Rabu, 20 Agustus 2008

MALPRAKTEK DOKTER MENURUT DIAGNOSA HUKUM

Perkembangan ilmu kedokteran yang semakin pesat serta kecanggihan peralatan medis yang serba modern telah mempermudah pekerjaan dokter dalam melaksanakan profesinya dengan baik. Di R.S. St. Luke, Houston Texas, Amerika Serikat, para dokter disana bisa melakukan operasi jantung di 11 meja operasi sekaligus dengan frekuensi operasi sebanyak 30 kali sehari. Suatu pekerjaan massal yang biasanya hanya ada dalam kegiatan produksi pabrik. Ini baru sebagian kecil dari sekian banyak kesuksesan dalam bidang kedokteran yang kita dengar diabad ini.
Keadaan tersebut melahirkan opini bahwa tuntutan akan kebutuhan jasa profesi dokter dalam dinamika kehidupan masyarakat yang mendambakan derajat kesehatan yang tinggi selalu diiringi dengan suatu anggapan bahwa dokter adalah manusia setengah Tuhan, dokter akan mampu memberikan pelayanan kesehatan dan pengobatan yang maksimal. Namun kenyataannya seringkali keinginan untuk bisa sembuh, malah yang didapat justru kekecewaan karena sakitnya bertambah parah atau bahkan meninggal dunia. Ketika sesuatu yang tidak diharapkan ini terjadi, muncul sikap yang beragam dari keluarga. sebagian ada yang menerimanya dengan lapang dada dan menganggapnya sebagai takdir tanpa ‘reserve’ namun tidak sedikit pula yang antipati, sedih, kecewa bahkan marah dan mempertanyakan secara kritis, apakah karena ada kesalahan dokter ?
Maraknya isu malparktek dokter belakangan ini sedikit banyak telah mempengaruhi hubungan dokter dan pasien yang semula dekat dan saling mempercayai telah berubah menjadi sikap “An eye, for an eye” alias “nyawa dibayar nyawa” hal ini kian memicu krisis malpraktek karena para dokter juga akan memperagakan strategi “defensif medicine” alias perlawanan pola bertahan ala cattenacio (sistem grendel gaya Italia, setiap gerakan lawan ‘dikunci’ satu persatu ) sehingga jangan kaget kalau akhirnya dokter akan meminta agar pasien terlebih dahulu harus memeriksakan darah, urine dan lain-lain karena takut salah mendiagnosa padahal cuma sakit flu, tapi apa mau dikata kocek pasien sudah terlanjur terkuras. Kalau sudah begini maka masyarakatpun beranggapan bahwa pergi ke dokter kok sama seperti pergi ke rentenir.
Permasalahan ini padahal dapat diminimalisir kalau kita semua memahami persoalan malpraktek secara baik dan benar.

Pengertian malpraktek
Secara harfiah, istilah malpraktek, malpractice, atau malpraxis artinya praktik yang buruk (bad practice), atau praktek yang jelek (Hermin Hadiati Koeswadji, 1998). Malpraktek adalah prilaku menyimpang atau prilaku tidak etis /tidak bermoral melanggar kewajiban hukum; praktek jahat profesi; kekurangterampilan yang tak layak atau tidak pantas dari seorang profesional (Henry Campbel Black, et al. dalam Black’s Law Dictionary, 5th ed, West Publishing Co, 1979). Apabila istilah tersebut dirangkai dengan kata ‘dokter’ menjadi malpraktek kedokteran. Istilah ini pertama kali digunakan oleh Sir William Blackstone tahun 1768 dikatakan bahwa ...that, malapraxis is great misdemeanour and offence at common law whether it be for curiosity or experiment, or by neglect; because it breaks the trust which the party had placed in his physician, and tends to the patient’s destruction (John Healy, 1999).
Menurut Ikatan Dokter Sedunia (World Medical Association/WMA) pada pertemuan internasional ke 44 di Marbella Spanyol 1992 menyebutkan bahwa malpraktek dokter mencakup kegagalan dokter mamatuhi standar pelayanan medis, atau kekurangcakapan, atau kelalaian dalam memberi pelayanan kepada pasiennya sehingga menjadikannya penyebab langsung suatu cedera pada pasien tersebut.

Malpraktek dokter menurut undang-undang kesehatan dan praktik kedokteran
Kartono Muhammad berpendapat bahwa malpraktek kedokteran adalah istilah hukum (Oemar Seno Adji, 1991). Sayangnya Undang-undang nomor 29 Tahun 2004 tentang Praktik Kedokteran tidak memuat ketentuan tentang malpraktek kedokteran. Pasal 66 ayat (1) hanya mengandung kalimat yang mengarah pada aspek prosedural, yakni: “Setiap orang yang mengetahui atau kepentingannya dirugikan atas tindakan dokter atau dokter gigi dalam menjalankan praktik kedokteran dapat mengadukan secara tertulis kepada Ketua Majelis Kehormatan Disiplin Kedokteran Indonesia”. Secara normatif pasal ini hanya memberikan dasar hukum untuk melaporkan dokter atau dokter gigi ke organisasi profesinya apabila terdapat indikasi tindakan dokter yang membawa kerugian. Bukan pula merupakan landasan yuridis untuk dapat menuntut ganti rugi atas tindakan dokter. Pasal ini hanya bermakna untuk tujuan hukum administrasi praktik kedokteran.
Undang-undang Nomor 23 Tahun 1992 tentang Kesehatan, pada Pasal 54 ayat (1) hanya menentukan bentuk sanksi, sebagai bentuk pertanggung jawaban dokter yakni: “Terhadap tenaga kesehatan yang melakukan kesalahan atau kelalaian dalam melaksanakan profesinya dapat dikenakan tindakan disiplin”. Rumusannya hanya untuk lebih memperjelas istilah kepentingan yang dirugikan atas tindakan dokter dengan istilah melakukan kesalahan atau kelalaian dalam melaksanakan profesi. Tidak dijelaskan apa artinya, atau apa isinya sehingga kriteria kesalahan atau kelalaian dalam melaksanakan profesi juga masih menjadi tidak jelas. Apalagi norma pasal inipun sudah tidak berlaku lagi karena berlakunya Pasal 85 Undang-undang No 29 Tahun 2004 tentang Praktik Kedokteran
Dengan demikian jika dilihat dari kedua undang-undang diatas tidak memberikan kejelasan tentang hakekat pengertian malpraktek kedokteran.

Malpraktek dokter dalam frame teori hukum
Pemahaman malpraktek kedokteran dari frame teori hukum umumnya menyangkut tiga aspek pokok yakni: (1) sikap batin pembuat, (2) aspek perlakuan medis, dan (3) aspek akibat perlakuan.
Syarat dalam hal sikap batin dokter ada tiga sikap yaitu sikap batin mengenai wujud perbuatan (baik aktif maupun pasif), sikap batin mengenai sifat melawan hukum dan sikap batin mengenai akibat dari wujud perbuatan. Unsur –unsur yang menyertainya dapat berupa kesengajaan (dolus) dapat juga berupa kealpaan atau kelalaian (culpa). Malpraktek dapat terjadi bilamana dokter karena kedudukannya, jabatan atau tugas pekerjaannya dan lain-lain menyebabkan dokter dalam keadaan tertentu secara hukum diwajibkan untuk berbuat. Karena tidak berbuat maka ia bersalah dan memikul tanggung jawab hukum apabila menimbulkan kerugian.
Perbuatan dalam perlakuan medis harus mengandung sifat melawan hukum. sifat melawan hukum dapat berupa: dilanggarnya standar profesi kedokteran, dilanggarnya standar prosedur operasional, dilanggarnya hukum seperti praktek tanpa Surat Tanda Registrasi dan Surat Izin Praktik, dilanggarnya kode etik kedokteran, dilanggarnya prinsip-prinsip umum kedokteran, dilanggarnya kesusilaan umum, terapi tidak sesuai dengan kebutuhan medis pasien, praktik kedokteran tanpa informed consent dan lain-lain.
Aspek akibat harus akibat yang merugikan pasien baik mengenai kesehatan fisik atau mental maupun nyawa pasien. Munir Fuadi merinci beberapa akibat seperti rasa sakit, luka, cacat, kematian, kerusakan pada tubuh dan jiwa, atau kerugian lain yang diderta oleh pasien selama proses perawatan (Munir Fuadi, 2005). Akibat tersebut sekaligus juga merupakan unsur tindak pidana (untuk malpraktek pidana) atau unsur perbuatan melawan hukum/wanprestasi (untuk malpraktek perdata).
Unsur akibat adalah penentu (essensielia) ada atau tidaknya malpraktek kedokteran. Tiada malpraktek kedokteran tanpa akibat kerugian pasien. Dan akhirnya harus ada pertanggung jawaban hukum. fokus pertanggung jawaban hukum dokter terletak pada akibat. Pertanggung jawaban hukum dokter juga bisa diakibatkan kerena kesalahan pegawai atau perawat yang tunduk dibawah perintahnya (vicarious liability). Berat ringannya pertanggung jawaban bergantung pada berat ringannya akibat yang diderita oleh pasien. Namun harus juga dilihat secara proposional dan obyektif
Dengan demikian dapat disimpulkan bahwa malpraktek kedokteran mengandung makna sebagai berikut: Adanya wujud perbuatan (aktif maupun pasif) dalam praktik kedokteran, yang dilakukan oleh dokter atau orang yang ada dibawah perintahnya, dilakukan terhadap pasien, dengan sengaja maupun kelalaian, yang bertentangan dengan standar profesi kedokteran atau melanggar hukum atau dilakukan tanpa wewenang baik disebabkan tanpa informed consent tanpa STR, SIP atau dilakukan tidak sesuai dengan kebutuhan medis pasien, atau membocorkan rahasia pasien yang menimbulkan akibat (causaal verband) atas kerugian bagi kesehatan fisik, mental maupun nyawa pasien. Oleh karena itu melahirkan pertanggung jawaban hukum bagi dokter.
Kealpaan adalah manusiawi bukan untuk dicerca namun bukan pula untuk menjadi pembenar kala berbuat salah adalah bijak jika ia hadir sebagai pengingat bahwa manusia tak ada yang sempurna

Tidak ada komentar: