Minggu, 19 Oktober 2008

MEMAHAMI DINAMIKA TIMSEL KPU PROVINSI MALUKU

Tanggung jawab Tim Seleksi KPU Provinsi Maluku dapat dikatakan tidaklah ringan, betapa tidak, untuk bisa menghasilkan anggota KPU Provinsi yang jujur, profesional dan peka terhadap permasalahan pemilu (legislatif, Pilpres dan Pilkada) serta kemampuan untuk menyelesaikannya, mampu melaksanakan tugas, wewenang dan kewajiban anggota KPU Provinsi sebagaimana dimaksud, sesuai dengan ketentuan peraturan pasal 9 Undang-undang Nomor 22 Tahun 2007 tentang Penyelenggara Pemilu. Bukan saja merupakan tugas berat tetapi juga mengemban tanggung jawab moral terhadap harapan besar masyarakat karena siapapun di negeri ini pasti berharap proses seleksi tersebut berlangsung dengan sangat demokratis, jujur dan adil. Untuk itu tidak heran masyarakat selalu menaruh perhatian ekstra terhadap kinerja tim ini, hal ini bukan saja terjadi di Maluku tetapi juga terjadi hampir di semua daerah di seluruh Indonesia yang sementara ini sedang melaksanakan proses seleksi anggota KPU provinsi/kota/kabupaten.
Berbagai pendapat yang muncul hendaknya dapat dimaknai sebagai masukan yang berharga demi tujuan untuk menghasilkan sebuah komisi negara (state auxiliary body) yang independen, memiliki integritas dan komitmen serta motivasi yang kuat. Maka niat yang sudah baik ini, tentunya kita harapkan dapat diapresiasikan juga secara baik sebagai bagian dari kebebasan berpendapat dan kontrol sosial. Namun hendaknya harus diingat pula bahwa kebebasan tersebut tidak perlu sampai membuat kita menjadi kebablasan, menjatuhkan tunduhan yang serius apalagi sampai mengarah pada upaya membunuh karakter seseorang. Tentu tidak ada manusia yang sempurna, manusia tak pernah luput dari kesalahan, demikian juga tak selamanya yang kita anggap benar akan selalu benar dimata orang lain.
Tulisan ini tidaklah dimaksudkan untuk membela seseorang atau untuk mencari siapa benar dan siapa salah, apalagi sampai bermaksud menggurui tetapi marilah kita sama-sama memahami dinamika Tim Seleksi KPU Provinsi Maluku dalam konstruksi berfikir yang normatif, sehingga masyarakat dapat terayomi dengan pendapat-pendapat yang edukatif dan informatif berbasis ilmiah, bukankah terciptanya masyarakat yang cerdas dalam berdemokrasi adalah tujuan kita semua. Semoga tulisan ini turut memberi warna terhadap cita-cita reformasi tersebut
Dinamika Politik
Proses seleksi anggota KPU Provinsi dibingkai oleh UU Nomor 22 Tahun 2007 jo Peraturan KPU Nomor 13 Tahun 2007. Proses seleksi tersebut akan dimulai dari proses politik yaitu proses pembentukan Tim Seleksi, terdiri atas dua orang yang ditunjuk oleh DPRD propinsi, satu orang ditunjuk oleh gubernur dan dua orang lainnya ditunjuk oleh KPU. (pasal 4 ayat (4) Peraturan KPU No. 13 Tahun 2007). Sudah barang tentu dalam pembentukan Tim Seleksi tersebut tertompang kepentingan politis dari masing-masing pihak yang mempunyai pengaruh dalam proses tersebut. Dengan demikian, Tim Seleksi juga harus bekerja di antara tataran objektivitas dan politis. Secara politis, maka Tim Seleksi boleh jadi merupakan perpanjangan tangan dari lembaga yang menunjuknya. Oleh sebab itu tidaklah mudah untuk menemukan dan menyatukan berbagai pendapat diantara anggota tim yang boleh jadi datang dengan membawa kepentingan masing-masing.
Dinamika Multi Kompetensi
Tim Seleksi sebagaimana dimaksud berjumlah 5 (lima) orang anggota yang berasal dari unsur akademisi, profesional (yang mewakili organisasi profesi) dan masyarakat yang memiliki integritas dan tidak menjadi anggota partai politik dalam kurun waktu 5 (lima) tahun terakhir. Komposisi tim seleksi merupakan faktor pertama yang perlu diperhatikan. Kerangka hukum memang sudah baku dalam menentukan keberadaan dan komposisi tim seleksi. Meskipun secara normatif pelaksanaan seleksi merujuk pada peraturan perundang-undangan, namun komposisi dan latar belakang tim seleksi mungkin juga memiliki pengaruh pada prosesnya. Karena datang dari berbagai latar belakang dan multi kompetensi yang berbeda sudah pasti juga memiliki konsep pemikiran yang bisa juga berbeda dalam memandang sesuatu persoalan.
Dinamika Obyektifitas
Peraturan KPU Nomor 13 Tahun 2007 tentang Pedoman Pelaksanaan Seleksi Dan Penetapan Anggota Komisi Pemilihan Umum Provinsi dan Komisi Pemilihan Umum Kabupaten/Kota. Di antaranya mengatur tentang seleksi administrasi, tes tertulis, assesmen psikogi dan wawancara. Objektivitas proses seleksi KPU Provinsi mungkin masih bisa dipertahankan ketika dilakukan tes tertulis. Materi tes yang meliputi Ideologi Pancasila dan UUD 1945, ilmu politik, Pemilu, dan Ekonomi, Sosbud, Hankam serta hukum yang berkaitan dengan pemilu (pasal 11) tentu bisa diukur dari hasil tes peserta. Dalam tahapan ini tentunya peserta yang nilainya rendah akan dikalahkan/gagal, dan peserta yang nilainya tinggi tentu akan lolos. Proses bisa menjadi bias dan berpotensi subjektif manakala dilakukan tes wawancara dan asesemen psikologi. Dalam tahapan ini, walau materi wawancara dicatat secara cermat tapi boleh jadi materi wawancara tidak sama diberikan di antara peserta, bahkan bisa jadi dapat dilakukan jebakan-jebakan untuk menggugurkan peserta. Belum lagi asesment psikologi tentu sulit diukur objektivitasnya. Apapun metode seleksi yang digunakan, selalu ada kelebihan dan kekurangannya.
Dinamika Pengambilan Keputusan
Setiap anggota Tim Seleksi mempunyai hak suara yang sama. Rapat Tim Seleksi sah apabila dihadiri sekurangkurangnya oleh 4 (empat) orang anggota yang dibuktikan dengan daftar hadir. Keputusan Tim Seleksi sah apabila disetujui oleh sekurang-kurangnya 3 (tiga) orang anggota yang hadir. Dalam hal tidak tercapai persetujuan, keputusan Tim Seleksi diambil berdasarkan suara terbanyak.
Rekapitulasi hasil seleksi tertulis diumumkan dan diadministrasikan, program Asesmen Psikologi dan hasil seleksi wawancara, sesuai amanat pasal 13 ayat (5) hanya perlu diadministrasikan. Selanjutnya diajukan 10 nama disusun berdasarkan abjad disertai salinan berkas adminsitrasi kepada ketua KPU (Pasal 15 ayat (2) dan (3). Untuk selanjutnya dilakukan uji kelayakan dan kepatutan oleh KPU (pasal 16), hasilnya disusun secara peringkat dan selanjutnya ditetapkan 5 peringkat teratas oleh KPU.
Disparitas perbedaan dan dinamika yang terjadi tidak mungkin dapat terhindarkan olehnya itu dibutuhkan kearifan untuk mensikapinya. Memang hasil tim seleksi Prof Lokollo dan kawan-kawan, mungkin bukan yang terbaik menurut kita, tetapi paling tidak itulah hasil maksimal yang dapat dipersembahkan. Dan tanpa bermaksud menyederhanakan semua masalah yang ada, marilah kita hargai bersama hasil kerja keras mereka sebagai wujud suatu dinamika berdemokrasi.

MENSIASATI HIDUP DI NEGERI BENCANA

Sejarah peradaban umat manusia, hampir seluruhnya mencatat pergumulan manusia dengan bencana. Bencana bahkan merupakan bagian yang tak terpisahkan dari kehidupan manusia, Indonesia sendiri termasuk negara yang rentan terhadap bencana mengingat kondisi geografis, geologis, hidrologis, dan demografis yang memungkinkan terjadinya bencana, baik yang disebabkan oleh faktor alam, faktor nonalam maupun faktor manusia yang menyebabkan timbulnya korban jiwa manusia, kerusakan lingkungan, kerugian harta benda, dan dampak psikologis. Tentunya masih segar dalam ingatan kita peristiwa tsunami di Aceh dan Nias, atau gempa bumi di Yogyakarta, kemudian bencana banjir di Sinjai, Sulawesi Selatan. Dan belum lama berselang, kita dengar di Kota Ambon selama musim penghujan, Maret hingga September sudah tujuh orang meninggal dunia. Sedangkan untuk Maluku sudah 12 orang meninggal. Secara periodik, berbagai kasus bencana alam menyambangi Indonesia. Peningkatan bencana terus terjadi dari tahun ke tahun. Bahkan, sejak tahun 1988 sampai pertengahan 2003 jumlah bencana di Indonesia mencapai 647 bencana alam meliputi banjir, longsor, gempa bumi, dan angin topan, dengan jumlah korban jiwa sebanyak 2022 dan jumlah kerugian mencapai ratusan milyar. Jumlah tersebut belum termasuk bencana yang terjadi pertengahan tahun 2003 sampai pertengahan 2004 yang mencapai ratusan bencana dan mengakibatkan hampir 1000 korban jiwa.
Secara alamiah, Maluku masuk dalam katagori daerah yang memiliki tingkat kerawanan tinggi. Jalur gunung api pasifik (pasific ring of fire) melewati sebagian besar pulau-pulau Indonesia dari Sumatera, Jawa, Bali-Nusa Tenggara, Sulawesi dan Maluku. Tiga lempeng bumi yang secara konstan bergerak memunculkan potensi ancaman bencana gempa dan tsunami. Potensi ancaman lain adalah pergerakan tanah dan iklim tropis. Perubahan iklim (climate change) adalah realitas. Dampak perubahan iklim telah nyata menjadi ancaman bagi kehidupan di bumi. IPCC (Intergovernmental Panel on Climate Change) dalam ”Climate Change 2007: impact, adaptation, and vulnerability” menunjukan berbagai ancaman berpotensi menjadi bencana besar. Bahkan, beberapa sumber memvonis, ancaman bencana akibat perubahan iklim lebih menyeramkan dari terorisme. Sebagai provinsi kepulauan, pemanasan global dapat mengakibatkan naiknya permukaan air laut, sehingga mengancam kelangsungan pulau-pulau di provinsi ini dan diperkirakan 14.000 desa di wilayah pesisir akan hilang pada tahun 2015. Sadar atau tidak betapa kita sesungguhnya hidup di negeri bencana.
Masih lemahnya daya kritis masyarakat terhadap haknya sebagai warga negara, memposisikan negara masih belum menempatkan hak-hak rakyat untuk dipenuhi. Hak terlindungi dan terselamatkan dari berbagai ancaman bencana. Hak pemenuhan kebutuhan dasar bagi warga terkena bencana serta jaminan menjalani kehidupan bermartabat pasca bencana. Hal yang terpenting dan sering terabaikan adalah penanganan bencana seharusnya menjadikan kondisi menjadi lebih baik, bahkan seharusnya menghilangkan ancaman bencana tersebut sama sekali. Kondisi realitas ini telah memaksa lahirnya sebuah pemikiran baru yaitu dengan disahkannya Undang-undang Penanggulangan Bencana (UU No. 24 Tahun 2007). Namun di sisi lain, hampir semua daerah-daerah yang secara riil rawan bencana masih tidak peduli. Kita harusnya berbenah diri dan melakukan tidakan-tindakan nyata dalam mereduksi ancaman bencana. Memetakan kawasan-kawasan rawan bencana, menyusun perencanaan kedaruratan (contingency planning) atau meningkatkan kapasitas SDM dan kelembagaan penanganan bencana.
Sungguh ironis sekali jika mau membandingkan dengan Mesir, praktek mitigasi penanggulangan bencana disana sudah berusia lebih dari 4000 tahun. Konsep tentang sistim peringatan dini untuk kelaparan (famine) dan kesiapsiagaan (preparedness) dengan lumbung raksasa yang disiapkan selama tujuh tahun pertama kelimpahan untuk digunakan selama tujuh tahun kekeringan sudah lahir sejak tahun 2000 BC.
Tidak ada kata terlambat jika kita mau berusaha. Momentum pasca pemberlakuan UU No 24 Tahun 2007 tentang Penanggulangan Bencana, harus dapat dimaknai dengan sangat berbeda, yaitu Penanggulangan bencana tidak lagi menekankan pada aspek tanggap darurat saja, tetapi menekankan pada keseluruhan bidang kerja manajemen risiko bencana. Perlindungan masyarakat dari ancaman bencana oleh pemerintah merupakan wujud dari perlindungan sebagai hak asasi rakyat, dan bukan semata-mata karena kewajiban pemerintah. Seiring dengan demokratisas dan kebijakan otonomi daerah, penanggulangan bencana juga lebih menjadi tanggungjawab pemerintah daerah dan masyarakatnya. Setiap orang mempunyai hak untuk dilindungi, mendapat pelatihan, dan ikutserta dalam dan mengawasi penyelenggaraan penanggulangan bencana. Dengan demikian UU mengatur tentang mekanisme pemenuhan hak ini dan sanksi-sanksi manakala hak tersebut tidak terpenuhi oleh pemerintah ataupun pihak-pihak lain yang tersangkut didalamnya. Dalam pelaksanaan tanggung jawab tersebut, Pemerintah dan Pemerintah Daerah dibekali dengan beberapa kewenangan yaitu berkewenangan untuk menyusun kebijakan pembangunan dan memasukkan unsur penanggulangan bencana dalam program pembangunan. Bagi kegiatan pembangunan yang berisiko tinggi terhadap bencana ditetapkan persyaratan analisis resiko bencana. Kepala pemerintahan dapat menetapkan keadaan bencana sesuai dengan tataran dan wilayahnya, dan berdasarkan rekomendasi Badan Penanggulangan Bencana. Penetapan ini kiranya sangat penting karena dengannya maka berubahlah pola penanggulangan bencana dan pemerintahan. Penyelenggaraan penanggulangan bencana yang biasanya bernuansa fungsi koordinatif, pada saat ditetapkan keadaan darurat, akan menjadi fungsi komando. Hak dan kewajiban serta kewenangan pemerintah juga berubah dengan sangat signifikan. Pemerintah daerah “dapat” membentuk Badan Penanggulangan Bencana Daerah. Badan ini akan mendapatkan kemudahan akses dan alokasi dana siap pakai dari APBN/APBD.
Dari perubahan paradigma managemen bencana (disaster management) ini diharapkan dapat membawa kita menuju hidup bebas dari bencana (free from disaster), atau paling tidak hidup nyaman meskipun ada bencana (living with disaster). Semoga

PENANGANAN BENCANA ALAM DI AMBON

Membaca Surat khabar Ambon Ekspres jumat, 12 September 2008, sungguh membuat kita semua prihatin dan sedih. Betapa tidak ketika mengetahui bahwa sebagian wilayah Kota Ambon dilanda banjir dan longsor. Kawasan-kawasan yang terendam banjir di antaranya Perigi Lima, Soabali, Silale, dan Pohon Puleh (Kecamatan Nusaniwe). Empat daerah itu digenangi air dari meluapnya sungai Pohon Puleh dan Batu Gantung.Selain itu, kawasan pemukiman Kadewatan, Tanah Tinggi dan Batu Merah Dalam, (Kecamatan Sirimau), juga terendam air karena meluapnya sungai Waitomu dan Batu Merah. Sejumlah ruas jalan di ibukota provinsi Maluku juga terendam air di antaranya pusat pertokoan AY. Patty, dan kawasan Jl. Latuharhari, hingga ke Pelabuhan Yos Sudarso. Pendek kata, banjir menutupi sebagian Kota Ambon, bahkan hampir semua kecamatan dilanda banjir dan longsor. Di Kecamatan Nusaniwe empat orang tewas akibat banjir bandang dan longsor, sementara di Kecamatan Sirimau, Baguala, dan Teluk Ambon Baguala sebagian daerahnya terendam banjir. Di Kota Ambon saja selama musim penghujan sejak Maret hingga September sudah tujuh orang meninggal dunia. Sedangkan untuk Maluku sudah 12 orang meninggal termasuk lima orang warga Hualoy Kecamatan Kairatu, Kabupaten Seram Barat yang terseret banjir disertai longsor Agustus lalu. Entah masih berapa banyak lagi anak negeri ini harus menjadi korban, belum lagi ancaman kerugian harta benda yang dapat terjadi kapan saja di bumi para raja bertajuk manise ini.
Atas konsekwensi itu maka tak heran berbagai kecaman pedaspun banyak terlontar yang mengarah pada kinerja pemerintah daerah yang dianggap gagal melakukan pencegahan terhadap bencana banjir di Kota Ambon. Penyebab banjir seperti sistem drainase yang tidak baik, disamping maraknya pembangunan rumah di areal konservasi. Untuk itu pemerintah kota diminta lebih konsentrasi pada perbaikan dan pembuatan sistem drainase yang baik, serta menata kembali daerah-daerah yang sudah ditetapkan sebagai areal konservasi, atau bagaimana menciptakan rasa aman dan nyaman bagi warga. Salah satunya dengan mengidentifikasi wilayah-wilayah rawan longsor dan banjir, kemudian bagaimana membangun sarana prasarana keselamatan warga. Jadi bukan hanya fokus pada pembangunan mega proyek fisik seperti Baguala Town Square dan Merdeka Square, karena bukan merupakan suatu kebutuhan yang urgen bagi masyarakat kota Ambon. Menurut mereka untuk apa itu semua kalau di dalam kota masih seperti comberan.
Terlepas dari semuanya itu, saat ini tak ada gunanya kita saling menyalahkan sebab tanggung jawab pembangunan maupun penanganan bencana adalah tanggung jawab bersama kita semua. Alangkah baiknya, kalau semua energi yang ada kita satukan untuk bagaimana memadukan penanggulangan bencana dalam konteks program pembangunan kedepan.
Penting untuk dipikirkan segera adalah bagaimana menggunakan pengalaman ini untuk mencegah atau setidaknya mengurangi resiko bencana pada masa yang akan datang.
Hal kedua adalah, pemulihan terhadap dampak bencana tidak boleh dipandang hanya sekedar mengembalikan masyarakat dan pemerintahan pada kondisi pencapaian sebelum bencana. Karena hal ini sama saja dengan membangun kembali kerentanan masyarakat terhadap bencana. Tujuan optimalisasi pencapaian harus lebih kepada mencegah terulangnya kembali bencana bahkan sedapat mungkin menghilangkan ancaman bencana tersebut. Untuk itu perlu konsep pembanguan yang berwawasan lingkungan untuk menanggulangi dampak bencana dalam kerangka pembangunan dan sebagai investasi yang mutlak untuk dilakukan. Kalau tidak, masyarakat akan menilai betapa pemerintah gagal untuk memperbaiki diri.
Upaya menciptakan masyarakat yang lebih berketahanan terhadap bencana, salah satunya adalah juga melalui perbaikan pada sistem mitigasi bencana di daerah terkena bencana seperti penyediaan prasarana dan sarana, serta pemberdayaan masyarakat untuk meningkatkan kesiapsiagaan dalam menghadapi ancaman bencana.
Momentum pemberlakuan UU No 24 Tahun 2007 tentang Penanggulangan Bencana dan Rencana Aksi Nasional Penanggulangan Bencana. Maka mitigasi disusun sebagai bagian dari pembangunan jangka panjang maupun jangka menengah yang dijabarkan ke dalam rencana aksi tahunan sektor dan daerah dengan bidang-bidang utama seperti Bidang perencanaan fisik (kaji risiko, tataruang), Bidang rekayasa dan konstruksi (peringatan dini, penyediaan prasarana & sarana, penataan ruang berbasis PRB), Bidang ekonomi (kaji kerentanan, penguatan sistem ekonomi), Bidang kelembagaan dan manajemen (koordinasi riset, perbaikan instrumen kebijakan antar sektor/daerah, penataan kelembagaan), dan Bidang pemberdayaan masyarakat (manajemen informasi, pemberdayaan masyarakat, pelatihan dan penelitian).
Dalam kaitan itu maka pemerintah daerah dapat mengambil langkah-langkah sebagai berikut: Menyusunan kerangka kebijakan daerah dalam rangka harmonisasi dengan diterbitkannya Undang-Undang Penanggulangan Bencana, Penataan ulang kelembagaan penanggulangan bencana sesuai dengan amanat Undang-Undang Penanggulangan Bencana, Penyusunan berbagai mekanisme dan prosedur penanggulangan bencana sebagaimana akan diatur oleh peraturan pelaksanaan Undang-Undang Penanggulangan Bencana. Penyusunan program-program prioritas sesuai dengan berbagai bidang kerja yang diatur oleh baik Undang-Undang Penanggulangan Bencana, dan Rencana Aksi Nasional Pengurangan Risiko Bencana dalam rangka untuk penyusunan suatu Rencana Aksi Daerah Pengurangan Risiko Bencana.Semoga kiranya hal ini dapat dilaksanakan karena kalau tidak maka bukan tidak mungkin kita akan selalu terus bertanya pada rumput yang bergoyang seperti bait sair lagu Ebiet G. Ade