Minggu, 19 Oktober 2008

MENSIASATI HIDUP DI NEGERI BENCANA

Sejarah peradaban umat manusia, hampir seluruhnya mencatat pergumulan manusia dengan bencana. Bencana bahkan merupakan bagian yang tak terpisahkan dari kehidupan manusia, Indonesia sendiri termasuk negara yang rentan terhadap bencana mengingat kondisi geografis, geologis, hidrologis, dan demografis yang memungkinkan terjadinya bencana, baik yang disebabkan oleh faktor alam, faktor nonalam maupun faktor manusia yang menyebabkan timbulnya korban jiwa manusia, kerusakan lingkungan, kerugian harta benda, dan dampak psikologis. Tentunya masih segar dalam ingatan kita peristiwa tsunami di Aceh dan Nias, atau gempa bumi di Yogyakarta, kemudian bencana banjir di Sinjai, Sulawesi Selatan. Dan belum lama berselang, kita dengar di Kota Ambon selama musim penghujan, Maret hingga September sudah tujuh orang meninggal dunia. Sedangkan untuk Maluku sudah 12 orang meninggal. Secara periodik, berbagai kasus bencana alam menyambangi Indonesia. Peningkatan bencana terus terjadi dari tahun ke tahun. Bahkan, sejak tahun 1988 sampai pertengahan 2003 jumlah bencana di Indonesia mencapai 647 bencana alam meliputi banjir, longsor, gempa bumi, dan angin topan, dengan jumlah korban jiwa sebanyak 2022 dan jumlah kerugian mencapai ratusan milyar. Jumlah tersebut belum termasuk bencana yang terjadi pertengahan tahun 2003 sampai pertengahan 2004 yang mencapai ratusan bencana dan mengakibatkan hampir 1000 korban jiwa.
Secara alamiah, Maluku masuk dalam katagori daerah yang memiliki tingkat kerawanan tinggi. Jalur gunung api pasifik (pasific ring of fire) melewati sebagian besar pulau-pulau Indonesia dari Sumatera, Jawa, Bali-Nusa Tenggara, Sulawesi dan Maluku. Tiga lempeng bumi yang secara konstan bergerak memunculkan potensi ancaman bencana gempa dan tsunami. Potensi ancaman lain adalah pergerakan tanah dan iklim tropis. Perubahan iklim (climate change) adalah realitas. Dampak perubahan iklim telah nyata menjadi ancaman bagi kehidupan di bumi. IPCC (Intergovernmental Panel on Climate Change) dalam ”Climate Change 2007: impact, adaptation, and vulnerability” menunjukan berbagai ancaman berpotensi menjadi bencana besar. Bahkan, beberapa sumber memvonis, ancaman bencana akibat perubahan iklim lebih menyeramkan dari terorisme. Sebagai provinsi kepulauan, pemanasan global dapat mengakibatkan naiknya permukaan air laut, sehingga mengancam kelangsungan pulau-pulau di provinsi ini dan diperkirakan 14.000 desa di wilayah pesisir akan hilang pada tahun 2015. Sadar atau tidak betapa kita sesungguhnya hidup di negeri bencana.
Masih lemahnya daya kritis masyarakat terhadap haknya sebagai warga negara, memposisikan negara masih belum menempatkan hak-hak rakyat untuk dipenuhi. Hak terlindungi dan terselamatkan dari berbagai ancaman bencana. Hak pemenuhan kebutuhan dasar bagi warga terkena bencana serta jaminan menjalani kehidupan bermartabat pasca bencana. Hal yang terpenting dan sering terabaikan adalah penanganan bencana seharusnya menjadikan kondisi menjadi lebih baik, bahkan seharusnya menghilangkan ancaman bencana tersebut sama sekali. Kondisi realitas ini telah memaksa lahirnya sebuah pemikiran baru yaitu dengan disahkannya Undang-undang Penanggulangan Bencana (UU No. 24 Tahun 2007). Namun di sisi lain, hampir semua daerah-daerah yang secara riil rawan bencana masih tidak peduli. Kita harusnya berbenah diri dan melakukan tidakan-tindakan nyata dalam mereduksi ancaman bencana. Memetakan kawasan-kawasan rawan bencana, menyusun perencanaan kedaruratan (contingency planning) atau meningkatkan kapasitas SDM dan kelembagaan penanganan bencana.
Sungguh ironis sekali jika mau membandingkan dengan Mesir, praktek mitigasi penanggulangan bencana disana sudah berusia lebih dari 4000 tahun. Konsep tentang sistim peringatan dini untuk kelaparan (famine) dan kesiapsiagaan (preparedness) dengan lumbung raksasa yang disiapkan selama tujuh tahun pertama kelimpahan untuk digunakan selama tujuh tahun kekeringan sudah lahir sejak tahun 2000 BC.
Tidak ada kata terlambat jika kita mau berusaha. Momentum pasca pemberlakuan UU No 24 Tahun 2007 tentang Penanggulangan Bencana, harus dapat dimaknai dengan sangat berbeda, yaitu Penanggulangan bencana tidak lagi menekankan pada aspek tanggap darurat saja, tetapi menekankan pada keseluruhan bidang kerja manajemen risiko bencana. Perlindungan masyarakat dari ancaman bencana oleh pemerintah merupakan wujud dari perlindungan sebagai hak asasi rakyat, dan bukan semata-mata karena kewajiban pemerintah. Seiring dengan demokratisas dan kebijakan otonomi daerah, penanggulangan bencana juga lebih menjadi tanggungjawab pemerintah daerah dan masyarakatnya. Setiap orang mempunyai hak untuk dilindungi, mendapat pelatihan, dan ikutserta dalam dan mengawasi penyelenggaraan penanggulangan bencana. Dengan demikian UU mengatur tentang mekanisme pemenuhan hak ini dan sanksi-sanksi manakala hak tersebut tidak terpenuhi oleh pemerintah ataupun pihak-pihak lain yang tersangkut didalamnya. Dalam pelaksanaan tanggung jawab tersebut, Pemerintah dan Pemerintah Daerah dibekali dengan beberapa kewenangan yaitu berkewenangan untuk menyusun kebijakan pembangunan dan memasukkan unsur penanggulangan bencana dalam program pembangunan. Bagi kegiatan pembangunan yang berisiko tinggi terhadap bencana ditetapkan persyaratan analisis resiko bencana. Kepala pemerintahan dapat menetapkan keadaan bencana sesuai dengan tataran dan wilayahnya, dan berdasarkan rekomendasi Badan Penanggulangan Bencana. Penetapan ini kiranya sangat penting karena dengannya maka berubahlah pola penanggulangan bencana dan pemerintahan. Penyelenggaraan penanggulangan bencana yang biasanya bernuansa fungsi koordinatif, pada saat ditetapkan keadaan darurat, akan menjadi fungsi komando. Hak dan kewajiban serta kewenangan pemerintah juga berubah dengan sangat signifikan. Pemerintah daerah “dapat” membentuk Badan Penanggulangan Bencana Daerah. Badan ini akan mendapatkan kemudahan akses dan alokasi dana siap pakai dari APBN/APBD.
Dari perubahan paradigma managemen bencana (disaster management) ini diharapkan dapat membawa kita menuju hidup bebas dari bencana (free from disaster), atau paling tidak hidup nyaman meskipun ada bencana (living with disaster). Semoga

Tidak ada komentar: