Rabu, 03 September 2008

SISTEM PEMERINTAHAN

Negara sebagai subyek hukum harus memiliki unsur-unsur konstitutif yang diperlukan bagi terbentuknya sebuah negara. Untuk membentuk suatu negara yang merupakan subyek penuh hukum internasional sesuai pasal 1 Konvensi Montevideo, 27 Desember 1933 mengenai hak dan kewajian negara menyebutkan bahwa unsur-unsur konstitutif tersebut, meliputi:[1]
(1). Penduduk yang tetap.
(2). Wilayah tertentu.
(3). Pemerintahan
(4). Kedaulatan
Sebagai suatu person yuridik, negara memerlukan sejumlah organ untuk mewakili dan menyalurkan kehendaknya. Sebagai tituler dari kekuasaan, negara hanya dapat melaksanakan kekuasaannya tersebut melalui organ-organ yang terdiri dari individu-individu. Bagi suatu wilayah yang tidak mempunyai pemerintahan tidak dianggap sebagai suatu negara dalam arti kata yang sebenarnya. Ketentuan ini dengan jelas ditegaskan oleh Mahkamah Internasional dalam kasus Sahara Barat. Mahkamah dalam pendapat hukumnya (advisory opinion) pada tahun 1975 menyatakan bahwa Sahara Barat belum dapat dikatakan sebagai sebuah negara karena disana belum ada struktur pemerintahan yang merupakan organ atau entitas yuridik. Keberadaan suatu pemerintahan bagi hukum internasional merupakan suatu keharusan. Dengan adanya pemerintahan maka suatu negara dapat efektif bertindak atas nama negara tersebut sehingga dengan demikian negara itu dapat melakukan hubungan dengan negara-negara lain[2].
Pengertian pemerintah disini adalah penyelenggara kegiatan-kegiatan yang ditugaskan rakyat kepadanya. Pemerintah tersebut mempunyai kekuasaan yang efektif atas seluruh penduduk dan wilayah negaranya. Yang dimaksud dengan efektif adalah pemerintahan tersebut mempunyai kapasitas riil untuk melaksanakan semua fungsi kenegaraan termasuk memelihara keamanan dan tata tertib di dalam negara dan pelaksanaan berbagai komitmen di luar negeri.[3] Hukum internasional menghendaki adanya suatu pemerintahan yang stabil dan efektif untuk memudahkan hubungannya dengan rakyatnya maupun dengan negara-negara lainnya didunia.
Untuk mencapai tujuan dimaksud maka tentunya dibutuhkan suatu sistem pemerintahan yang baik. Menurut S. Pamudji, sistem pemerintahan dapat dibagi atas dua macam yaitu:
(1). Sistem Pemerintahan Parlementer dan
(2). Sistem Pemerintahan Presidential.
Menurut Moh.Kusnardi dan Hermaily Ibrahim,[4] bahwa pada garis besarnya sistem pemerintahan yang dilakukan pada negara-negara demokrasi menganut sistem parlementer atau sistem Presidensiil, dan masih terdapat beberapa bentuk lainnya sebagai variasi, disebabkan situasi dan kondisi yang berbeda yang melahirkan bentuk-bentuk semua (quasi) karena jika dilihat dari salah satu sistem diatas dia bukan merupakan bentuk yang sebenarnya, misalnya quasi parlementer atau quasi presidensiil.
Sementara menurut Sri Soemantri,[5] bahwa sistem pemerintahan dapat dikelompokkan atas 3 macam yaitu:
(1). Sistem parlementer atau disebut Cabinet Government, seperti mula-mula di Inggris yang kemudian diikuti oleh negara lainnya seperti Perancis, Belanda, Jerman Barat, Italia, India, Jepang, Republik Indonesia berdasarkan konstitusi RIS dan UUDS 1950 dan negara-negara lainnya.
(2) Sistem presidensiil, seperti di anut antara lain Amerika Serikat dan beberapa negara Amerika Latin
(3) Sistem pemerintahan yang tidak dapat digolongkan kedalam kedua sistem diatas ataupula dapat dimasukan kedalam kedua-duanya. Hal demikian ini dapat kita lihat dalam sistem pemerintahan di Swiss dan Republik Indonesia.
Sebab-sebab timbulnya perbedaan diantara sistem tersebut adalah karena latar belakang sejarah politik yang dialami oleh negara masing-masing itu berlainan. Sistem parlementer itu timbul dari bentuk negara monarki yang kemudian mendapat pengaruh pertanggung jawab menteri. Sesudah itu maka fungsi dari raja merupakan faktor stabilisasi jika terjadi perselisihan antara eksekutif dan legislatif. Latar belakang negara Amerika Serikat yang menganut sistem presidensiil adalah kebencian rakyat Amerika Serikat terhadap pemerintah raja George III, sehingga mereka tidak menghendaki bentuk negara monarki dan untuk mewujudkan kemerdekaannya dari pengaruh Inggris maka mereka lebih suka mengikuti jejak Montesquieu dengan mengadakan pemisahan kekuasaan sehingga tidak ada kemungkinan kekuasaan yang satu akan melebihi kekuasaan yang lainnya, karena dalam Trias Politica itu terdapat sistem check dan balance.[6]

