berikut :
“Dan janganlah kamu membunuh jiwa yang diharamkan Allah (membunuhnya), melainkan dengan suatu (alasan) yang benar.”[29]

6. KORELASI ANTARA HUKUM ISLAM DAN HUKUM HAK ASASI MANUSIA
Dari syariat Islam yang telah dijelaskan diatas maka terlihat ada korelasinya dengan hukum hak asasi manusia seperti yang tercantum dalam Deklarasi Universal Hak Asasi Manusia Pasal 18 ayat 3 yaitu:
“Kebebasan dalam menjalankan dan menentukan agama atau kepercayaan seseorang hanya dapat dibatasi oleh ketentuan berdasarkan hukum, dan yang diperlukan untuk melindungi keamanan, ketertiban, kesehatan, atau moral masyarakat, atau hak-hak dan kebebasaran mendasar orang lain”. [30]
Didalam UUD 1945 Pasal 28J ayat 2 disebutkan bahwa:
“Dalam menjalankan hak dan kebebasannya, setiap orang wajib tunduk kepada pembatasan yang ditetapkan dengan undang-undang dengan maksud semata-mata untuk menjamin pengakuan serta penghormatan atas hak dan kebebasan orang lain dan untuk memenuhi tuntutan yang adil sesuai dengan pertimbangan moral, nilai-nilai agama, keamanan, dan ketertiban umum dalam suatu masyarakat demokratis”.[31]
Dalam hal pemberian sanksi hukuman mati, Kovenan Internasional Hak-Hak Sipil dan Politik, juga tidak menentangnya sebagaimana diatur dalam Bagian III Pasal 6 ayat 6 yaitu:
“Tidak ada satupun dalam pasal ini yang boleh dipakai untuk menunda atau mencegah penghapusan hukuman mati oleh negara yang menjadi pihak dalam Kovenan ini”.[32]
Dengan demikian ajaran Islam tidak bertentangan dengan hukum hak asasi manusia yang universal bahkan begitu menjunjung tinggi hak asasi manusia. Dalam ajaram Islam, Orang yang sesat dan telah sadar serta mau bertobat harus diberikan kesempatan untuk bertobat dalam arti kata harus diampuni kesalahannya bukan dihukum, disinilah letak perbedaannya dengan ajaran sekuler (seperti dalam KUHP) yaitu bahwa kejahatan penistaan dan penodaan agama masuk dalam delik pidana murni, bukan delik aduan sehingga kasusnya tidak dapat dicabut, akhirnya proses hukum tetap berjalan sampai ada vonis pengadilan. Jika demikian mana yang lebih arif dalam menegakkan hak asasi manusia ? Islamkah atau faham sekuler yang katanya faham pelopor hak asasi manusia.

7. PENUTUP
Selain dibutuhkan sanksi hukum yang tegas maka untuk tercapainya tujuan hukum itu sendiri tentunya dibutuhkan juga komitmen dan good will pemerintah yang sungguh-sungguh termasuk aparat penegak hukum dalam melakukan law inforcement karena sebagai ujung tombak terdepan dalam penegakkan hukum, polisi seharusnya mampu bertindak sebelum masyarakat main hakim sendiri. Kewenangan tersebut didasarkan pada Pasal 15 Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2002 yaitu kewenangan untuk mengawasi aliran yang dapat menimbulkan perpecahan atau ancaman terhadap persatuan dan kesatuan bangsa. Aliran dimaksud antara lain aliran kepercayaan yang bertentangan dengan falsafah dasar negara Republik Indonesia.[33] Begitupun pengadilan sebagai benteng terakhir penegakkan hukum di Indoneisa, terlihat para hakim masih belum berani untuk menjatuhkan hukuman maksimal.
Dan yang lebih penting lagi untuk diperhatikan adalah perlunya penyiapan perangkat aturan hukum yang bukan hanya memiliki validitas namun juga harus efektif dan sesuai dengan nilai-nilai ajaran agama. Kemudian perlunya koordinasi yang intens (tidak parsial) antara pemerintah dengan Majelis Ulama dalam upaya prefentif menangkal sedini mungkin munculnya aliran sesat maupun untuk melakukan pembinaan secara berkelanjutan kepada masyarakat yang telah sadar dan mau bertobat, baik dengan dakwah agama maupun sosialisasi peraturan sehingga dengan adanya harmonisasi dan sinkronisasi hubungan kerja secara holistik ini diharapkan keimanan dan kesadaran hukum masyarakat akan meningkat dalam beragama maupun bermasyarakat.








[1] Antara News, 02 November 2007
[2] Sabili, 10 November 2003
[3] QS, Yunus: 32
[4] Sabili, 10 November 2003
[5] www.wawasandigital.com

[6] Prof. Dr. Mochtar Kusumaatmadja, SH, LL.M, Pengantar Ilmu Hukum, Alumni, Bandung, 1999, hal. 5.
[7] www.bangkapos.com
[8] Ibid, hal 2
[9] Ibid, hal 2
[10] Ibid, hal 2
[11] Hans Kelsen, General Theory of Law and State, Hlm 26
[12] Ibid, Hlm 289
[13] Ibid, Hlm 289
[14] Maria Farida, Ilmu Perundangundangan, Dasar-dasar dan Pembentukannya, Kanisius, Yogyakarta, 1998, hal 19.
[15] Mochtar Kusumaatmadja, Konsep-konsep Hukum Dalam Pembangunan, Alumni, Bandung, 2006, hal 38.
[16] Mochtar Kusumaatmadja, Pengantar Ilmu Hukum, Alumni, Bandung, 2000, hal 44
[17] Antara News, 01 November 2007
[18] Al-Baqarah (2):256.
[19] Yunus (10):99
[20] Al-Kahfi (18):29
[21] Al-An’am (6):108
[22] Al-Hajj (22):40
[23] Antara News, 02-11-2007
[24] Sahih Bukhari bi Syarhi ‘Aini, jilid 24, hal 79, dan As-Suyuti, Al-Jami’us Sagir, jilid 2 no. 8559
[25] Dr. Subhi Mahmassani, Konsep Dasar Hak-Hak Asasi Manusia Studi Perbandingan Syariat Islam dan Perundang-undangan Modern, Tintamas Indonesia, Jakarta, 1993, hal 97.
[26] Al-Imran (3): 104.
[27] An-Nahl (16): 125.
[28] An-Nahl (16): 90
[29] Al-Isra (17): 33.
[30] L.G. Saraswati dkk, Hak Asasi Manusia Teori, Hukum, Kasus, Filsafat UI Press, Jakarta, 2006, Hlm 433
[31] Ibid hlm 520.
[32] Ibid hlm 426
[33] Penjelasan UU No. 2 tahun 2002