1 Pengertian Sistem Pemerintahan
1.1. Pengertian Sistem
Pengertian sistem dapat dikemukakan antara lain:
1). W.J.S. Poerwadarminta dalam Kamus Umum Bahasa Indonesia. dikatakan bahwa yang dimaksud dengan sistem adalah sekelompok bagian-bagian (alat dan sebagainya) yang bekerja bersama-sama untuk melakukan suatu maksud, misalnya:
(1) sistem urat syaraf dalam tubuh kita, sistem pemerintahan;
(2) sekelompok pendapat, peristiwa atau kepercayaan dan sebagainya yang disusun dan diatur baik-baik misalnya filsafat;
(3) cara (metode) yang teratur untuk melakukan sesuatu, misalnya pengajaran bahasa.
2). St. Munadjat Danusaputro dalam bukunya Hukum Lingkungan buku 1 “umum” halaman 7, mengungkapkan” “kata sistem dijabarkan dari kata Yunani yaitu systema, yang berarti “suatu kesatuan yang tersusun secara teratur, rapi atas bagian-bagian berikut perinciannya, sedemikian rupa hingga dapat mencapai tujuan yang sudah pasti,”
a) bagian-bagian tersebut lazimnya disebut komponen-komponen, sedangkan “komponen” dapat dirinci lagi ke dalam “rincian kecil” atau aturan (=subsistem).
b) baik komponen-komponen maupun atauran-aturan (=subsistem-subsistem) dalam suatu sistem itu selalu berjenis-jenis dan bermacam-macamyang menjadi syarat mutlak untuk dapat membentuk suatu “sistem” jika komponen-komponen dan aturan-aturan tersebut, bersifat seragam dan sejenis maka tidak mungkin akan membentuk suatu sistem.
c) suatu aturan (atau subsistem) pada gilirannya juga bertegak sebagai suatu sistem tersendiri, sekalipun ukuran dan lingkupnya sudah dengan sendirinya lebih kecil daripada “komponen” atau “sistem induknya” sendiri.
d) suatu syarat mutlak lain menuntut agar sekalian komponen-komponen dan aturan-aturan tersebut harus “tersusun secara teratur rapi” untuk mewujudkan suatu “sistem”. Suatu kumpulan belaka dari komponen-komponen dan aturan-aturan tersebut apalagi suatu kumpulan yang kacau balau tidak mungkin akan mewujudkan suatu sistem.
e) syarat mutlak berikutnya ialah bahwa suatu sistem harus memiliki suatu tujuan secara pasti. Jika suatu sistem tidak memiliki tujuan, tata pengaturan komponen-komponen dan aturan-aturan secara rapi tersebut tidak mungkin akan bertegak menjadi suatu sistem. Justru karena adanya suatu tujuan pasti tersebut, maka suatu sistemmemiliki daya gerak (menuju kepada “tujuan pasti” yersebut) oleh karena itu sistem tersbut mempunyai daya hidup. Tanpa adanya suatu tujuan pasti suatu sistem akan ternyata mati dan akan berhenti bertegak sebagai suatu sistem.
f) dalam proses gerak suatu sistem menuju tujuannya pasti, maka terjadilah interaksidan saling pengaruh antara sekalian komponen dan aturan-aturan secara padat dan mesra menurut aturan keserasian, keselarasan dan keseimbangan yang mengganbarkan proses hidup sistem termaksud. Jenis “interaksi” dan “saling mempengaruhi” antara kompnen-komponen dan aturan-aturan tersbut biasanya disebut faktir intern (internal factor) perikehidupan suatu sistem.
g) selain “faktor intern” tersebut suatu sistem juga berhubungan dan saling mempengaruhi dengan lingkungannya yang bergerak sebagai “faktor ekstern” (external factor) bagi sistem yang bersangkutan, juga interaksi dan saling pengaruh antara sistem dan lingkungannya merupakan syarat mutlak bagi kehidupan sistem tersebut karena dalam kenyataan alami tidak pernah terdapat suatu sistem yang ada dan tumbuh bergerak dalam kehampaan. Demikianlah antara “sistem” dan “lingkungannya” itu selalu berada dalam situasi dan kondisi interdepedensi yang tetap.
Menurut Carl J. Fredrich,[7] yang dikutip oleh Moh. Kusnardi dan Hermaily Ibrahim, sistem diartikan sebagai suatu keseluruhan terdiri dari beberapa bagian yang mempunyai hubungan fungsionil baik antara bagian-bagian maupun hubungan fungsionil terhadap keseluruhannya sehingga hubungan itu menimbulkan suatu ketergantungan antara bagian-bagian yang akibatnya jika salah satu bagian tidak bekerja dengan baik akan mempengaruhi keseluruhan itu.

1.2. Pengertian Pemerintahan
Pemerintahan berasal dari kata pemerintah dengan asal kata perintah. Adapun arti kata tersebut menurut W.J.S. Purwadarminta adalah sebagai berikut:
a) perintah adalah perkataan yang bermaksud menyuruh mlakukan sesuatu
b) pemerintah adalah kekuasaan memerintah suatu negara (daerah negara) atau badan yang tertinggi yang memerintah suatu negara (seperti kabinet merupakan suatu pemerintah).
c) Pemerintahan adalah perbuatan (cara, hal, urusan dan sebagainya) memerintah.
Menurut Moh. Kusnardi dan Hermaily Ibrahim,[8] Pemerintah dalam arti luas adalah segala urusan yang dilakukan oleh negara dalam menyelenggarakan kesejahteraan rakyatnya dan kepentingan negaranya sendiri, jadi tidak diartikan sebagai pemerintah yang hanya menjalankan tugas eksekutif saja, melainkan juga meliputi tugas-tugas lainnya termasuk legislatif dan yudikatif. Karena itu membicarakan sistem pemerintahan adalah membicarakan bagaimana pembagian kekuasaan serta hubungan antara lembaga-lembaga negara yang menjalankan kekuasaan-kekuasaan negara itu, dalam rangka menyelenggarkan kepentingan rakyat.
Ditinjau dari segi pembagian kekuasaannya, organissi pemerintahan itu dibagi menurut garis horisontal dan vertikal. Pembagian kekuasaan secara horisontal didasarkan atas sifat tugas yang berbeda-beda jenisnya yang menimbulkan berbagai macam lembaga di dalam suatu negara, sedangkan pembagian kekuasaan secara vertikal melahirkan dua garis hubungan antara Pusat dan Daerah dalam sistem desentralisasi dan dekonsentrasi.
Selanjutnya menurut Sri Soemantri,[9] dikatakan bahwa perkataan pemerintahan berasal dari kata perintah maka perlu diselidiki terlebih dahulu arti pemerintah. Dalam kepustakaan Inggris dijumpai adanya perkataan government. C.F. Strong dalam bukunya Modern Political Constitution mengatakan sebagai berikut:
“Government is, therefore, ‘that organization in which is vested.....the right to exercise souverign powers.’ Government, in the broad sense, is something bigger than a special body of ministers, a sense in which we cologuially use it to day, when...
“Government, in the brouder sense, is charged with the maintenance of the peace security of state within and without.
“It mast, therefore, have, first military power, or teh control of armed forces; secondly, legislature power, or the means of making laws; thirdly, financial power, or the ability to extract sufficient money from the community to defray the cost of defending the state and of enfoscing the law it makes on the state’s behalf.
“It must, in short, have legislature power, executive power, and judicial power, which we may call the three departments of government.”
Selanjutnya menurut Beliau bahwa dari pandangan C.F. Strong diatas, government dalam arti luas meliputi kekuasaan legislatif, kekuasaan eksekutif dan kekuasaan yudikatif. Pengertian ini didasarkan atas ajaran Tripraja Montesquieu. Artinya government yang luas akan lain apabila dilihat dari pandangan ajaran caturpraja dan pancapraja. Oleh karena perkataan dan istilah pemerintah dan government itu sama, maka arti yang luas dari istilah government berlaku juga bagi istilah pemerintah.
Pengertian pemerintahan yang lebih dibatasi lagi adalah pendapat Achmad Sanusi yaitu sebagai berikut:
“Kata pemerintahan kami maksudkan disini adalah suatu lapangan kerja, suatu tugas, khususnya yang disebut pemerintah dan dalam hubungannya dengan badan perundang-undangan”.
Ada pemerintah dalam arti luas maka ada pula pemerintah dalam arti sempit. Dilihat dari Tripraja, pemerintah dalam arti sempit hannyalah meliputi eksekutif saja, yang menurut UUD 1945 adalah Presiden dengan pembantu-pembantunya.
Selanjutnya mengenai pengertian pemerintahan, Kuntjoro Purbupranoto dalam bukunya, Perkembangan Hukum Administrasi Indonesia, halaman 1-2, antara lain mengatakan sebagai berikut:
“Pemerintah dalam arti luas (regering atau government) adalah pelaksanaan tugas seluruh badan-badan, lembaga-lembaga dan petugas-petugas yang diserahi wewenang mencapai tujuan negara. Dalam arti sempit (bestuur atau government) mencakup organisasi fungsi-fungsi yang menjalankan tugas pemerintahan. Pemerintahan (atau juga disebut pangreh) adalah fungsi pemerintah (het bestuuren, het regeren) dalam arti menjalankan tugas-tugas pemerintah (bestuursfunnctie). Arti pemerintahan ini dapat dipandang sejajar atau berhadapan dengan fungsi peradilan (rechtspraak) dan tugas perundang-undangan (wetgeving). Maka tugas pemerintahan dapat diartikan secara negatif ialah tugas penguasa yang bukan peradilan atau pun perundang-undangan. Penguasa atau overheid disini diartikan kekuasaan keseluruhan organisasi yang dibentuk dengan tujuan untuk menyusun dan menegakan masyarakat dalam satu wadah yang mendukung kekuasaan itu yang disebut negara (state, staat)”

Berikut adalah pendapat S. Pamudji, dalam bukunya berjudul Perbandingan Pemerintahan, halaman 3-7 antara lain juga mengutip pendapat C.F. Strong yang diterjemahkan sebagai berikut:
“Pemerintah adalah organisasi yang didalamnya diletakkan.... hak untuk melaksanakan kekuasaan berdaulat atau tertinggi pemerintah dalam arti luas merupakan sesuatu yang lebih besar daripada suatu badan atau kementrian, yaitu suatu arti yang biasa kita pakai dalam pembicaraan dewasa ini apabila..... pemerintahan dalam arti luas diberi tanggung jawab pemeliharaan perdamaian dan keamanan negara, didalam ataupun diluar negeri. Ia, pemerintah ahrus memiliki pertama, kekuasaan militer atau pengawasan atas angkatan bersenjata. Kedua kekuasaan legislatif atau sarana pembuatan hukum. ketiga kekuasaan keuangan yaitu kesanggupan memungut uang yang cukup untuk membayar biaya mempertahankan negara dan menegakan hukum yang dibuat atas nama negara”.
Sedangkan Samuel Edward Finer dalam bukunya Comparative Government, 1974 halaman 3-4, menyatakan bahwa istilah government paling sedikit mempunyai empat arti yaitu sebagai berikut:
a. Menunjukan kegiatan atau proses memerintah yaitu melaksanakan kontrol atas pihak lain (the aktivity or the process of governing)
b. Menunjukkan masalah atau hal ihkwal negara yang didalamnya ada kegiatan atau proses (state of affairs)
c. Menunjukkan orang-orang (maksudnya pejabat-pejabat) yang dibebani tugas-tugas untuk memerintah (people charged with the duty of governing)
d. Menunjukkan cara, metode atau sistem untuk memerintah masyarakat tertentu (the manner, method or sistem by which a particular society is governed)

Berdasarkan uraian tersebut diatas S. Pamudji kemudian merumuskan bahwa yang dimaksud dengan pemerintahan dalam arti luas adalah perbuatan pemerintah yang dilakukan oleh organ-organ atau badan legislatif, eksekutif dan yudikatif dalam rangka mencpai tujuan pemerintahan negara (tujuan nasional) sedangkan pemerintahan dalam arti sempit adalah perbuatan pemerintah yang dilakukan oleh organ eksekutif dan jajarannya dalam rangka mencapai tujuan pemerintahan negara.
3.1.3. Pengertian Sistem Pemerintahan
Setelah diketahui pengertian tentang sistem dan pemerintahan kemudian oleh Achmad Sanusi mengemukakan arti sistem pemerintahan sebagai berikut:
“Pertama: Sistem yang dipusatkan secara mutlak dan bersifat revolusioner.
Kedua: Sistem presidensial, Ketiga: Sistem parlementer.”
Tentang sistem pemerintahan Sri Soemantri, berpendapat sama dengan Achmad Sanusi dengan catatan bahwa disamping sistem presidensial atau sistem pemerintahan presidensial dan sistem parlementer atau sistem pemerintahan parlementer, masih dikenal adanya sistem pemerintahan yang lain (lihat Sri Soemantri: Tentang Lembaga-Lembaga Negara Menurut UUD 1945).
Jadi dapat dikatakan bahwa jika berbicara tentang sistem pemerintahan adalah membicarakan bagaimana pembagian kekuasaan serta hubungan antara lembaga-lembaga negara yang menjalankan kekuasaan-kekuasaan negara itu, dalam rangka menyelenggarakan kepentingan rakyat.[10]
S. Pamudji, mengartikan sistem pemerintahan sebagai suatu kebulatan atau keseluruhan yang utuh yang terdiri dari komponen-komponen seperti legislatif, eksekutif dan yudikatif yang telah mempunyai fungsi masing-masing. Pada gilirannya legislatif merupakan atau menjadi satu sistem tersendiri. Demikian juga eksekutif dan yudikatif. Mereka saling berhubungan satu dengan yang lain mengikuti satu pola, tata, dan norma tertentu yang kesemuanya itu dalam rangka mencapai tujuan pemerintahan negara, yang lazimnya terumus dalam UUD suatu negara atau dalam dokumen-dokumen lain. Lebih lanjut diungkapkan bahwa apabila kita ambil komponen eksekutif (pemerintah dalam arti sempit) maka ia juga merupakan suatu kebulatan atau keseluruhan yang utuh yang didalamnya ada komponen-komponen yaitu departemen-departemen dan lembaga-lembaga nondepartemen yang memiliki fungsi-fungsi tertentu, berkaitan atau berhubungan satu dengan yang lain dengan mengikuti suatu pola, tata dan norma tertntu dalam rangka mencapai tujuan eksekutif (pemerintah dalam arti sempit). Demikian seterusnya analisa dapat dilanjutkan sampai kepada satuan organisasi terkecil, baik ditingkat nasional, daerah maupun lokal. Akhirnya kita akan mencupai suatu hirarki tujuan yang berpuncak pada tujuan nasional atau tujuan pemerintahan negara.

2. Macam-Macam Sistem Pemerintahan
S. Pamudji membagi sistem pemerintahan atas 2 macam yaitu:
a) Sistem Pemerintahan Parlementer
b) Sistem Pemerintahan Presidential
Menurut Moh.Kusnardi dan Hermaily Ibrahim,[11] bahwa pada garis besarnya sistem pemerintahan yang dilakukan pada negara-negara demokrasi menganut sistem parlementer atau sistem Presidensiil, dan masih terdapat beberapa bentuk lainnya sebagai variasi, disebabkan situasi dan kondisi yang berbeda yang melahirkan bentuk-bentuk semua (quasi) karena jika dilihat dari salah satu sistem diatas dia bukan merupakan bentuk yang sebenarnya, misalnya quasi parlementer atau quasi presidensiil.
Sementara menurut Sri Soemantri,[12] bahwa sistem pemerintahan dapat dikelompokkan atas 3 macam yaitu:
(1). Sistem parlementer atau disebut Cabinet Government, seperti mula-mula di Inggris yang kemudian diikuti oleh negara lainnya seperti Perancis, Belanda, Jerman Barat, Italia, India, Jepang, Republik Indonesia berdasarkan konstitusi RIS dan UUDS 1950 dan negara-negara lainnya.
(2) Sistem presidensiil, seperti di anut antara lain Amerika Serikat dan beberapa negara Amerika Latin
(3) Sistem pemerintahan yang tidak dapat digolongkan kedalam kedua sistem diatas ataupula dapat dimasukan kedalam kedua-duanya. Hal demikian ini dapat kita lihat dalam sistem pemerintahan di Swiss dan Republik Indonesia.

3. Perbedaan Masing-Masing Sistem Pemerintahan
3.1 Sistem Pemerintahan Parlementer
Sistem pemerintahan parlementer ini dikenal dengan nama Cabinet Government. Adapun yang dimaksud dengan sistem pemerintahan parlementer menurut Sri Soemantri adalah suatu pemerintahan, dimana pemerintah/kabinet/presiden harus bertanggung jawab kepada parlemen/badan legislatif.[13]
Sistem pemerintahan parlementer memiliki ciri-ciri:
(1) Kabinet yang dipimpin oleh perdana menteri dibentuk oleh atau atas dasar kekuatan dan atau kekuatan-kekuatan yang menguasai parlemen.
(2) Para anggota kabinet mungkin seluruhnya anggota parlemen mungkin pula tidak seluruhnya dan mungkin pula seluruhnya bukan anggota parlemen.
(3) Kabinet dengan ketuanya bertanggung jawab kepada parlemen. Apabila kabinet atau seorang atau beberapa orang anggotanya mendapat mosi tidak percaya dari parlemen maka kabinet atau orang atau beberapa orang daripadanya harus mengundurkan diri.
(4) Sebagai imbangan dapat dijatuhkannya kabinet maka kepada negara (presiden, raja atau ratu) dengan saran atau nasehat perdana menteri dapat membubarkan parlemen.
Sementara ciri dari sistem pemerintahan parlementer menurut Moh.Kusnardi dan Hermaily Ibrahim,[14] adalah:
(1) Raja/Ratu stsu presiden adalah sebagai kepala negara. Kepala negara tidak bertanggung jawab atas segala kebijaksanaan yang diambil oleh Kabinet.
(2) Eksekutif bertanggung jawab kepada legislatif. Dan yang disebut eksekutif disini adalah kabinet. Kabinet harus meletakkan atau mengembalikan mandatnya kepada kepala negara manakala parlemen mengeluarkan pernyataan mosi tidak percaya kepada menteri tertentu atau seluruh menteri..
(3) Dalam sistem dua partai, yang ditunjuk sebagai pembentuk kabinet dan sekaligus sebagai perdana menteri adalah ketua partai politik yang memenangkan pemilihan umum. Sedangkan partai politik yang kalah akan berlaku sebagai pihak oposisi.
(4) Dalam sistem banyak partai, formatur kabinet harus membentuk kabinet secara koalisi, karena kabinet harus mendapat dukungan kepercayaan dari parlement.
(5) Apabila terjadi perselisihan antara kabinet dan parlemen, dan kepala negara berangapan kabinet berada pada pihak yang benar maka kepala negara akan membubarkan perlemen. Dan adalah menjadi tanggung jawab kabinet untuk melaksanakan pemilihan umum dalam tempo 30 hari setelah pembubaran itu. Sebagai akibatnya apabila partai politik yang menguasai parlmen menang dalam pemilihan umum tersebut maka kabinet akan terus memerintah, sebaliknya apabila partai oposisi yang menang maka dengan sendirinya kabinet mengembalikan mandatnya dan partai politik yang menang akan membentuk kabinet baru (bandingkan dengan pendapat Sri Soemantri, Sistem-sistem Pemerintahan Negara-negara ASEAN, hlm 35)
Dengan demikian hubungan antara eksekutif dan parlemen sangat erat karena disebabkan adanya pertanggung jawaban para menteri terhadap parlemen, maka setiap kabinet yang dibentuk harus memperoleh dukungan kepercayaan dengan suara yang terbanyak dari parlemen, yang berarti bahwa kebijaksanaan pemerintah atau kabinet tidak boleh menyimpang dari apa yang dikehendaki oleh parlemen.

Menurut Sri Soemantri,[15] pembentukkan kabinet adalah sukar apabila negara yang bersangkutan tidak menganut sistem dua partai, melainkan menganut sistem banyak partai. Pertama-tama Kepala Negara harus mengadakan pembicaraan telebih dahulu dengan partai-partai politik yang mempunyai wakil-wakil dalam badan legislatif. Dari pembicaraan itu pejabat tersebut kemudian mempunyai gambaran dan pandangan siapakah yang diberi tugas untuk menyusun kabinet. Setelah pembentuk kabinet diangkat oleh kepala negara, barulah formatur tersebut dapat memulai bekerja. Pada umumnya pekerjaan pembentuk kabinet diats memakan waktu lama. Hal ini disebabkan banyaknya partai-partai politik dan disamping itu partai politik dimana pembentuk kabinet menjadi anggotanya harus menentukan sikap, dengan partai politik manakah dia dapat bekerja sama. Kegagalan pembentuk kabinet dalam membentuk kabinet dapat berakibat adanya penggantian dalam personalia kabinet formatur. Kalau seandainya pembentukan kebinet berhasil, maka kabinet ini masih akan mendapat kesulitan yang lain yaitu antara lain kerjasama antara para menteri yang masing-masing mewakili partai politiknya. Itulah sebabnya mengapa sistem pemerintahan parlementer yang diikuti dengan sistem banyak partai dapat dipastikan selalu mengakibatkan adanya pemerintah yang tidak stabil.
Dalam negara yang menganut sistem parlemnter seperti tersebut diatas maka kekuasaan kehakiman secara prinsipil tidak digantungkan kepada lembaga eksekutif dan lembaga legislatif, karena tugasnya yang khusus serta untuk mencegah jangan sampai lembaga ini dipengaruhi oleh lembaga-lembaga lainnya dan agar ia tidak melakukan tugasnya dengan berat sebelah



3.2. Sistem Pemerintahan Presidensiil
Sistem Pemerintahan Presidensiil adalah sistem pemerintahan dimana pemerintah tidak bertanggung jawab kepada parlemen/badan legislatif. Dalam sistem pemerintahan tersebut terdapat ciri-ciri:
(1) Kekuasaan eksekutif dijabat oleh seorang pejabat, sedangkan pejabat-pejabat yang lain disebut menteri-menteri hanya pembantu presiden.
(2) Masa jabatan presiden ditentukan dengan tegas (fixed).
Selain ciri yang disebutkan diatas, adapula ciri yang lain yaitu:
(1) Presiden adalah kepala eksekutif yang memimpin kabinetnya yang semuanya diangkat olehnya dan bertanggung jaawab kepadanya. Ia sekaligus juga berkedudukan sebagai kepala negara (lambang negara) dengan masa jabatan yang telah ditentukan dengan pasti oleh undang-undang dasar.
(2) Presiden tidak dipilih oleh badan legislatif tetapi dipilih oleh sejumlah pemilih oleh karena itu ia bukan bagian dari badan legislatif seperti dalam sistem pemerintahan parlementer.
(3) Presiden tidak bertanggung jawab kepada badan legislatif dan dalam hubungan ini tidak dapat dijatuhkan oleh badan legislatif (di Amerika Serikat, Presiden dapat dijatuhkan melalui impeachment).
(4) Sebagai imbangannya, presiden tidak dapat atau tidak mempunyai kewenangan untuk membubarkan parlemen atau badan legislatif.
Didalam sistem pemerintahan presidensiil sebagaimana berlaku di Amerika Serikat, presiden dipilih oleh suatu badan pemilih (ellectoral collage). Apabila presiden talah terpilih maka pejabat tersebut setelsah melalui beberapa prosedur lalu mengangkat pembantu-pembantunya ayang bernama menteri. (the executive). Akan tetapi menteri tersebut tidak merupakan subyek terhadap kehendak kongres. Disamping itu presiden Amerika Serikat tidak dapat dijatuhkan atau diberhentikan oleh kongres, selama masa jabatannya telah ditentukan dalam konstitusi (4 tahun),[16] kecuali dalam hal tertentu. Apabila hal itu terjadi Badan Perwakilan Rakyat akan menuntut perbuatan presiden dan senatlah yang mengadilinya. Tetapi dalam hal adanya perbedaan pendapat mengenai kebijaksanaan politik dengan keinginan kongres, terhadap presiden tidak dikenakan sanksi.[17]
Tugas peradilan dilakukan oleh badan-badan peradilan yang pada asasnya tidak boleh dipengaruhi oleh kekuasaan lain. Hakimnya diangkat seumur hidup selama kelakuannya tidak tercela, dan ada sebagian yang dipilih oleh rakyat.[18]

3.3. Kelebihan dan kekuranganya
Kedua sistem ini mengenal keuntungan dan kelemahan.
Sistem Pemerintahan Parlementer
No
Keuntungan
Kalemahan
1
Penyesuaian antara pihak eksekutif dan legislatif mudah dicapai
Pertentangan antara keduanya bisa sewaktu waktu terjadi menyebabkan kabinet harus mengundurkan diri dan akibatnya pemerintah tidak stabil

Sistem Pemerintahan Presidensiil
No
Keuntungan
Kalemahan
1
Pemerintahan untuk jangka waktu yang ditentukan stabil
Bahwa kemungkinan terjadi apa yang ditetapkan sebagai tujuan negara menurut eksekutif bisa berbeda dari pendapat legislatif. Lagipula pemilihan umum diselenggarakan untuk memilih wakil rakyat dan untuk memilih presiden dilakukan untuk masa jabatan yang tidak sama, sehingga perbedaan pendapat yang timbul pada para pemilih dapat mempengaruhi sikap dan keadaan lembaga itu menjadi berlainan. Misalnya kebijaksanaan politik yang ditempuh oleh presiden Nixon bertentangan dengan pendapat Congres mengenai perang vietnam.

3.4 Sistem pemerintahan gabungan atau campuran
Selain kedua sistem pemerintahan tersebut diatas, masih ada sistem pemerintahan lainnya yang merupakan gabungan atau kombinasi ataupun campuran antara kedua sistem pemerintahan diatas yaitu sistem pemerintahan yang dianut dan berlaku di Swiss dan Indonesia sekarang ini menurut UUD 1945.
Berdasarkan konstitusi negara Swiss tahun 1874, kabinetnya dinamakan Federal Counsil dan terdiri atas tujuh orang anggota. Ketujuh orang menteri diatas diambil dari anggota-anggota Federal Assembly yang mawakili partai-partai politik yang mempunyai wakil dalam Federal Counsil. Pemerintah atau kabinet yang dinamakan Federal Counsil diatas mempunyai masa jabatan yang ditentukan yaitu empat tahun. Sebelum kabinet Swiss menyelesaikan tugasnya, badan eksekutif tidak dapat dijatuhkan oleh Federal Counsil. Sebenarnya sistem pemerintahan Swiss mirip dengan yang berlaku di Amerika Serikat kecuali tentang jumlah anggota badan eksekutifnya dan bahwa badan tersebut merupakan kolegial.
Tugas pembuat undang-undang berada dibawah pengawasan rakyat yang mempunyai hak pilh. Pengawasan itu dilakukan dalam bentuk referendumyang terduri dari referendum obligatoir dan fakultatif. Obligator jika perestujuan dari rakyat mutlak harus diberikan dalam pembuatan suatu peraturan undang-undang yang mengikat rakyat seluruhnya, karena sangat pentingnya. Contoh dari referendum obligatoir adalah persetujuan yang diberikan oleh rakyat terhadap pembuatan UUD. Sedangkan referendum fakultatif dilakukan terhadap undang-undang biasa, karena kurang pentingnya, setelah undang-undang itu diumumkan dalam jangka waktu yang ditentukan..Keuntungan dari sistem referendum ini ialah bahwa pada setiap masalah negara, rakyat langsung ikut serta menanggulanginya, akan tetapi kelemahannya bahwa tidak setiap masalah rakyat mampu, menyelesaikannya, karena untuk mengatasinya perlu pengetahuan yang cukup harus dimiliki oleh rakyat sendiri. sistem ini tidak bisa dilaksanakan jika banyak terdapat perbedaan faham antara rakyat dan eksekutif yang menyangkut kebijaksanaan politiknya. Keuntungan yang lain ialah bahwa kedudukan pemerintah itu stabil yang membawa akibat pemerintah akan memperoleh pengalaman yang baik dalam menyelenggarakan kepentingan rakyat.[19]
Sistem pemerintahan dalam negara Indonesia benar-benar mempunyai ciri-ciri yang terdapat di Amerika Serikat. Pertama-tama kita melihat bahwa badan eksekutifnya terdiri dari seorang pejabat saja yaitu Presiden. Presiden sebagai pemerintah memegang jabatannya untuk waktu tertentu (fixed). Menteri-menteri yang merupakan pembantunya seperti halnya di Amerika Serikat tidak merupakan subyek terhadap kehendak baik Dewan Perwakilan Rakyat maupun Majelis Permusyawaratan Rakyat. Dan presiden dipilih oleh pemilih-pemilih (kiescollege). Bukan oleh suatu lembaga negara.
Dari Pasal 4 dan 17 UUD 1945 telah menunjukkan bahwa Indonesia menganut sistem pemerintahan presidensiil. Presiden menjadi kepala eksekutif dan mengangkat dan memberhentikan menteri yang bertanggung jawab kepadanya. Namun demikian jika dilihat dari pasal 5 ayat (1) dalam hubungannya dengan pasal 21 ayat (2) UUD 1945 itu tidak menganut sistem pemerintahan presidensiil sepenuhnya karena menurut pasal-pasal tersebut, presiden dan Dewan Perwakilan Rakyat bersama-sama membuat udang-undang yang berarti sistem pemerintahan presidensiil di Indonesia itu bukan merupakan pelaksana dari ajaran Trias Politica.
Dilihat dari sudut pertanggung jawaban presiden kepada Majelis, maka berarti bahwa eksekutif dapat dijatuhkan oleh lembaga negara lain, maka sistem pemerintahan di bawah UUD 1945 dapat disebut ”quasi presidensiil” sesuai Pasal 3 UUD 1945 yaitu:
(1) Majelis Permusyawaratan Rakyat berwenang mengubah dan menetapkan Undang-undang Dasar
(2) Majelis Permusyawaratan Rakyat melantik Presiden dan/atau Wakil Presiden
(3) Majelis Permusyawaratan Rakyat hanya dapat memberhentikan Presiden dan/atau Wakil Presiden dalam masa jabatannya menurut Undang-Undang Dasar

Bedanya dengan di Amerika Serikat Usulan pemberhentian Presiden di Indonesia melalui proses sesuai Pasal 7A dan 7 B yaitu:
Pasal 7A

Presiden dan/atau Wakil Presiden dapat diberhentikan dalam masa jabatannya oleh Majelis Permusyawaratan Rakyat atas usul Dewan Perwakilan Rakyat, baik apabila terbukti telah melakukan pelanggaran hukum berupa pengkhianatan terhadap negara, korupsi, penyuapan, tindak pidana berat lainnya, atau perbuatan tercela maupun apabila terbukti tidak lagi memenuhi syarat sebagai Presiden dan/atau Wakil Presiden.***)

Pasal 7B

(1) Usul pemberhentian Presiden dan/atau Wakil Presiden dapat diajukan oleh Dewan Perwakilan Rakyat kepada Majelis Permusyawaratan Rakyat hanya dengan terlebih dahulu mengajukan permintaan kepada Mahkamah Konstitusi untuk memeriksa, mengadili, dan memutus Dewan Perwakilan Rakyat bahwa Presiden dan/atau Wakil Presiden telah melakukan pelanggaran hukum berupa pengkhianatan terhadap negara, korupsi, penyuapan, tindak pidana berat lainnya, atau perbuatan tercela; dan/atau pendapat bahwa Presiden dan/atau Wakil Presiden tidak lagi memenuhi syarat sebagai Presiden dan/atau Wakil Presiden
(2) Pendapat Dewan Perwakilan Rakyat bahwa Presiden dan/atau Wakil Presiden telah melakukan pelanggaran hukum tersebut ataupun telah tidak lagi memenuhi syarat sebagai Presiden dan/atau Wakil Presiden adalah dalam rangka pelaksanaan fungsi pengawasan Dewan Perwakilan Rakyat
(3) Pengajuan permintaan Dewan Perwakilan Rakyat kepada Mahkamah Konstitusi hanya dapat dilakukan dengan dukungan sekurang-kurangnya 2/3 dari jumlah anggota Dewan Perwakilan Rakyat yang hadir dalam sidang paripurna yang dihadiri oleh sekurang-kurangnya 2/3 dari jumlah anggota Dewan Perwakilan Rakyat.
(4) Mahkamah Konstitusi wajib memeriksa, mengadili, dan memutus dengan seadil-adilnya terhadap Dewan Perwakilan Rakyat tersebut paling lama sembilan puluh hari setelah permintaan Dewan Perwakilan Rakyat itu diterima oleh Mahkamah Konstitusi.
(5) Apabila Mahkamah Konstitusi memutuskan bahwa Presiden dan/atau Wakil Presiden terbukti melakukan pelanggaran hukum berupa pengkhianatan terhadap negara, korupsi, penyuapan, tindak pidana berat lainnya, atau perbuatan tercela; dan/atau terbukti bahwa Presiden dan/atau Wakil Presiden tidak lagi memenuhi syarat sebagai Presiden dan/atau wakil Presiden, Dewan Perwakilan Rakyat menyelenggarakan sidang paripurna untuk meneruskan usul pemberhentian Presiden dan/atau Wakil Presiden kepada Majelis Permusyawaratan Rakyat
(6) Majelis Permusyawaratan Rakyat wajib menyelenggarakan sidang untuk memutuskan usul Dewan Perwakilan Rakyat tersebut paling lambat tiga puluh hari sejak Majelis Permusyawaratan Rakyat menerima usul tersebut.
(7) Keputusan Majelis Permusyawaratan Rakyat atas usul pemberhentian Presiden dan/atau Wakil Presiden harus diambil dalam rapat paripurna Majelis Permusyawaratan yang dihadiri oleh sekurang-kurangnya ¾ dari jumlah anggota dan disetujui oleh sekurang-kurangnya 2/3 dari jumlah anggota yang hadir, setelah Presiden dan/atau Wakil Presiden diberi kesempatan menyampaikan penjelasan dalam rapat paripurna Majelis Permusyawaratan Rakyat.

Presiden juga tidak dapat membubarkan dewan perwakilan rakyat sesuai Pasal 7C hal ini berarti pula bahwa Indonesia bukan menganut sistem parlementer. Jadi apabila kita menggunakan istilah Sri Soemantri maka Indonesia menganut suatu combine system antara sistem parlementer dan presidensiil.

1 Simpulan
1. Sistem pemerintahan dapat dikelompokkan atas tiga sistem yaitu:
(1). Sistem parlementer atau disebut Cabinet Government, seperti mula-mula di Inggris yang kemudian diikuti oleh negara lainnya seperti Perancis, Belanda, Jerman Barat, Italia, India, Jepang, Republik Indonesia berdasarkan konstitusi RIS dan UUDS 1950 dan negara-negara lainnya.
(2) Sistem presidensiil, seperti di anut antara lain Amerika Serikat dan beberapa negara Amerika Latin
(3) Sistem pemerintahan yang tidak dapat digolongkan kedalam kedua sistem diatas ataupula dapat dimasukan kedalam kedua-duanya. Hal demikian ini dapat kita lihat dalam sistem pemerintahan di Swiss dan Republik Indonesia.
2. Semua sistem pemerintahan memiliki kelebihan dan kekurangannya masing-masing .
3. Sebab-sebab timbulnya perbedaan diantara sistem tersebut adalah karena latar belakang sejarah politik yang dialami oleh negara masing-masing itu berlainan.

DAFTAR PUSTAKA

Boer Mauna, Hukum Internasional Pengertian Peranan dan Fungsi dalam Era Dinamika Global, Alumni, Bandung, 2005
Carl J. Fredrich, Man and his Government, An Empirical Theory of Politics, New York, mc Graw Hill Book Coy, inc, 1963
Moh.Kusnardi dan Hermaily Ibrahim, Pengantar Hukum Tata Negara Indonesia, Sinar Bakti, Jakarta, 1988
Samuel Edward Finer, Comparative Government, 1974
Sri Soemantri, Perbandingan Hukum Tata Negara, Alumni, Bandung, 1971
..............., Sistem Dua Partai, Binacipta, Bandung, 1968
..............., Sistem-sistem Pemerintahan Negara-negara ASEAN
..............., Demokrasi Pancasila dan Implementasi UUD 1945, Alumni, Bandung, 1969








[1] Boer Mauna, Hukum Internasional Pengertian Peranan dan Fungsi dalam Era Dinamika Global, Alumni, Bandung, 2005, hlm 17
[2] Ibid, hlm 22
[3] Ibid
[4] Moh.Kusnardi dan Hermaily Ibrahim, Pengantar Hukum Tata Negara Indonesia, Sinar Bakti, Jakarta, 1988, hlm 171
[5] Sri Soemantri, Perbandingan Hukum Tata Negara, Alumni, Bandung, 1971, hlm 81-82
[6] Moh.Kusnardi dan Hermaily Ibrahim, Op.Cit, hlm 177
[7] Carl J. Fredrich, Man and his Government, An Empirical Theory of Politics, New York, mc Graw Hill Book Coy, inc, 1963, dalam Moh. Kusnardi dan Hermaily Ibrahim, Op.Cit, hlm 171
[8] Ibid, hlm 171
[9] Sri Soemantri, Sistem-Sistem Pemerintahan Negara-negara ASEAN, hlm 18-21
[10] Moh.Kusnardi dan Hermaily Ibrahim, Op.Cit, hlm 171
[11] Moh.Kusnardi dan Hermaily Ibrahim, Pengantar Hukum Tata Negara Indonesia, Sinar Bakti, Jakarta, 1988, hlm 171
[12] Sri Soemantri, Perbandingan Hukum Tata Negara, Alumni, Bandung, 1971, hlm 81-82
[13] Sri Soemantri, Op.Cit, hlm 81
[14] Moh.Kusnardi dan Hermaily Ibrahim, Op.Cit, hlm 175
[15] Sri Soemantri, Op.Cit, hlm 83
[16] Sri Soemantri, Op.Cit, hlm 84
[17] Moh.Kusnardi dan Hermaily Ibrahim, Op.Cit, hlm 177
[18] Ibid, hlm 178
[19] Moh.Kusnardi dan Hermaily Ibrahim, Op.Cit, hlm 179

Tidak ada komentar: