tag:blogger.com,1999:blog-76046402337090238042024-03-08T08:19:13.128-08:00Pattimura MudaArman Anwar, S.H.ARMAN ANWAR, S.H.http://www.blogger.com/profile/06787610195558856283noreply@blogger.comBlogger11125tag:blogger.com,1999:blog-7604640233709023804.post-80543350857072076422008-10-19T06:16:00.000-07:002008-10-19T06:18:13.433-07:00MEMAHAMI DINAMIKA TIMSEL KPU PROVINSI MALUKU<div align="justify"> Tanggung jawab Tim Seleksi KPU Provinsi Maluku dapat dikatakan tidaklah ringan, betapa tidak, untuk bisa menghasilkan anggota KPU Provinsi yang jujur, profesional dan peka terhadap permasalahan pemilu (legislatif, Pilpres dan Pilkada) serta kemampuan untuk menyelesaikannya, mampu melaksanakan tugas, wewenang dan kewajiban anggota KPU Provinsi sebagaimana dimaksud, sesuai dengan ketentuan peraturan pasal 9 Undang-undang Nomor 22 Tahun 2007 tentang Penyelenggara Pemilu. Bukan saja merupakan tugas berat tetapi juga mengemban tanggung jawab moral terhadap harapan besar masyarakat karena siapapun di negeri ini pasti berharap proses seleksi tersebut berlangsung dengan sangat demokratis, jujur dan adil. Untuk itu tidak heran masyarakat selalu menaruh perhatian ekstra terhadap kinerja tim ini, hal ini bukan saja terjadi di Maluku tetapi juga terjadi hampir di semua daerah di seluruh Indonesia yang sementara ini sedang melaksanakan proses seleksi anggota KPU provinsi/kota/kabupaten. <br />Berbagai pendapat yang muncul hendaknya dapat dimaknai sebagai masukan yang berharga demi tujuan untuk menghasilkan sebuah komisi negara (state auxiliary body) yang independen, memiliki integritas dan komitmen serta motivasi yang kuat. Maka niat yang sudah baik ini, tentunya kita harapkan dapat diapresiasikan juga secara baik sebagai bagian dari kebebasan berpendapat dan kontrol sosial. Namun hendaknya harus diingat pula bahwa kebebasan tersebut tidak perlu sampai membuat kita menjadi kebablasan, menjatuhkan tunduhan yang serius apalagi sampai mengarah pada upaya membunuh karakter seseorang. Tentu tidak ada manusia yang sempurna, manusia tak pernah luput dari kesalahan, demikian juga tak selamanya yang kita anggap benar akan selalu benar dimata orang lain.<br />Tulisan ini tidaklah dimaksudkan untuk membela seseorang atau untuk mencari siapa benar dan siapa salah, apalagi sampai bermaksud menggurui tetapi marilah kita sama-sama memahami dinamika Tim Seleksi KPU Provinsi Maluku dalam konstruksi berfikir yang normatif, sehingga masyarakat dapat terayomi dengan pendapat-pendapat yang edukatif dan informatif berbasis ilmiah, bukankah terciptanya masyarakat yang cerdas dalam berdemokrasi adalah tujuan kita semua. Semoga tulisan ini turut memberi warna terhadap cita-cita reformasi tersebut<br />Dinamika Politik<br /> Proses seleksi anggota KPU Provinsi dibingkai oleh UU Nomor 22 Tahun 2007 jo Peraturan KPU Nomor 13 Tahun 2007. Proses seleksi tersebut akan dimulai dari proses politik yaitu proses pembentukan Tim Seleksi, terdiri atas dua orang yang ditunjuk oleh DPRD propinsi, satu orang ditunjuk oleh gubernur dan dua orang lainnya ditunjuk oleh KPU. (pasal 4 ayat (4) Peraturan KPU No. 13 Tahun 2007). Sudah barang tentu dalam pembentukan Tim Seleksi tersebut tertompang kepentingan politis dari masing-masing pihak yang mempunyai pengaruh dalam proses tersebut. Dengan demikian, Tim Seleksi juga harus bekerja di antara tataran objektivitas dan politis. Secara politis, maka Tim Seleksi boleh jadi merupakan perpanjangan tangan dari lembaga yang menunjuknya. Oleh sebab itu tidaklah mudah untuk menemukan dan menyatukan berbagai pendapat diantara anggota tim yang boleh jadi datang dengan membawa kepentingan masing-masing.<br />Dinamika Multi Kompetensi<br /> Tim Seleksi sebagaimana dimaksud berjumlah 5 (lima) orang anggota yang berasal dari unsur akademisi, profesional (yang mewakili organisasi profesi) dan masyarakat yang memiliki integritas dan tidak menjadi anggota partai politik dalam kurun waktu 5 (lima) tahun terakhir. Komposisi tim seleksi merupakan faktor pertama yang perlu diperhatikan. Kerangka hukum memang sudah baku dalam menentukan keberadaan dan komposisi tim seleksi. Meskipun secara normatif pelaksanaan seleksi merujuk pada peraturan perundang-undangan, namun komposisi dan latar belakang tim seleksi mungkin juga memiliki pengaruh pada prosesnya. Karena datang dari berbagai latar belakang dan multi kompetensi yang berbeda sudah pasti juga memiliki konsep pemikiran yang bisa juga berbeda dalam memandang sesuatu persoalan.<br />Dinamika Obyektifitas<br />Peraturan KPU Nomor 13 Tahun 2007 tentang Pedoman Pelaksanaan Seleksi Dan Penetapan Anggota Komisi Pemilihan Umum Provinsi dan Komisi Pemilihan Umum Kabupaten/Kota. Di antaranya mengatur tentang seleksi administrasi, tes tertulis, assesmen psikogi dan wawancara. Objektivitas proses seleksi KPU Provinsi mungkin masih bisa dipertahankan ketika dilakukan tes tertulis. Materi tes yang meliputi Ideologi Pancasila dan UUD 1945, ilmu politik, Pemilu, dan Ekonomi, Sosbud, Hankam serta hukum yang berkaitan dengan pemilu (pasal 11) tentu bisa diukur dari hasil tes peserta. Dalam tahapan ini tentunya peserta yang nilainya rendah akan dikalahkan/gagal, dan peserta yang nilainya tinggi tentu akan lolos. Proses bisa menjadi bias dan berpotensi subjektif manakala dilakukan tes wawancara dan asesemen psikologi. Dalam tahapan ini, walau materi wawancara dicatat secara cermat tapi boleh jadi materi wawancara tidak sama diberikan di antara peserta, bahkan bisa jadi dapat dilakukan jebakan-jebakan untuk menggugurkan peserta. Belum lagi asesment psikologi tentu sulit diukur objektivitasnya. Apapun metode seleksi yang digunakan, selalu ada kelebihan dan kekurangannya.<br />Dinamika Pengambilan Keputusan<br />Setiap anggota Tim Seleksi mempunyai hak suara yang sama. Rapat Tim Seleksi sah apabila dihadiri sekurangkurangnya oleh 4 (empat) orang anggota yang dibuktikan dengan daftar hadir. Keputusan Tim Seleksi sah apabila disetujui oleh sekurang-kurangnya 3 (tiga) orang anggota yang hadir. Dalam hal tidak tercapai persetujuan, keputusan Tim Seleksi diambil berdasarkan suara terbanyak.<br />Rekapitulasi hasil seleksi tertulis diumumkan dan diadministrasikan, program Asesmen Psikologi dan hasil seleksi wawancara, sesuai amanat pasal 13 ayat (5) hanya perlu diadministrasikan. Selanjutnya diajukan 10 nama disusun berdasarkan abjad disertai salinan berkas adminsitrasi kepada ketua KPU (Pasal 15 ayat (2) dan (3). Untuk selanjutnya dilakukan uji kelayakan dan kepatutan oleh KPU (pasal 16), hasilnya disusun secara peringkat dan selanjutnya ditetapkan 5 peringkat teratas oleh KPU.<br />Disparitas perbedaan dan dinamika yang terjadi tidak mungkin dapat terhindarkan olehnya itu dibutuhkan kearifan untuk mensikapinya. Memang hasil tim seleksi Prof Lokollo dan kawan-kawan, mungkin bukan yang terbaik menurut kita, tetapi paling tidak itulah hasil maksimal yang dapat dipersembahkan. Dan tanpa bermaksud menyederhanakan semua masalah yang ada, marilah kita hargai bersama hasil kerja keras mereka sebagai wujud suatu dinamika berdemokrasi.</div>ARMAN ANWAR, S.H.http://www.blogger.com/profile/06787610195558856283noreply@blogger.com0tag:blogger.com,1999:blog-7604640233709023804.post-6869187200573236492008-10-19T06:08:00.000-07:002008-10-19T06:15:16.684-07:00MENSIASATI HIDUP DI NEGERI BENCANA<div align="justify">Sejarah peradaban umat manusia, hampir seluruhnya mencatat pergumulan manusia dengan bencana. Bencana bahkan merupakan bagian yang tak terpisahkan dari kehidupan manusia, Indonesia sendiri termasuk negara yang rentan terhadap bencana mengingat kondisi geografis, geologis, hidrologis, dan demografis yang memungkinkan terjadinya bencana, baik yang disebabkan oleh faktor alam, faktor nonalam maupun faktor manusia yang menyebabkan timbulnya korban jiwa manusia, kerusakan lingkungan, kerugian harta benda, dan dampak psikologis. Tentunya masih segar dalam ingatan kita peristiwa tsunami di Aceh dan Nias, atau gempa bumi di Yogyakarta, kemudian bencana banjir di Sinjai, Sulawesi Selatan. Dan belum lama berselang, kita dengar di Kota Ambon selama musim penghujan, Maret hingga September sudah tujuh orang meninggal dunia. Sedangkan untuk Maluku sudah 12 orang meninggal. Secara periodik, berbagai kasus bencana alam menyambangi Indonesia. Peningkatan bencana terus terjadi dari tahun ke tahun. Bahkan, sejak tahun 1988 sampai pertengahan 2003 jumlah bencana di Indonesia mencapai 647 bencana alam meliputi banjir, longsor, gempa bumi, dan angin topan, dengan jumlah korban jiwa sebanyak 2022 dan jumlah kerugian mencapai ratusan milyar. Jumlah tersebut belum termasuk bencana yang terjadi pertengahan tahun 2003 sampai pertengahan 2004 yang mencapai ratusan bencana dan mengakibatkan hampir 1000 korban jiwa.<br />Secara alamiah, Maluku masuk dalam katagori daerah yang memiliki tingkat kerawanan tinggi. Jalur gunung api pasifik (pasific ring of fire) melewati sebagian besar pulau-pulau Indonesia dari Sumatera, Jawa, Bali-Nusa Tenggara, Sulawesi dan Maluku. Tiga lempeng bumi yang secara konstan bergerak memunculkan potensi ancaman bencana gempa dan tsunami. Potensi ancaman lain adalah pergerakan tanah dan iklim tropis. Perubahan iklim (climate change) adalah realitas. Dampak perubahan iklim telah nyata menjadi ancaman bagi kehidupan di bumi. IPCC (Intergovernmental Panel on Climate Change) dalam ”Climate Change 2007: impact, adaptation, and vulnerability” menunjukan berbagai ancaman berpotensi menjadi bencana besar. Bahkan, beberapa sumber memvonis, ancaman bencana akibat perubahan iklim lebih menyeramkan dari terorisme. Sebagai provinsi kepulauan, pemanasan global dapat mengakibatkan naiknya permukaan air laut, sehingga mengancam kelangsungan pulau-pulau di provinsi ini dan diperkirakan 14.000 desa di wilayah pesisir akan hilang pada tahun 2015. Sadar atau tidak betapa kita sesungguhnya hidup di negeri bencana.<br />Masih lemahnya daya kritis masyarakat terhadap haknya sebagai warga negara, memposisikan negara masih belum menempatkan hak-hak rakyat untuk dipenuhi. Hak terlindungi dan terselamatkan dari berbagai ancaman bencana. Hak pemenuhan kebutuhan dasar bagi warga terkena bencana serta jaminan menjalani kehidupan bermartabat pasca bencana. Hal yang terpenting dan sering terabaikan adalah penanganan bencana seharusnya menjadikan kondisi menjadi lebih baik, bahkan seharusnya menghilangkan ancaman bencana tersebut sama sekali. Kondisi realitas ini telah memaksa lahirnya sebuah pemikiran baru yaitu dengan disahkannya Undang-undang Penanggulangan Bencana (UU No. 24 Tahun 2007). Namun di sisi lain, hampir semua daerah-daerah yang secara riil rawan bencana masih tidak peduli. Kita harusnya berbenah diri dan melakukan tidakan-tindakan nyata dalam mereduksi ancaman bencana. Memetakan kawasan-kawasan rawan bencana, menyusun perencanaan kedaruratan (contingency planning) atau meningkatkan kapasitas SDM dan kelembagaan penanganan bencana.<br />Sungguh ironis sekali jika mau membandingkan dengan Mesir, praktek mitigasi penanggulangan bencana disana sudah berusia lebih dari 4000 tahun. Konsep tentang sistim peringatan dini untuk kelaparan (famine) dan kesiapsiagaan (preparedness) dengan lumbung raksasa yang disiapkan selama tujuh tahun pertama kelimpahan untuk digunakan selama tujuh tahun kekeringan sudah lahir sejak tahun 2000 BC.<br />Tidak ada kata terlambat jika kita mau berusaha. Momentum pasca pemberlakuan UU No 24 Tahun 2007 tentang Penanggulangan Bencana, harus dapat dimaknai dengan sangat berbeda, yaitu Penanggulangan bencana tidak lagi menekankan pada aspek tanggap darurat saja, tetapi menekankan pada keseluruhan bidang kerja manajemen risiko bencana. Perlindungan masyarakat dari ancaman bencana oleh pemerintah merupakan wujud dari perlindungan sebagai hak asasi rakyat, dan bukan semata-mata karena kewajiban pemerintah. Seiring dengan demokratisas dan kebijakan otonomi daerah, penanggulangan bencana juga lebih menjadi tanggungjawab pemerintah daerah dan masyarakatnya. Setiap orang mempunyai hak untuk dilindungi, mendapat pelatihan, dan ikutserta dalam dan mengawasi penyelenggaraan penanggulangan bencana. Dengan demikian UU mengatur tentang mekanisme pemenuhan hak ini dan sanksi-sanksi manakala hak tersebut tidak terpenuhi oleh pemerintah ataupun pihak-pihak lain yang tersangkut didalamnya. Dalam pelaksanaan tanggung jawab tersebut, Pemerintah dan Pemerintah Daerah dibekali dengan beberapa kewenangan yaitu berkewenangan untuk menyusun kebijakan pembangunan dan memasukkan unsur penanggulangan bencana dalam program pembangunan. Bagi kegiatan pembangunan yang berisiko tinggi terhadap bencana ditetapkan persyaratan analisis resiko bencana. Kepala pemerintahan dapat menetapkan keadaan bencana sesuai dengan tataran dan wilayahnya, dan berdasarkan rekomendasi Badan Penanggulangan Bencana. Penetapan ini kiranya sangat penting karena dengannya maka berubahlah pola penanggulangan bencana dan pemerintahan. Penyelenggaraan penanggulangan bencana yang biasanya bernuansa fungsi koordinatif, pada saat ditetapkan keadaan darurat, akan menjadi fungsi komando. Hak dan kewajiban serta kewenangan pemerintah juga berubah dengan sangat signifikan. Pemerintah daerah “dapat” membentuk Badan Penanggulangan Bencana Daerah. Badan ini akan mendapatkan kemudahan akses dan alokasi dana siap pakai dari APBN/APBD.<br />Dari perubahan paradigma managemen bencana (disaster management) ini diharapkan dapat membawa kita menuju hidup bebas dari bencana (free from disaster), atau paling tidak hidup nyaman meskipun ada bencana (living with disaster). Semoga </div>ARMAN ANWAR, S.H.http://www.blogger.com/profile/06787610195558856283noreply@blogger.com0tag:blogger.com,1999:blog-7604640233709023804.post-91769832002625833412008-10-19T05:59:00.000-07:002008-10-19T06:08:30.865-07:00PENANGANAN BENCANA ALAM DI AMBON<div align="justify"> Membaca Surat khabar Ambon Ekspres jumat, 12 September 2008, sungguh membuat kita semua prihatin dan sedih. Betapa tidak ketika mengetahui bahwa sebagian wilayah Kota Ambon dilanda banjir dan longsor. Kawasan-kawasan yang terendam banjir di antaranya Perigi Lima, Soabali, Silale, dan Pohon Puleh (Kecamatan Nusaniwe). Empat daerah itu digenangi air dari meluapnya sungai Pohon Puleh dan Batu Gantung.Selain itu, kawasan pemukiman Kadewatan, Tanah Tinggi dan Batu Merah Dalam, (Kecamatan Sirimau), juga terendam air karena meluapnya sungai Waitomu dan Batu Merah. Sejumlah ruas jalan di ibukota provinsi Maluku juga terendam air di antaranya pusat pertokoan AY. Patty, dan kawasan Jl. Latuharhari, hingga ke Pelabuhan Yos Sudarso. Pendek kata, banjir menutupi sebagian Kota Ambon, bahkan hampir semua kecamatan dilanda banjir dan longsor. Di Kecamatan Nusaniwe empat orang tewas akibat banjir bandang dan longsor, sementara di Kecamatan Sirimau, Baguala, dan Teluk Ambon Baguala sebagian daerahnya terendam banjir. Di Kota Ambon saja selama musim penghujan sejak Maret hingga September sudah tujuh orang meninggal dunia. Sedangkan untuk Maluku sudah 12 orang meninggal termasuk lima orang warga Hualoy Kecamatan Kairatu, Kabupaten Seram Barat yang terseret banjir disertai longsor Agustus lalu. Entah masih berapa banyak lagi anak negeri ini harus menjadi korban, belum lagi ancaman kerugian harta benda yang dapat terjadi kapan saja di bumi para raja bertajuk manise ini. <br /> Atas konsekwensi itu maka tak heran berbagai kecaman pedaspun banyak terlontar yang mengarah pada kinerja pemerintah daerah yang dianggap gagal melakukan pencegahan terhadap bencana banjir di Kota Ambon. Penyebab banjir seperti sistem drainase yang tidak baik, disamping maraknya pembangunan rumah di areal konservasi. Untuk itu pemerintah kota diminta lebih konsentrasi pada perbaikan dan pembuatan sistem drainase yang baik, serta menata kembali daerah-daerah yang sudah ditetapkan sebagai areal konservasi, atau bagaimana menciptakan rasa aman dan nyaman bagi warga. Salah satunya dengan mengidentifikasi wilayah-wilayah rawan longsor dan banjir, kemudian bagaimana membangun sarana prasarana keselamatan warga. Jadi bukan hanya fokus pada pembangunan mega proyek fisik seperti Baguala Town Square dan Merdeka Square, karena bukan merupakan suatu kebutuhan yang urgen bagi masyarakat kota Ambon. Menurut mereka untuk apa itu semua kalau di dalam kota masih seperti comberan.<br /> Terlepas dari semuanya itu, saat ini tak ada gunanya kita saling menyalahkan sebab tanggung jawab pembangunan maupun penanganan bencana adalah tanggung jawab bersama kita semua. Alangkah baiknya, kalau semua energi yang ada kita satukan untuk bagaimana memadukan penanggulangan bencana dalam konteks program pembangunan kedepan.<br /> Penting untuk dipikirkan segera adalah bagaimana menggunakan pengalaman ini untuk mencegah atau setidaknya mengurangi resiko bencana pada masa yang akan datang.<br />Hal kedua adalah, pemulihan terhadap dampak bencana tidak boleh dipandang hanya sekedar mengembalikan masyarakat dan pemerintahan pada kondisi pencapaian sebelum bencana. Karena hal ini sama saja dengan membangun kembali kerentanan masyarakat terhadap bencana. Tujuan optimalisasi pencapaian harus lebih kepada mencegah terulangnya kembali bencana bahkan sedapat mungkin menghilangkan ancaman bencana tersebut. Untuk itu perlu konsep pembanguan yang berwawasan lingkungan untuk menanggulangi dampak bencana dalam kerangka pembangunan dan sebagai investasi yang mutlak untuk dilakukan. Kalau tidak, masyarakat akan menilai betapa pemerintah gagal untuk memperbaiki diri.<br />Upaya menciptakan masyarakat yang lebih berketahanan terhadap bencana, salah satunya adalah juga melalui perbaikan pada sistem mitigasi bencana di daerah terkena bencana seperti penyediaan prasarana dan sarana, serta pemberdayaan masyarakat untuk meningkatkan kesiapsiagaan dalam menghadapi ancaman bencana.<br />Momentum pemberlakuan UU No 24 Tahun 2007 tentang Penanggulangan Bencana dan Rencana Aksi Nasional Penanggulangan Bencana. Maka mitigasi disusun sebagai bagian dari pembangunan jangka panjang maupun jangka menengah yang dijabarkan ke dalam rencana aksi tahunan sektor dan daerah dengan bidang-bidang utama seperti Bidang perencanaan fisik (kaji risiko, tataruang), Bidang rekayasa dan konstruksi (peringatan dini, penyediaan prasarana & sarana, penataan ruang berbasis PRB), Bidang ekonomi (kaji kerentanan, penguatan sistem ekonomi), Bidang kelembagaan dan manajemen (koordinasi riset, perbaikan instrumen kebijakan antar sektor/daerah, penataan kelembagaan), dan Bidang pemberdayaan masyarakat (manajemen informasi, pemberdayaan masyarakat, pelatihan dan penelitian).<br />Dalam kaitan itu maka pemerintah daerah dapat mengambil langkah-langkah sebagai berikut: Menyusunan kerangka kebijakan daerah dalam rangka harmonisasi dengan diterbitkannya Undang-Undang Penanggulangan Bencana, Penataan ulang kelembagaan penanggulangan bencana sesuai dengan amanat Undang-Undang Penanggulangan Bencana, Penyusunan berbagai mekanisme dan prosedur penanggulangan bencana sebagaimana akan diatur oleh peraturan pelaksanaan Undang-Undang Penanggulangan Bencana. Penyusunan program-program prioritas sesuai dengan berbagai bidang kerja yang diatur oleh baik Undang-Undang Penanggulangan Bencana, dan Rencana Aksi Nasional Pengurangan Risiko Bencana dalam rangka untuk penyusunan suatu Rencana Aksi Daerah Pengurangan Risiko Bencana.Semoga kiranya hal ini dapat dilaksanakan karena kalau tidak maka bukan tidak mungkin kita akan selalu terus bertanya pada rumput yang bergoyang seperti bait sair lagu Ebiet G. Ade</div>ARMAN ANWAR, S.H.http://www.blogger.com/profile/06787610195558856283noreply@blogger.com0tag:blogger.com,1999:blog-7604640233709023804.post-40659511978838325152008-09-03T14:33:00.000-07:002008-09-03T14:42:38.925-07:00SISTEM PEMERINTAHANNegara sebagai subyek hukum harus memiliki unsur-unsur konstitutif yang diperlukan bagi terbentuknya sebuah negara. Untuk membentuk suatu negara yang merupakan subyek penuh hukum internasional sesuai pasal 1 Konvensi Montevideo, 27 Desember 1933 mengenai hak dan kewajian negara menyebutkan bahwa unsur-unsur konstitutif tersebut, meliputi:<a title="" style="mso-footnote-id: ftn1" href="http://www.blogger.com/post-create.g?blogID=7604640233709023804#_ftn1" name="_ftnref1">[1]</a><br />(1). Penduduk yang tetap.<br />(2). Wilayah tertentu.<br />(3). Pemerintahan<br />(4). Kedaulatan <br />Sebagai suatu person yuridik, negara memerlukan sejumlah organ untuk mewakili dan menyalurkan kehendaknya. Sebagai tituler dari kekuasaan, negara hanya dapat melaksanakan kekuasaannya tersebut melalui organ-organ yang terdiri dari individu-individu. Bagi suatu wilayah yang tidak mempunyai pemerintahan tidak dianggap sebagai suatu negara dalam arti kata yang sebenarnya. Ketentuan ini dengan jelas ditegaskan oleh Mahkamah Internasional dalam kasus Sahara Barat. Mahkamah dalam pendapat hukumnya (advisory opinion) pada tahun 1975 menyatakan bahwa Sahara Barat belum dapat dikatakan sebagai sebuah negara karena disana belum ada struktur pemerintahan yang merupakan organ atau entitas yuridik. Keberadaan suatu pemerintahan bagi hukum internasional merupakan suatu keharusan. Dengan adanya pemerintahan maka suatu negara dapat efektif bertindak atas nama negara tersebut sehingga dengan demikian negara itu dapat melakukan hubungan dengan negara-negara lain<a title="" style="mso-footnote-id: ftn2" href="http://www.blogger.com/post-create.g?blogID=7604640233709023804#_ftn2" name="_ftnref2">[2]</a>. <br />Pengertian pemerintah disini adalah penyelenggara kegiatan-kegiatan yang ditugaskan rakyat kepadanya. Pemerintah tersebut mempunyai kekuasaan yang efektif atas seluruh penduduk dan wilayah negaranya. Yang dimaksud dengan efektif adalah pemerintahan tersebut mempunyai kapasitas riil untuk melaksanakan semua fungsi kenegaraan termasuk memelihara keamanan dan tata tertib di dalam negara dan pelaksanaan berbagai komitmen di luar negeri.<a title="" style="mso-footnote-id: ftn3" href="http://www.blogger.com/post-create.g?blogID=7604640233709023804#_ftn3" name="_ftnref3">[3]</a> Hukum internasional menghendaki adanya suatu pemerintahan yang stabil dan efektif untuk memudahkan hubungannya dengan rakyatnya maupun dengan negara-negara lainnya didunia. <br />Untuk mencapai tujuan dimaksud maka tentunya dibutuhkan suatu sistem pemerintahan yang baik. Menurut S. Pamudji, sistem pemerintahan dapat dibagi atas dua macam yaitu:<br />(1). Sistem Pemerintahan Parlementer dan<br />(2). Sistem Pemerintahan Presidential.<br /> Menurut Moh.Kusnardi dan Hermaily Ibrahim,<a title="" style="mso-footnote-id: ftn4" href="http://www.blogger.com/post-create.g?blogID=7604640233709023804#_ftn4" name="_ftnref4">[4]</a> bahwa pada garis besarnya sistem pemerintahan yang dilakukan pada negara-negara demokrasi menganut sistem parlementer atau sistem Presidensiil, dan masih terdapat beberapa bentuk lainnya sebagai variasi, disebabkan situasi dan kondisi yang berbeda yang melahirkan bentuk-bentuk semua (quasi) karena jika dilihat dari salah satu sistem diatas dia bukan merupakan bentuk yang sebenarnya, misalnya quasi parlementer atau quasi presidensiil.<br /> Sementara menurut Sri Soemantri,<a title="" style="mso-footnote-id: ftn5" href="http://www.blogger.com/post-create.g?blogID=7604640233709023804#_ftn5" name="_ftnref5">[5]</a> bahwa sistem pemerintahan dapat dikelompokkan atas 3 macam yaitu:<br />(1). Sistem parlementer atau disebut Cabinet Government, seperti mula-mula di Inggris yang kemudian diikuti oleh negara lainnya seperti Perancis, Belanda, Jerman Barat, Italia, India, Jepang, Republik Indonesia berdasarkan konstitusi RIS dan UUDS 1950 dan negara-negara lainnya.<br />(2) Sistem presidensiil, seperti di anut antara lain Amerika Serikat dan beberapa negara Amerika Latin<br />(3) Sistem pemerintahan yang tidak dapat digolongkan kedalam kedua sistem diatas ataupula dapat dimasukan kedalam kedua-duanya. Hal demikian ini dapat kita lihat dalam sistem pemerintahan di Swiss dan Republik Indonesia. <br />Sebab-sebab timbulnya perbedaan diantara sistem tersebut adalah karena latar belakang sejarah politik yang dialami oleh negara masing-masing itu berlainan. Sistem parlementer itu timbul dari bentuk negara monarki yang kemudian mendapat pengaruh pertanggung jawab menteri. Sesudah itu maka fungsi dari raja merupakan faktor stabilisasi jika terjadi perselisihan antara eksekutif dan legislatif. Latar belakang negara Amerika Serikat yang menganut sistem presidensiil adalah kebencian rakyat Amerika Serikat terhadap pemerintah raja George III, sehingga mereka tidak menghendaki bentuk negara monarki dan untuk mewujudkan kemerdekaannya dari pengaruh Inggris maka mereka lebih suka mengikuti jejak Montesquieu dengan mengadakan pemisahan kekuasaan sehingga tidak ada kemungkinan kekuasaan yang satu akan melebihi kekuasaan yang lainnya, karena dalam Trias Politica itu terdapat sistem check dan balance.<a title="" style="mso-footnote-id: ftn6" href="http://www.blogger.com/post-create.g?blogID=7604640233709023804#_ftn6" name="_ftnref6">[6]</a> <br /><br /> 1 Pengertian Sistem Pemerintahan<br /> 1.1. Pengertian Sistem<br />Pengertian sistem dapat dikemukakan antara lain:<br />1). W.J.S. Poerwadarminta dalam Kamus Umum Bahasa Indonesia. dikatakan bahwa yang dimaksud dengan sistem adalah sekelompok bagian-bagian (alat dan sebagainya) yang bekerja bersama-sama untuk melakukan suatu maksud, misalnya:<br />(1) sistem urat syaraf dalam tubuh kita, sistem pemerintahan;<br />(2) sekelompok pendapat, peristiwa atau kepercayaan dan sebagainya yang disusun dan diatur baik-baik misalnya filsafat;<br />(3) cara (metode) yang teratur untuk melakukan sesuatu, misalnya pengajaran bahasa.<br /> 2). St. Munadjat Danusaputro dalam bukunya Hukum Lingkungan buku 1 “umum” halaman 7, mengungkapkan” “kata sistem dijabarkan dari kata Yunani yaitu systema, yang berarti “suatu kesatuan yang tersusun secara teratur, rapi atas bagian-bagian berikut perinciannya, sedemikian rupa hingga dapat mencapai tujuan yang sudah pasti,”<br />a) bagian-bagian tersebut lazimnya disebut komponen-komponen, sedangkan “komponen” dapat dirinci lagi ke dalam “rincian kecil” atau aturan (=subsistem).<br />b) baik komponen-komponen maupun atauran-aturan (=subsistem-subsistem) dalam suatu sistem itu selalu berjenis-jenis dan bermacam-macamyang menjadi syarat mutlak untuk dapat membentuk suatu “sistem” jika komponen-komponen dan aturan-aturan tersebut, bersifat seragam dan sejenis maka tidak mungkin akan membentuk suatu sistem.<br />c) suatu aturan (atau subsistem) pada gilirannya juga bertegak sebagai suatu sistem tersendiri, sekalipun ukuran dan lingkupnya sudah dengan sendirinya lebih kecil daripada “komponen” atau “sistem induknya” sendiri.<br />d) suatu syarat mutlak lain menuntut agar sekalian komponen-komponen dan aturan-aturan tersebut harus “tersusun secara teratur rapi” untuk mewujudkan suatu “sistem”. Suatu kumpulan belaka dari komponen-komponen dan aturan-aturan tersebut apalagi suatu kumpulan yang kacau balau tidak mungkin akan mewujudkan suatu sistem.<br />e) syarat mutlak berikutnya ialah bahwa suatu sistem harus memiliki suatu tujuan secara pasti. Jika suatu sistem tidak memiliki tujuan, tata pengaturan komponen-komponen dan aturan-aturan secara rapi tersebut tidak mungkin akan bertegak menjadi suatu sistem. Justru karena adanya suatu tujuan pasti tersebut, maka suatu sistemmemiliki daya gerak (menuju kepada “tujuan pasti” yersebut) oleh karena itu sistem tersbut mempunyai daya hidup. Tanpa adanya suatu tujuan pasti suatu sistem akan ternyata mati dan akan berhenti bertegak sebagai suatu sistem.<br />f) dalam proses gerak suatu sistem menuju tujuannya pasti, maka terjadilah interaksidan saling pengaruh antara sekalian komponen dan aturan-aturan secara padat dan mesra menurut aturan keserasian, keselarasan dan keseimbangan yang mengganbarkan proses hidup sistem termaksud. Jenis “interaksi” dan “saling mempengaruhi” antara kompnen-komponen dan aturan-aturan tersbut biasanya disebut faktir intern (internal factor) perikehidupan suatu sistem.<br />g) selain “faktor intern” tersebut suatu sistem juga berhubungan dan saling mempengaruhi dengan lingkungannya yang bergerak sebagai “faktor ekstern” (external factor) bagi sistem yang bersangkutan, juga interaksi dan saling pengaruh antara sistem dan lingkungannya merupakan syarat mutlak bagi kehidupan sistem tersebut karena dalam kenyataan alami tidak pernah terdapat suatu sistem yang ada dan tumbuh bergerak dalam kehampaan. Demikianlah antara “sistem” dan “lingkungannya” itu selalu berada dalam situasi dan kondisi interdepedensi yang tetap.<br /> Menurut Carl J. Fredrich,<a title="" style="mso-footnote-id: ftn7" href="http://www.blogger.com/post-create.g?blogID=7604640233709023804#_ftn7" name="_ftnref7">[7]</a> yang dikutip oleh Moh. Kusnardi dan Hermaily Ibrahim, sistem diartikan sebagai suatu keseluruhan terdiri dari beberapa bagian yang mempunyai hubungan fungsionil baik antara bagian-bagian maupun hubungan fungsionil terhadap keseluruhannya sehingga hubungan itu menimbulkan suatu ketergantungan antara bagian-bagian yang akibatnya jika salah satu bagian tidak bekerja dengan baik akan mempengaruhi keseluruhan itu.<br /><br />1.2. Pengertian Pemerintahan<br />Pemerintahan berasal dari kata pemerintah dengan asal kata perintah. Adapun arti kata tersebut menurut W.J.S. Purwadarminta adalah sebagai berikut:<br />a) perintah adalah perkataan yang bermaksud menyuruh mlakukan sesuatu<br />b) pemerintah adalah kekuasaan memerintah suatu negara (daerah negara) atau badan yang tertinggi yang memerintah suatu negara (seperti kabinet merupakan suatu pemerintah).<br />c) Pemerintahan adalah perbuatan (cara, hal, urusan dan sebagainya) memerintah.<br />Menurut Moh. Kusnardi dan Hermaily Ibrahim,<a title="" style="mso-footnote-id: ftn8" href="http://www.blogger.com/post-create.g?blogID=7604640233709023804#_ftn8" name="_ftnref8">[8]</a> Pemerintah dalam arti luas adalah segala urusan yang dilakukan oleh negara dalam menyelenggarakan kesejahteraan rakyatnya dan kepentingan negaranya sendiri, jadi tidak diartikan sebagai pemerintah yang hanya menjalankan tugas eksekutif saja, melainkan juga meliputi tugas-tugas lainnya termasuk legislatif dan yudikatif. Karena itu membicarakan sistem pemerintahan adalah membicarakan bagaimana pembagian kekuasaan serta hubungan antara lembaga-lembaga negara yang menjalankan kekuasaan-kekuasaan negara itu, dalam rangka menyelenggarkan kepentingan rakyat.<br />Ditinjau dari segi pembagian kekuasaannya, organissi pemerintahan itu dibagi menurut garis horisontal dan vertikal. Pembagian kekuasaan secara horisontal didasarkan atas sifat tugas yang berbeda-beda jenisnya yang menimbulkan berbagai macam lembaga di dalam suatu negara, sedangkan pembagian kekuasaan secara vertikal melahirkan dua garis hubungan antara Pusat dan Daerah dalam sistem desentralisasi dan dekonsentrasi.<br />Selanjutnya menurut Sri Soemantri,<a title="" style="mso-footnote-id: ftn9" href="http://www.blogger.com/post-create.g?blogID=7604640233709023804#_ftn9" name="_ftnref9">[9]</a> dikatakan bahwa perkataan pemerintahan berasal dari kata perintah maka perlu diselidiki terlebih dahulu arti pemerintah. Dalam kepustakaan Inggris dijumpai adanya perkataan government. C.F. Strong dalam bukunya Modern Political Constitution mengatakan sebagai berikut: <br />“Government is, therefore, ‘that organization in which is vested.....the right to exercise souverign powers.’ Government, in the broad sense, is something bigger than a special body of ministers, a sense in which we cologuially use it to day, when...<br />“Government, in the brouder sense, is charged with the maintenance of the peace security of state within and without.<br />“It mast, therefore, have, first military power, or teh control of armed forces; secondly, legislature power, or the means of making laws; thirdly, financial power, or the ability to extract sufficient money from the community to defray the cost of defending the state and of enfoscing the law it makes on the state’s behalf.<br />“It must, in short, have legislature power, executive power, and judicial power, which we may call the three departments of government.”<br />Selanjutnya menurut Beliau bahwa dari pandangan C.F. Strong diatas, government dalam arti luas meliputi kekuasaan legislatif, kekuasaan eksekutif dan kekuasaan yudikatif. Pengertian ini didasarkan atas ajaran Tripraja Montesquieu. Artinya government yang luas akan lain apabila dilihat dari pandangan ajaran caturpraja dan pancapraja. Oleh karena perkataan dan istilah pemerintah dan government itu sama, maka arti yang luas dari istilah government berlaku juga bagi istilah pemerintah.<br />Pengertian pemerintahan yang lebih dibatasi lagi adalah pendapat Achmad Sanusi yaitu sebagai berikut:<br />“Kata pemerintahan kami maksudkan disini adalah suatu lapangan kerja, suatu tugas, khususnya yang disebut pemerintah dan dalam hubungannya dengan badan perundang-undangan”. <br />Ada pemerintah dalam arti luas maka ada pula pemerintah dalam arti sempit. Dilihat dari Tripraja, pemerintah dalam arti sempit hannyalah meliputi eksekutif saja, yang menurut UUD 1945 adalah Presiden dengan pembantu-pembantunya.<br />Selanjutnya mengenai pengertian pemerintahan, Kuntjoro Purbupranoto dalam bukunya, Perkembangan Hukum Administrasi Indonesia, halaman 1-2, antara lain mengatakan sebagai berikut:<br />“Pemerintah dalam arti luas (regering atau government) adalah pelaksanaan tugas seluruh badan-badan, lembaga-lembaga dan petugas-petugas yang diserahi wewenang mencapai tujuan negara. Dalam arti sempit (bestuur atau government) mencakup organisasi fungsi-fungsi yang menjalankan tugas pemerintahan. Pemerintahan (atau juga disebut pangreh) adalah fungsi pemerintah (het bestuuren, het regeren) dalam arti menjalankan tugas-tugas pemerintah (bestuursfunnctie). Arti pemerintahan ini dapat dipandang sejajar atau berhadapan dengan fungsi peradilan (rechtspraak) dan tugas perundang-undangan (wetgeving). Maka tugas pemerintahan dapat diartikan secara negatif ialah tugas penguasa yang bukan peradilan atau pun perundang-undangan. Penguasa atau overheid disini diartikan kekuasaan keseluruhan organisasi yang dibentuk dengan tujuan untuk menyusun dan menegakan masyarakat dalam satu wadah yang mendukung kekuasaan itu yang disebut negara (state, staat)”<br /><br />Berikut adalah pendapat S. Pamudji, dalam bukunya berjudul Perbandingan Pemerintahan, halaman 3-7 antara lain juga mengutip pendapat C.F. Strong yang diterjemahkan sebagai berikut:<br />“Pemerintah adalah organisasi yang didalamnya diletakkan.... hak untuk melaksanakan kekuasaan berdaulat atau tertinggi pemerintah dalam arti luas merupakan sesuatu yang lebih besar daripada suatu badan atau kementrian, yaitu suatu arti yang biasa kita pakai dalam pembicaraan dewasa ini apabila..... pemerintahan dalam arti luas diberi tanggung jawab pemeliharaan perdamaian dan keamanan negara, didalam ataupun diluar negeri. Ia, pemerintah ahrus memiliki pertama, kekuasaan militer atau pengawasan atas angkatan bersenjata. Kedua kekuasaan legislatif atau sarana pembuatan hukum. ketiga kekuasaan keuangan yaitu kesanggupan memungut uang yang cukup untuk membayar biaya mempertahankan negara dan menegakan hukum yang dibuat atas nama negara”. <br />Sedangkan Samuel Edward Finer dalam bukunya Comparative Government, 1974 halaman 3-4, menyatakan bahwa istilah government paling sedikit mempunyai empat arti yaitu sebagai berikut:<br />a. Menunjukan kegiatan atau proses memerintah yaitu melaksanakan kontrol atas pihak lain (the aktivity or the process of governing)<br />b. Menunjukkan masalah atau hal ihkwal negara yang didalamnya ada kegiatan atau proses (state of affairs)<br />c. Menunjukkan orang-orang (maksudnya pejabat-pejabat) yang dibebani tugas-tugas untuk memerintah (people charged with the duty of governing)<br />d. Menunjukkan cara, metode atau sistem untuk memerintah masyarakat tertentu (the manner, method or sistem by which a particular society is governed)<br /><br />Berdasarkan uraian tersebut diatas S. Pamudji kemudian merumuskan bahwa yang dimaksud dengan pemerintahan dalam arti luas adalah perbuatan pemerintah yang dilakukan oleh organ-organ atau badan legislatif, eksekutif dan yudikatif dalam rangka mencpai tujuan pemerintahan negara (tujuan nasional) sedangkan pemerintahan dalam arti sempit adalah perbuatan pemerintah yang dilakukan oleh organ eksekutif dan jajarannya dalam rangka mencapai tujuan pemerintahan negara.<br />3.1.3. Pengertian Sistem Pemerintahan <br />Setelah diketahui pengertian tentang sistem dan pemerintahan kemudian oleh Achmad Sanusi mengemukakan arti sistem pemerintahan sebagai berikut:<br />“Pertama: Sistem yang dipusatkan secara mutlak dan bersifat revolusioner.<br />Kedua: Sistem presidensial, Ketiga: Sistem parlementer.” <br />Tentang sistem pemerintahan Sri Soemantri, berpendapat sama dengan Achmad Sanusi dengan catatan bahwa disamping sistem presidensial atau sistem pemerintahan presidensial dan sistem parlementer atau sistem pemerintahan parlementer, masih dikenal adanya sistem pemerintahan yang lain (lihat Sri Soemantri: Tentang Lembaga-Lembaga Negara Menurut UUD 1945).<br /> Jadi dapat dikatakan bahwa jika berbicara tentang sistem pemerintahan adalah membicarakan bagaimana pembagian kekuasaan serta hubungan antara lembaga-lembaga negara yang menjalankan kekuasaan-kekuasaan negara itu, dalam rangka menyelenggarakan kepentingan rakyat.<a title="" style="mso-footnote-id: ftn10" href="http://www.blogger.com/post-create.g?blogID=7604640233709023804#_ftn10" name="_ftnref10">[10]</a><br />S. Pamudji, mengartikan sistem pemerintahan sebagai suatu kebulatan atau keseluruhan yang utuh yang terdiri dari komponen-komponen seperti legislatif, eksekutif dan yudikatif yang telah mempunyai fungsi masing-masing. Pada gilirannya legislatif merupakan atau menjadi satu sistem tersendiri. Demikian juga eksekutif dan yudikatif. Mereka saling berhubungan satu dengan yang lain mengikuti satu pola, tata, dan norma tertentu yang kesemuanya itu dalam rangka mencapai tujuan pemerintahan negara, yang lazimnya terumus dalam UUD suatu negara atau dalam dokumen-dokumen lain. Lebih lanjut diungkapkan bahwa apabila kita ambil komponen eksekutif (pemerintah dalam arti sempit) maka ia juga merupakan suatu kebulatan atau keseluruhan yang utuh yang didalamnya ada komponen-komponen yaitu departemen-departemen dan lembaga-lembaga nondepartemen yang memiliki fungsi-fungsi tertentu, berkaitan atau berhubungan satu dengan yang lain dengan mengikuti suatu pola, tata dan norma tertntu dalam rangka mencapai tujuan eksekutif (pemerintah dalam arti sempit). Demikian seterusnya analisa dapat dilanjutkan sampai kepada satuan organisasi terkecil, baik ditingkat nasional, daerah maupun lokal. Akhirnya kita akan mencupai suatu hirarki tujuan yang berpuncak pada tujuan nasional atau tujuan pemerintahan negara.<br /><br />2. Macam-Macam Sistem Pemerintahan<br />S. Pamudji membagi sistem pemerintahan atas 2 macam yaitu:<br />a) Sistem Pemerintahan Parlementer<br />b) Sistem Pemerintahan Presidential<br /> Menurut Moh.Kusnardi dan Hermaily Ibrahim,<a title="" style="mso-footnote-id: ftn11" href="http://www.blogger.com/post-create.g?blogID=7604640233709023804#_ftn11" name="_ftnref11">[11]</a> bahwa pada garis besarnya sistem pemerintahan yang dilakukan pada negara-negara demokrasi menganut sistem parlementer atau sistem Presidensiil, dan masih terdapat beberapa bentuk lainnya sebagai variasi, disebabkan situasi dan kondisi yang berbeda yang melahirkan bentuk-bentuk semua (quasi) karena jika dilihat dari salah satu sistem diatas dia bukan merupakan bentuk yang sebenarnya, misalnya quasi parlementer atau quasi presidensiil.<br /> Sementara menurut Sri Soemantri,<a title="" style="mso-footnote-id: ftn12" href="http://www.blogger.com/post-create.g?blogID=7604640233709023804#_ftn12" name="_ftnref12">[12]</a> bahwa sistem pemerintahan dapat dikelompokkan atas 3 macam yaitu:<br />(1). Sistem parlementer atau disebut Cabinet Government, seperti mula-mula di Inggris yang kemudian diikuti oleh negara lainnya seperti Perancis, Belanda, Jerman Barat, Italia, India, Jepang, Republik Indonesia berdasarkan konstitusi RIS dan UUDS 1950 dan negara-negara lainnya.<br />(2) Sistem presidensiil, seperti di anut antara lain Amerika Serikat dan beberapa negara Amerika Latin<br />(3) Sistem pemerintahan yang tidak dapat digolongkan kedalam kedua sistem diatas ataupula dapat dimasukan kedalam kedua-duanya. Hal demikian ini dapat kita lihat dalam sistem pemerintahan di Swiss dan Republik Indonesia. <br /><br />3. Perbedaan Masing-Masing Sistem Pemerintahan<br /> 3.1 Sistem Pemerintahan Parlementer<br /> Sistem pemerintahan parlementer ini dikenal dengan nama Cabinet Government. Adapun yang dimaksud dengan sistem pemerintahan parlementer menurut Sri Soemantri adalah suatu pemerintahan, dimana pemerintah/kabinet/presiden harus bertanggung jawab kepada parlemen/badan legislatif.<a title="" style="mso-footnote-id: ftn13" href="http://www.blogger.com/post-create.g?blogID=7604640233709023804#_ftn13" name="_ftnref13">[13]</a> <br /> Sistem pemerintahan parlementer memiliki ciri-ciri:<br />(1) Kabinet yang dipimpin oleh perdana menteri dibentuk oleh atau atas dasar kekuatan dan atau kekuatan-kekuatan yang menguasai parlemen.<br />(2) Para anggota kabinet mungkin seluruhnya anggota parlemen mungkin pula tidak seluruhnya dan mungkin pula seluruhnya bukan anggota parlemen.<br />(3) Kabinet dengan ketuanya bertanggung jawab kepada parlemen. Apabila kabinet atau seorang atau beberapa orang anggotanya mendapat mosi tidak percaya dari parlemen maka kabinet atau orang atau beberapa orang daripadanya harus mengundurkan diri.<br />(4) Sebagai imbangan dapat dijatuhkannya kabinet maka kepada negara (presiden, raja atau ratu) dengan saran atau nasehat perdana menteri dapat membubarkan parlemen.<br />Sementara ciri dari sistem pemerintahan parlementer menurut Moh.Kusnardi dan Hermaily Ibrahim,<a title="" style="mso-footnote-id: ftn14" href="http://www.blogger.com/post-create.g?blogID=7604640233709023804#_ftn14" name="_ftnref14">[14]</a> adalah:<br />(1) Raja/Ratu stsu presiden adalah sebagai kepala negara. Kepala negara tidak bertanggung jawab atas segala kebijaksanaan yang diambil oleh Kabinet.<br />(2) Eksekutif bertanggung jawab kepada legislatif. Dan yang disebut eksekutif disini adalah kabinet. Kabinet harus meletakkan atau mengembalikan mandatnya kepada kepala negara manakala parlemen mengeluarkan pernyataan mosi tidak percaya kepada menteri tertentu atau seluruh menteri..<br />(3) Dalam sistem dua partai, yang ditunjuk sebagai pembentuk kabinet dan sekaligus sebagai perdana menteri adalah ketua partai politik yang memenangkan pemilihan umum. Sedangkan partai politik yang kalah akan berlaku sebagai pihak oposisi.<br />(4) Dalam sistem banyak partai, formatur kabinet harus membentuk kabinet secara koalisi, karena kabinet harus mendapat dukungan kepercayaan dari parlement.<br />(5) Apabila terjadi perselisihan antara kabinet dan parlemen, dan kepala negara berangapan kabinet berada pada pihak yang benar maka kepala negara akan membubarkan perlemen. Dan adalah menjadi tanggung jawab kabinet untuk melaksanakan pemilihan umum dalam tempo 30 hari setelah pembubaran itu. Sebagai akibatnya apabila partai politik yang menguasai parlmen menang dalam pemilihan umum tersebut maka kabinet akan terus memerintah, sebaliknya apabila partai oposisi yang menang maka dengan sendirinya kabinet mengembalikan mandatnya dan partai politik yang menang akan membentuk kabinet baru (bandingkan dengan pendapat Sri Soemantri, Sistem-sistem Pemerintahan Negara-negara ASEAN, hlm 35)<br />Dengan demikian hubungan antara eksekutif dan parlemen sangat erat karena disebabkan adanya pertanggung jawaban para menteri terhadap parlemen, maka setiap kabinet yang dibentuk harus memperoleh dukungan kepercayaan dengan suara yang terbanyak dari parlemen, yang berarti bahwa kebijaksanaan pemerintah atau kabinet tidak boleh menyimpang dari apa yang dikehendaki oleh parlemen.<br /> <br />Menurut Sri Soemantri,<a title="" style="mso-footnote-id: ftn15" href="http://www.blogger.com/post-create.g?blogID=7604640233709023804#_ftn15" name="_ftnref15">[15]</a> pembentukkan kabinet adalah sukar apabila negara yang bersangkutan tidak menganut sistem dua partai, melainkan menganut sistem banyak partai. Pertama-tama Kepala Negara harus mengadakan pembicaraan telebih dahulu dengan partai-partai politik yang mempunyai wakil-wakil dalam badan legislatif. Dari pembicaraan itu pejabat tersebut kemudian mempunyai gambaran dan pandangan siapakah yang diberi tugas untuk menyusun kabinet. Setelah pembentuk kabinet diangkat oleh kepala negara, barulah formatur tersebut dapat memulai bekerja. Pada umumnya pekerjaan pembentuk kabinet diats memakan waktu lama. Hal ini disebabkan banyaknya partai-partai politik dan disamping itu partai politik dimana pembentuk kabinet menjadi anggotanya harus menentukan sikap, dengan partai politik manakah dia dapat bekerja sama. Kegagalan pembentuk kabinet dalam membentuk kabinet dapat berakibat adanya penggantian dalam personalia kabinet formatur. Kalau seandainya pembentukan kebinet berhasil, maka kabinet ini masih akan mendapat kesulitan yang lain yaitu antara lain kerjasama antara para menteri yang masing-masing mewakili partai politiknya. Itulah sebabnya mengapa sistem pemerintahan parlementer yang diikuti dengan sistem banyak partai dapat dipastikan selalu mengakibatkan adanya pemerintah yang tidak stabil. <br />Dalam negara yang menganut sistem parlemnter seperti tersebut diatas maka kekuasaan kehakiman secara prinsipil tidak digantungkan kepada lembaga eksekutif dan lembaga legislatif, karena tugasnya yang khusus serta untuk mencegah jangan sampai lembaga ini dipengaruhi oleh lembaga-lembaga lainnya dan agar ia tidak melakukan tugasnya dengan berat sebelah<br /><br /><br /><br />3.2. Sistem Pemerintahan Presidensiil<br />Sistem Pemerintahan Presidensiil adalah sistem pemerintahan dimana pemerintah tidak bertanggung jawab kepada parlemen/badan legislatif. Dalam sistem pemerintahan tersebut terdapat ciri-ciri:<br />(1) Kekuasaan eksekutif dijabat oleh seorang pejabat, sedangkan pejabat-pejabat yang lain disebut menteri-menteri hanya pembantu presiden.<br />(2) Masa jabatan presiden ditentukan dengan tegas (fixed).<br />Selain ciri yang disebutkan diatas, adapula ciri yang lain yaitu:<br />(1) Presiden adalah kepala eksekutif yang memimpin kabinetnya yang semuanya diangkat olehnya dan bertanggung jaawab kepadanya. Ia sekaligus juga berkedudukan sebagai kepala negara (lambang negara) dengan masa jabatan yang telah ditentukan dengan pasti oleh undang-undang dasar.<br />(2) Presiden tidak dipilih oleh badan legislatif tetapi dipilih oleh sejumlah pemilih oleh karena itu ia bukan bagian dari badan legislatif seperti dalam sistem pemerintahan parlementer.<br />(3) Presiden tidak bertanggung jawab kepada badan legislatif dan dalam hubungan ini tidak dapat dijatuhkan oleh badan legislatif (di Amerika Serikat, Presiden dapat dijatuhkan melalui impeachment).<br />(4) Sebagai imbangannya, presiden tidak dapat atau tidak mempunyai kewenangan untuk membubarkan parlemen atau badan legislatif. <br />Didalam sistem pemerintahan presidensiil sebagaimana berlaku di Amerika Serikat, presiden dipilih oleh suatu badan pemilih (ellectoral collage). Apabila presiden talah terpilih maka pejabat tersebut setelsah melalui beberapa prosedur lalu mengangkat pembantu-pembantunya ayang bernama menteri. (the executive). Akan tetapi menteri tersebut tidak merupakan subyek terhadap kehendak kongres. Disamping itu presiden Amerika Serikat tidak dapat dijatuhkan atau diberhentikan oleh kongres, selama masa jabatannya telah ditentukan dalam konstitusi (4 tahun),<a title="" style="mso-footnote-id: ftn16" href="http://www.blogger.com/post-create.g?blogID=7604640233709023804#_ftn16" name="_ftnref16">[16]</a> kecuali dalam hal tertentu. Apabila hal itu terjadi Badan Perwakilan Rakyat akan menuntut perbuatan presiden dan senatlah yang mengadilinya. Tetapi dalam hal adanya perbedaan pendapat mengenai kebijaksanaan politik dengan keinginan kongres, terhadap presiden tidak dikenakan sanksi.<a title="" style="mso-footnote-id: ftn17" href="http://www.blogger.com/post-create.g?blogID=7604640233709023804#_ftn17" name="_ftnref17">[17]</a> <br />Tugas peradilan dilakukan oleh badan-badan peradilan yang pada asasnya tidak boleh dipengaruhi oleh kekuasaan lain. Hakimnya diangkat seumur hidup selama kelakuannya tidak tercela, dan ada sebagian yang dipilih oleh rakyat.<a title="" style="mso-footnote-id: ftn18" href="http://www.blogger.com/post-create.g?blogID=7604640233709023804#_ftn18" name="_ftnref18">[18]</a> <br /><br />3.3. Kelebihan dan kekuranganya <br />Kedua sistem ini mengenal keuntungan dan kelemahan.<br />Sistem Pemerintahan Parlementer<br />No<br />Keuntungan<br />Kalemahan<br />1<br />Penyesuaian antara pihak eksekutif dan legislatif mudah dicapai<br />Pertentangan antara keduanya bisa sewaktu waktu terjadi menyebabkan kabinet harus mengundurkan diri dan akibatnya pemerintah tidak stabil<br /><br />Sistem Pemerintahan Presidensiil<br />No<br />Keuntungan<br />Kalemahan<br />1<br />Pemerintahan untuk jangka waktu yang ditentukan stabil<br />Bahwa kemungkinan terjadi apa yang ditetapkan sebagai tujuan negara menurut eksekutif bisa berbeda dari pendapat legislatif. Lagipula pemilihan umum diselenggarakan untuk memilih wakil rakyat dan untuk memilih presiden dilakukan untuk masa jabatan yang tidak sama, sehingga perbedaan pendapat yang timbul pada para pemilih dapat mempengaruhi sikap dan keadaan lembaga itu menjadi berlainan. Misalnya kebijaksanaan politik yang ditempuh oleh presiden Nixon bertentangan dengan pendapat Congres mengenai perang vietnam. <br /><br />3.4 Sistem pemerintahan gabungan atau campuran<br /> Selain kedua sistem pemerintahan tersebut diatas, masih ada sistem pemerintahan lainnya yang merupakan gabungan atau kombinasi ataupun campuran antara kedua sistem pemerintahan diatas yaitu sistem pemerintahan yang dianut dan berlaku di Swiss dan Indonesia sekarang ini menurut UUD 1945. <br /> Berdasarkan konstitusi negara Swiss tahun 1874, kabinetnya dinamakan Federal Counsil dan terdiri atas tujuh orang anggota. Ketujuh orang menteri diatas diambil dari anggota-anggota Federal Assembly yang mawakili partai-partai politik yang mempunyai wakil dalam Federal Counsil. Pemerintah atau kabinet yang dinamakan Federal Counsil diatas mempunyai masa jabatan yang ditentukan yaitu empat tahun. Sebelum kabinet Swiss menyelesaikan tugasnya, badan eksekutif tidak dapat dijatuhkan oleh Federal Counsil. Sebenarnya sistem pemerintahan Swiss mirip dengan yang berlaku di Amerika Serikat kecuali tentang jumlah anggota badan eksekutifnya dan bahwa badan tersebut merupakan kolegial.<br /> Tugas pembuat undang-undang berada dibawah pengawasan rakyat yang mempunyai hak pilh. Pengawasan itu dilakukan dalam bentuk referendumyang terduri dari referendum obligatoir dan fakultatif. Obligator jika perestujuan dari rakyat mutlak harus diberikan dalam pembuatan suatu peraturan undang-undang yang mengikat rakyat seluruhnya, karena sangat pentingnya. Contoh dari referendum obligatoir adalah persetujuan yang diberikan oleh rakyat terhadap pembuatan UUD. Sedangkan referendum fakultatif dilakukan terhadap undang-undang biasa, karena kurang pentingnya, setelah undang-undang itu diumumkan dalam jangka waktu yang ditentukan..Keuntungan dari sistem referendum ini ialah bahwa pada setiap masalah negara, rakyat langsung ikut serta menanggulanginya, akan tetapi kelemahannya bahwa tidak setiap masalah rakyat mampu, menyelesaikannya, karena untuk mengatasinya perlu pengetahuan yang cukup harus dimiliki oleh rakyat sendiri. sistem ini tidak bisa dilaksanakan jika banyak terdapat perbedaan faham antara rakyat dan eksekutif yang menyangkut kebijaksanaan politiknya. Keuntungan yang lain ialah bahwa kedudukan pemerintah itu stabil yang membawa akibat pemerintah akan memperoleh pengalaman yang baik dalam menyelenggarakan kepentingan rakyat.<a title="" style="mso-footnote-id: ftn19" href="http://www.blogger.com/post-create.g?blogID=7604640233709023804#_ftn19" name="_ftnref19">[19]</a> <br /> Sistem pemerintahan dalam negara Indonesia benar-benar mempunyai ciri-ciri yang terdapat di Amerika Serikat. Pertama-tama kita melihat bahwa badan eksekutifnya terdiri dari seorang pejabat saja yaitu Presiden. Presiden sebagai pemerintah memegang jabatannya untuk waktu tertentu (fixed). Menteri-menteri yang merupakan pembantunya seperti halnya di Amerika Serikat tidak merupakan subyek terhadap kehendak baik Dewan Perwakilan Rakyat maupun Majelis Permusyawaratan Rakyat. Dan presiden dipilih oleh pemilih-pemilih (kiescollege). Bukan oleh suatu lembaga negara.<br />Dari Pasal 4 dan 17 UUD 1945 telah menunjukkan bahwa Indonesia menganut sistem pemerintahan presidensiil. Presiden menjadi kepala eksekutif dan mengangkat dan memberhentikan menteri yang bertanggung jawab kepadanya. Namun demikian jika dilihat dari pasal 5 ayat (1) dalam hubungannya dengan pasal 21 ayat (2) UUD 1945 itu tidak menganut sistem pemerintahan presidensiil sepenuhnya karena menurut pasal-pasal tersebut, presiden dan Dewan Perwakilan Rakyat bersama-sama membuat udang-undang yang berarti sistem pemerintahan presidensiil di Indonesia itu bukan merupakan pelaksana dari ajaran Trias Politica. <br />Dilihat dari sudut pertanggung jawaban presiden kepada Majelis, maka berarti bahwa eksekutif dapat dijatuhkan oleh lembaga negara lain, maka sistem pemerintahan di bawah UUD 1945 dapat disebut ”quasi presidensiil” sesuai Pasal 3 UUD 1945 yaitu:<br />(1) Majelis Permusyawaratan Rakyat berwenang mengubah dan menetapkan Undang-undang Dasar<br />(2) Majelis Permusyawaratan Rakyat melantik Presiden dan/atau Wakil Presiden<br />(3) Majelis Permusyawaratan Rakyat hanya dapat memberhentikan Presiden dan/atau Wakil Presiden dalam masa jabatannya menurut Undang-Undang Dasar<br /><br />Bedanya dengan di Amerika Serikat Usulan pemberhentian Presiden di Indonesia melalui proses sesuai Pasal 7A dan 7 B yaitu:<br /> Pasal 7A<br /><br /> Presiden dan/atau Wakil Presiden dapat diberhentikan dalam masa jabatannya oleh Majelis Permusyawaratan Rakyat atas usul Dewan Perwakilan Rakyat, baik apabila terbukti telah melakukan pelanggaran hukum berupa pengkhianatan terhadap negara, korupsi, penyuapan, tindak pidana berat lainnya, atau perbuatan tercela maupun apabila terbukti tidak lagi memenuhi syarat sebagai Presiden dan/atau Wakil Presiden.***)<br /><br />Pasal 7B<br /><br />(1) Usul pemberhentian Presiden dan/atau Wakil Presiden dapat diajukan oleh Dewan Perwakilan Rakyat kepada Majelis Permusyawaratan Rakyat hanya dengan terlebih dahulu mengajukan permintaan kepada Mahkamah Konstitusi untuk memeriksa, mengadili, dan memutus Dewan Perwakilan Rakyat bahwa Presiden dan/atau Wakil Presiden telah melakukan pelanggaran hukum berupa pengkhianatan terhadap negara, korupsi, penyuapan, tindak pidana berat lainnya, atau perbuatan tercela; dan/atau pendapat bahwa Presiden dan/atau Wakil Presiden tidak lagi memenuhi syarat sebagai Presiden dan/atau Wakil Presiden<br />(2) Pendapat Dewan Perwakilan Rakyat bahwa Presiden dan/atau Wakil Presiden telah melakukan pelanggaran hukum tersebut ataupun telah tidak lagi memenuhi syarat sebagai Presiden dan/atau Wakil Presiden adalah dalam rangka pelaksanaan fungsi pengawasan Dewan Perwakilan Rakyat<br />(3) Pengajuan permintaan Dewan Perwakilan Rakyat kepada Mahkamah Konstitusi hanya dapat dilakukan dengan dukungan sekurang-kurangnya 2/3 dari jumlah anggota Dewan Perwakilan Rakyat yang hadir dalam sidang paripurna yang dihadiri oleh sekurang-kurangnya 2/3 dari jumlah anggota Dewan Perwakilan Rakyat.<br />(4) Mahkamah Konstitusi wajib memeriksa, mengadili, dan memutus dengan seadil-adilnya terhadap Dewan Perwakilan Rakyat tersebut paling lama sembilan puluh hari setelah permintaan Dewan Perwakilan Rakyat itu diterima oleh Mahkamah Konstitusi.<br />(5) Apabila Mahkamah Konstitusi memutuskan bahwa Presiden dan/atau Wakil Presiden terbukti melakukan pelanggaran hukum berupa pengkhianatan terhadap negara, korupsi, penyuapan, tindak pidana berat lainnya, atau perbuatan tercela; dan/atau terbukti bahwa Presiden dan/atau Wakil Presiden tidak lagi memenuhi syarat sebagai Presiden dan/atau wakil Presiden, Dewan Perwakilan Rakyat menyelenggarakan sidang paripurna untuk meneruskan usul pemberhentian Presiden dan/atau Wakil Presiden kepada Majelis Permusyawaratan Rakyat<br />(6) Majelis Permusyawaratan Rakyat wajib menyelenggarakan sidang untuk memutuskan usul Dewan Perwakilan Rakyat tersebut paling lambat tiga puluh hari sejak Majelis Permusyawaratan Rakyat menerima usul tersebut.<br />(7) Keputusan Majelis Permusyawaratan Rakyat atas usul pemberhentian Presiden dan/atau Wakil Presiden harus diambil dalam rapat paripurna Majelis Permusyawaratan yang dihadiri oleh sekurang-kurangnya ¾ dari jumlah anggota dan disetujui oleh sekurang-kurangnya 2/3 dari jumlah anggota yang hadir, setelah Presiden dan/atau Wakil Presiden diberi kesempatan menyampaikan penjelasan dalam rapat paripurna Majelis Permusyawaratan Rakyat.<br /><br />Presiden juga tidak dapat membubarkan dewan perwakilan rakyat sesuai Pasal 7C hal ini berarti pula bahwa Indonesia bukan menganut sistem parlementer. Jadi apabila kita menggunakan istilah Sri Soemantri maka Indonesia menganut suatu combine system antara sistem parlementer dan presidensiil.<br /><br />1 Simpulan<br />1. Sistem pemerintahan dapat dikelompokkan atas tiga sistem yaitu:<br />(1). Sistem parlementer atau disebut Cabinet Government, seperti mula-mula di Inggris yang kemudian diikuti oleh negara lainnya seperti Perancis, Belanda, Jerman Barat, Italia, India, Jepang, Republik Indonesia berdasarkan konstitusi RIS dan UUDS 1950 dan negara-negara lainnya.<br />(2) Sistem presidensiil, seperti di anut antara lain Amerika Serikat dan beberapa negara Amerika Latin<br />(3) Sistem pemerintahan yang tidak dapat digolongkan kedalam kedua sistem diatas ataupula dapat dimasukan kedalam kedua-duanya. Hal demikian ini dapat kita lihat dalam sistem pemerintahan di Swiss dan Republik Indonesia. <br />2. Semua sistem pemerintahan memiliki kelebihan dan kekurangannya masing-masing .<br />3. Sebab-sebab timbulnya perbedaan diantara sistem tersebut adalah karena latar belakang sejarah politik yang dialami oleh negara masing-masing itu berlainan. <br /><br />DAFTAR PUSTAKA<br /><br />Boer Mauna, Hukum Internasional Pengertian Peranan dan Fungsi dalam Era Dinamika Global, Alumni, Bandung, 2005<br />Carl J. Fredrich, Man and his Government, An Empirical Theory of Politics, New York, mc Graw Hill Book Coy, inc, 1963<br />Moh.Kusnardi dan Hermaily Ibrahim, Pengantar Hukum Tata Negara Indonesia, Sinar Bakti, Jakarta, 1988<br />Samuel Edward Finer, Comparative Government, 1974<br />Sri Soemantri, Perbandingan Hukum Tata Negara, Alumni, Bandung, 1971<br />..............., Sistem Dua Partai, Binacipta, Bandung, 1968<br />..............., Sistem-sistem Pemerintahan Negara-negara ASEAN<br />..............., Demokrasi Pancasila dan Implementasi UUD 1945, Alumni, Bandung, 1969<br /><br /> <br /><br /><br /><br /><br /><br /><br /><a title="" style="mso-footnote-id: ftn1" href="http://www.blogger.com/post-create.g?blogID=7604640233709023804#_ftnref1" name="_ftn1">[1]</a> Boer Mauna, Hukum Internasional Pengertian Peranan dan Fungsi dalam Era Dinamika Global, Alumni, Bandung, 2005, hlm 17<br /><a title="" style="mso-footnote-id: ftn2" href="http://www.blogger.com/post-create.g?blogID=7604640233709023804#_ftnref2" name="_ftn2">[2]</a> Ibid, hlm 22<br /><a title="" style="mso-footnote-id: ftn3" href="http://www.blogger.com/post-create.g?blogID=7604640233709023804#_ftnref3" name="_ftn3">[3]</a> Ibid<br /><a title="" style="mso-footnote-id: ftn4" href="http://www.blogger.com/post-create.g?blogID=7604640233709023804#_ftnref4" name="_ftn4">[4]</a> Moh.Kusnardi dan Hermaily Ibrahim, Pengantar Hukum Tata Negara Indonesia, Sinar Bakti, Jakarta, 1988, hlm 171<br /><a title="" style="mso-footnote-id: ftn5" href="http://www.blogger.com/post-create.g?blogID=7604640233709023804#_ftnref5" name="_ftn5">[5]</a> Sri Soemantri, Perbandingan Hukum Tata Negara, Alumni, Bandung, 1971, hlm 81-82<br /><a title="" style="mso-footnote-id: ftn6" href="http://www.blogger.com/post-create.g?blogID=7604640233709023804#_ftnref6" name="_ftn6">[6]</a> Moh.Kusnardi dan Hermaily Ibrahim, Op.Cit, hlm 177<br /><a title="" style="mso-footnote-id: ftn7" href="http://www.blogger.com/post-create.g?blogID=7604640233709023804#_ftnref7" name="_ftn7">[7]</a> Carl J. Fredrich, Man and his Government, An Empirical Theory of Politics, New York, mc Graw Hill Book Coy, inc, 1963, dalam Moh. Kusnardi dan Hermaily Ibrahim, Op.Cit, hlm 171 <br /><a title="" style="mso-footnote-id: ftn8" href="http://www.blogger.com/post-create.g?blogID=7604640233709023804#_ftnref8" name="_ftn8">[8]</a> Ibid, hlm 171<br /><a title="" style="mso-footnote-id: ftn9" href="http://www.blogger.com/post-create.g?blogID=7604640233709023804#_ftnref9" name="_ftn9">[9]</a> Sri Soemantri, Sistem-Sistem Pemerintahan Negara-negara ASEAN, hlm 18-21<br /><a title="" style="mso-footnote-id: ftn10" href="http://www.blogger.com/post-create.g?blogID=7604640233709023804#_ftnref10" name="_ftn10">[10]</a> Moh.Kusnardi dan Hermaily Ibrahim, Op.Cit, hlm 171<br /><a title="" style="mso-footnote-id: ftn11" href="http://www.blogger.com/post-create.g?blogID=7604640233709023804#_ftnref11" name="_ftn11">[11]</a> Moh.Kusnardi dan Hermaily Ibrahim, Pengantar Hukum Tata Negara Indonesia, Sinar Bakti, Jakarta, 1988, hlm 171<br /><a title="" style="mso-footnote-id: ftn12" href="http://www.blogger.com/post-create.g?blogID=7604640233709023804#_ftnref12" name="_ftn12">[12]</a> Sri Soemantri, Perbandingan Hukum Tata Negara, Alumni, Bandung, 1971, hlm 81-82<br /><a title="" style="mso-footnote-id: ftn13" href="http://www.blogger.com/post-create.g?blogID=7604640233709023804#_ftnref13" name="_ftn13">[13]</a> Sri Soemantri, Op.Cit, hlm 81<br /><a title="" style="mso-footnote-id: ftn14" href="http://www.blogger.com/post-create.g?blogID=7604640233709023804#_ftnref14" name="_ftn14">[14]</a> Moh.Kusnardi dan Hermaily Ibrahim, Op.Cit, hlm 175<br /><a title="" style="mso-footnote-id: ftn15" href="http://www.blogger.com/post-create.g?blogID=7604640233709023804#_ftnref15" name="_ftn15">[15]</a> Sri Soemantri, Op.Cit, hlm 83<br /><a title="" style="mso-footnote-id: ftn16" href="http://www.blogger.com/post-create.g?blogID=7604640233709023804#_ftnref16" name="_ftn16">[16]</a> Sri Soemantri, Op.Cit, hlm 84<br /><a title="" style="mso-footnote-id: ftn17" href="http://www.blogger.com/post-create.g?blogID=7604640233709023804#_ftnref17" name="_ftn17">[17]</a> Moh.Kusnardi dan Hermaily Ibrahim, Op.Cit, hlm 177<br /><a title="" style="mso-footnote-id: ftn18" href="http://www.blogger.com/post-create.g?blogID=7604640233709023804#_ftnref18" name="_ftn18">[18]</a> Ibid, hlm 178<br /><a title="" style="mso-footnote-id: ftn19" href="http://www.blogger.com/post-create.g?blogID=7604640233709023804#_ftnref19" name="_ftn19">[19]</a> Moh.Kusnardi dan Hermaily Ibrahim, Op.Cit, hlm 179ARMAN ANWAR, S.H.http://www.blogger.com/profile/06787610195558856283noreply@blogger.com0tag:blogger.com,1999:blog-7604640233709023804.post-60164100320720130942008-08-20T23:20:00.000-07:002008-08-20T23:23:57.409-07:00MEMILIH CALON KEPALA DAERAH DAN WAKIL KEPALA DAERAH YANG SEHATKPUD Provinsi Maluku telah menetapkan pasangan calon kepala daerah dan wakil kepala daerah. Para pasangan calon beserta tim suksesnya pun mulai gerah, terlihat tidak sabaran untuk memulai star dan mengeluarkan jurus-jurus ampuhnya guna memenangkan Pemilukada meskipun, tahapan kampanye belum dimulai. Pengamat politik pun seakan tak ingin ketinggalan, mulai dari wacana, asumsi politik bahkan strategi pemenangan dengan hitung-hitungan matematika digelar mulai dari rumah kopi hingga perguruan tinggi hangat dibicarakan. Media massa pun hampir setiap hari memberitakan profil dan berbagai kemampuan serta kelebihan masing-masing pasangan calon. Sehingga bisa dapat dipastikan bahwa tidak ada lagi yang tidak diketahui oleh masyarakat tentang pasangan calon. Namun kendati pemilukada sudah di depan mata, dan masyarakat telah dicekoki dengan berbagai informasi, yakinkah kita bahwa kita tahu pasangan calon kepala daerah dan wakil kepala daerah yang akan kita pilih nanti adalah orang-orang yang sehat dan mampu memimpin Maluku lima tahun mendatang? sudah pasti jawabannya adalah tidak tahu karena yang tahu hal itu hanya KPUD dan Tim Dokter yang memeriksa pasangan calon kepala daerah dan wakil kepala daerah, plus pasangan calon itu sendiri.<br />Pemilukada adalah pesta demokrasi rakyat, ajang pemilihan kepala daerah dan wakil kepala daerah yang mampu mengembangkan inovasi, berwawasan ke depan dan siap melakukan perubahan ke arah yang lebih baik. Di pundak mereka terletak tugas berat pengembangan kehidupan demokrasi, keadilan, pemerataan, kesejahteraan masyarakat, memelihara hubungan yang serasi antara Pemerintah dan Daerah serta antar Daerah untuk menjaga keutuhan Negara Kesatuan Republik Indonesia. Demikian makna filosofis yang terkandung dalam UU No 32 Tahun 2004 beserta perubahannya, terakhir dengan UU No. 12 Tahun 2008 perubahan kedua atas UU No 32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah. Mengingat tugas berat tersebut dan peran startegisnya maka patutkah bila tanggung jawab ini diemban oleh orang yang sakit-sakitan. Olehnya itu sesuai amanat konstitusi maka calon kepala daerah dan wakil kepala daerah, haruslah orang-orang yang sehat secara jasmani maupun rohani.<br /><br /><strong>Persyaratan sehat jasmani dan rohani</strong> <br />Tahap penetapan pasangan calon kepala daerah dan wakil kepala daerah telah dilalui, itu berarti para pasangan calon yang telah ditetapkan dinyatakan mampu dan memenuhi syarat sebagai pasangan calon (peserta pemilukada) oleh KPUD. Salah satu syarat tersebut adalah sehat jasmani dan rohani berdasarkan hasil pemeriksaan kesehatan menyeluruh dari tim dokter ( Pasal 58 huruf (e) UU No 32 Tahun 2004 yo Pasal 38 ayat 1 (e) PP No 6 Tahun 2005). Terlepas dari polimik hak politik (right to vote and rihgt to be candidate) adalah hak asasi yang tidak boleh dikurangi meski terhadap calon yang mengalami disabilitas namun realitas konstitusi kita mempersyaratkan sehat jasmani dan rohani. Sehingga dalam PP No. 6 Tahun 2005 diatur bahwa pemeriksaan kemampuan secara rohani dan jasmani sebagaimana dimaksud dalam Pasal 38 ayat (1) huruf e dilakukan oleh Tim Pemeriksa Khusus dari dan dilakukan di rumah sakit yang ditunjuk oleh KPUD (Pasal 39 ayat (1). Hasil pemeriksaan sebagaimana dimaksud pada ayat (1), disampaikan oleh Tim Pemeriksa Khusus kepada KPUD sebagai pembuktian kebenaran kelengkapan persyaratan calon. (Pasal 39 ayat (2).<br /><br /><strong>Pengertian Sehat Jasmani dan Rohani<br /></strong>Pasal 1 butir 1 Undang-Undang No 23 tahun 1992 tentang Kesehatan menyatakan bahwa kesehatan adalah keadaan sejahtera dari badan, jiwa dan sosial yang memungkinkan setiap orang hidup produktif secara sosial dan ekonomis. Dalam arti sesungguhnya, sehat melingkupi fisik-mental-sosial. Karena definisi sehat bukan hanya tidak sakit. “ … Health is a state of complete physical, mental and social well-being, and not merely an absence of disease or infirmity…” (WHO).<br />Menurut DR. Dr. Fachmi Idris, M.Kes, Sehat fisik adalah komponen terpenting dari keadaan sehat secara keseluruhan. Sehat fisik artinya seluruh organ tubuh berada dalam ukuran sebenarnya dan berada dalam kondisi optimal, serta dapat berfungsi normal. Sehat secara fisik diukur dari parameter nilai-nilai normal dari tanda-tanda vital tubuh, antara lain: denyut nadi pada saat istirahat, tekanan darah.<br />Sehat fisik harus bersamaan dengan sehat secara mental. Ciri seseorang dinyatakan sehat secara mental, minimal meliputi: merasa puas dengan keadaan dirinya (tidak pernah merasa kecewa dengan keadaan dirinya); patuh pada aturan-aturan (dapat menerima dengan baik perbedaan antar sesama, mudah menerima kritik); mempunyai kontrol diri yang baik (tidak akan selalu didominasi oleh emosi, rasa kecewa dan marah).<br />Banyak perbedaan pendapat tentang sehat secara sosial (social well-being). Namun demikian secara umum disepakati, bahwa sehat secara sosial berkonotasi dengan kemampuan seseorang untuk membina hubungan keakraban dengan sesama, memiliki tanggung jawab menurut kapasitas yang dimilikinya, dapat hidup secara efektif dengan sesama, dan menunjukkan perilaku sosial yang penuh perhitungan.<br /><br /><strong>Tujuan Penilaian Kesehatan</strong><br />Penilaian kesehatan calon kepala daerah dan wakil kepala daerah bertujuan untuk menilai kesehatan para calon yang diajukan oleh Partai Politik atau gabungan Partai Politik, atau calon persorangan sehingga calon yang diterima adalah mereka yang memenuhi syarat mampu secara rohani dan jasmani untuk melaksanakan tugas dan kewajiban sebagai kepala daerah dan wakil kepala daerah. Mampu secara rohani dan jasmani dalam arti kesehatan adalah keadaan kesehatan (status kesehatan) jiwa dan jasmani yang bebas dari gangguan/disabilitas.<br /><br /><strong>Prinsip dan Protokol Penilaian Kesehatan</strong><br />Merujuk Pada Petunjuk Teknis Penilaian Kemampuan Rohani dan Jasmani Pasangan calon Kepala Daerah dan Wakil Kepala Daerah yang dirumus oleh PB IDI Penilaian tersebut dilaksanakan dengan memperhatikan prinsip pemeriksaan kesehatan yang memenuhi persyaratan obyektif-ilmiah berlandaskan ilmu kedokteran berbasis bukti (evidence-based medicine). Pemeriksaan kesehatan tersebut menggunakan protokol yang sesuai dengan standar profesi kedokteran, meliputi pemeriksaan­: Anamnesis dan analisis riwayat kesehatan; Pemeriksaan psikiatrik; Pemeriksaan jasmani meliputi Interna; Jantung dan pembuluh darah; Paru; Bedah; Urologi; Ortopedi; Obstetri ginekologi; Saraf; Mata:Telinga hidung dan tenggorokan. Pemeriksaan Penunjang meliputi Ultrasonografi abdomen; Elektro Kardio Grafi dan Treadmill Test; Ekokardiografi dan Dopler Karotis; Foto roentgen thoraks; Spirometri; Audiometri bila diperlukan;MRI/CT Scan bila diperlukan; USG transvaginal bila diperlukan;Mammograf/USG payudara bila diperlukan. Pemeriksaan laboratorium meliputi pemeriksaan darah dan urine: Hematologi lengkap; Urinalisis lengkap; Tes faal hati; Tes faal ginjal; Profil lipid; Metabolisme karbohidrat;Tumor marker atas indikasi; Papsmear: sitologi bagi calon yang perempuan.<br /><br /><strong>Merubah Paradigma</strong><br />Selama ini Keterangan hasil penilaian kesehatan merupakan pendapat dari Tim Penilaian Kesehatan yang disampaikan kepada KPUD untuk dijadikan bahan pertimbangan. Dalam kaitannya dengan rahasia kedokteran, rekam medis hasil pemeriksaan kesehatan menjadi arsip Tim Dokter dan disimpan di rumah sakit tempat pemeriksaan, sedangkan keterangan hasil pemeriksaan lengkap dikirimkan kepada KPUD dan menjadi tanggungjawab KPUD. KPUD tidak memiliki kewajiban hukum untuk mempublikasikannya karena tidak diatur dalam UU. Perlakuan hukum berbeda jika dibandingkan dalam hal persyaratan menyerahkan daftar kekayaan pribadi dan kesediaan untuk diumumkan (Pasal 58 huruf i). Demikianpun tentang dana kampanye. Hasil audit diumumkan oleh KPUD paling lambat 3 (tiga) hari setelah KPUD menerima laporan hasil audit dari kantor akuntan publik. Laporan dana kampanye yang diterima KPUD wajib dipelihara dan terbuka untuk umum (Pasal 84 ayat (5), dan (6). Hal ini jelas menandakan adanya diskrimnasi atas hak publik untuk mengetahui kesehatan dari calon pejabat publik. Paradigma menyampaikan visi misi dan sekedar menjual janji-janji dalam kampanye yang belum tentu ditepati, juga harus diubah. Pasangan calon harus berani membuka diri dan menyatakan dirinya sehat dan siap mengemban tugas. Saat penyampaian visi misi digedung DPRD maupun dikala kampanye, kesehatan harus dijadikan prioritas. Hal ini harus menjadi parameter penilaian dan kredit point tersendiri dalam menarik simpati publik. Dengan demikian masyarakat benar-benar dapat memilih mana calon kepala daerah dan wakil kepala daerah yang sehat dalam arti sesungguhnya. Sepanjang hal tersebut belum dapat dilakukan maka tentunya harapan besar rakyat hanya dapat digantungkan pada komitmen Tim Dokter untuk menjunjung tinggi moral, hukum dan sumpah serta etika profesi untuk bekerja jujur dan profesional. Tak ada salahnya sekedar mengingatkan bahwa dibalik itu semua ada konsekwensinya yaitu Pasal 115 ayat (6) ”Setiap orang yang dengan sengaja memberikan keterangan yang tidak benar atau menggunakan surat palsu seolah-olah sebagai surat yang sah tentang suatu hal yang diperlukan bagi persyaratan untuk menjadi pasangan calon kepala daerah/wakil kepala daerah, diancam dengan pidana penjara paling singkat 36 (tiga puluh enam) bulan dan paling lama 72 (tujuh puluh dua) bulan dan denda paling sedikit Rp36.000.000,00 (tiga puluh enam juta rupiah) dan paling banyak Rp72.000.000,00 (tujuh puluh dua juta rupiah).” Pemimpin yang sehat diharapkan dapat membangun rakyat yang sehat (fisik, mental, dan social well-being). Kalaulah bangsa Indonesia harus disehatkan maka pemimpin yang sehat adalah suatu kemutlakan. Karena sehat sesungguhnya merupakan modal dasar kehidupan bangsa menuju Kebangkitan Nasional Baru. Dan hanyalah bangsa yang sehat yang dapat menjadi bangsa terhormat.ARMAN ANWAR, S.H.http://www.blogger.com/profile/06787610195558856283noreply@blogger.com0tag:blogger.com,1999:blog-7604640233709023804.post-36490794325848625922008-08-20T23:17:00.000-07:002008-08-20T23:19:45.005-07:00MALPRAKTIK Vs TAKDIRPAGI itu seperti biasa Dokter Nefa melaksanakan kegiatan rutinitasnya visite memeriksa pasien-pasien yang sedang rawat inam di puskesmas. Dokter Nefa saat itu dibantu oleh Suster Novi ketika tiba-tiba datang seorang suami istri membawa putrinya yang berusia 10 tahun dengan tergopoh-gopoh.<br />“Anak ini kenapa, Pak ?” tanya Dokter Nefa dengan penuh ingin tahu.<br />“Anak saya ini sudah beberapa hari demam dan sekarang sudah tak sadarkan diri, Dok !” jelas ayah anak itu dengan cemas dan memelas memohon pertolongan dokter.<br />“Sus tolong infusnya segera dipasang”. Perintah Dokter Nefa kepada Suster Novi, sambil melakukan tensi pada pasien. Ternyata Dokter Nefa tidak dapat mengukur sistole dan diastole. Dipegangnya tangan pasien ternyata tubuh pasien agak dingin. Dia lihat pasien masih bernafas. Dirabanya denyut jantung pada nadi ditangan kiri pasien, namun tidak teraba. Dia buka mata pasien terlihat ada subkonjungtiva bleeding (perdarahan kecil) dan pada rongga hidung ada keluar sedikit darah. Dia juga melihat ada bintik-bintik merah kecil tersebar dilengan pasien.<br />“Infusnya juga susah dipasang Dok,” ujar Suster Novi dengan nada cemas.<br />“Cepat periksa Hb dan Trombositnya, Sus,” perintah Dokter Nefa sambil dengan cekatan mengambil alih tugas Suster Novi. Baru kali ini terlihat Dokter Nefa begitu khawatir menghadapi kondisi pasiennya. Dengan cepat Dokter Nefa mencari vena (pembuluh darah). Namun ternyata semua vena pasien colaps, mengkerut dan susah untuk dimasukkan jarum infus. Terpaksa dilakukan vena seksi, menyobek kulit untuk mencari vena tersebut, namun tiba-tiba pasien berhenti bernafas. Dokter Nefa langsung memeriksa pupil penderita dan terlihat myosis. Dia tekan arteri carotis (pembuluh darah dileher) tidak ada denyutan. Seketika itu juga Dokter Nefa terduduk sedih dan meneteskan air mata. Kepada kedua orang tua anak itu dijelaskan bahwa anak mereka menderita demam berdarah grade empat. Dokter sudah berusaha semaksimal mungkin, tetapi Tuhan berkehendak lain. Akhirnya walaupun berat hati ditinggal buah hati tercinta, mereka tetap tabah menerima kepergian anaknya dengan ikhlas.<br />Inilah yang disebut takdir, meskipun kita sudah berusaha dengan penuh optimisme namun kita semua hanya dapat berikhtiar tanpa mampu memastikan hasil akhir dari suatu upaya medis dan juga harus disadari bahwa masih banyak hal-hal yang belum kita fahami dalam kehidupan ini (et causa ignota).<br /> Pada kasus yang lain, ada seorang anak lelaki berusia enam tahun dibawa ke UGD sebuah rumah sakit oleh ayahnya. Anak tersebut jatuh dari sebuah pohon di halaman belakang rumahnya. Ia mengalami cedera yang tampak seperti luka kecil dibagian pahanya, terlihat ada darah yang memancar keluar dari sumber luka itu. Saat itu keadaan di UGD sangat sibuk karena dibanjiri pasien. Setelah menunggu tiga jam, anak tersebut baru mendapat perawatan dan pengobatan. Setelah luka anak itu dijahit kemudian oleh dokter diperbolehkan pulang. Pada hari berikutnya anak tersebut mengalami demam dan tungkai yang cedera membengkek. Orang tua anak ini kembali membawanya ke dokter yang merawatnya, hasilnya dirujuk ke rumah sakit lain. Di rumah sakit ini, dilakukan bedah eksplorasi pada luka dan ditemukan serpihan kayu sepanjang 3 cm. Namun anak tersebut terlanjur mengalami nekrotik pada fasia (jaringan daging membusuk). Meskipun telah diberikan antibiotik, oksigen hiperbalik dan pembedahan berulang, sebagian besar tubuh anak itu telah terkena penyakit kerusakan jaringan. Akhirnya ia diamputasi dan akibat infeksi sistemik, ia juga mengalami buta sebagian dan kerusakan pada otak. <br /> Pada kasus kedua ini tentu tidak dapat dikatakan bahwa ini merupakan takdir. Kegagalan mendapatkan riwayat kesehatan yang adekuat, yang dapat memberikan peringatan kemungkinan adanya serpihan kayu, tidak melakukan tindakan eksplorasi luka untuk menemukan debris dan tidak dilakukan cumputed tomography (CT) atau ultrasonografi untuk mengkaji serpihan kayu yang tertinggal didalam luka sebelum dijahit, adalah tindakan malpraktik. Fakta bahwa UGD sangat sibuk pada hari itu bukanlah alasan pembenar untuk memberikan perawatan dibawah standar karena semua pasien berhak mendapatkan perawatan seksama dan intervensi lain yang sesuai dan patut. <br /> Dari sudut pandang hukum apabila perlakuan medis telah dilakukan dengan benar dan patut menurut standar profesi, dan standar operasional maka meskipun tanpa hasil penyembuhan yang diharapkan, tidaklah melahirkan malpraktik. Namun apabila setelah perlakuan medis dilakukan terjadi keadaan tanpa hasil sebagaimana diharapkan (tidak sembuh) atau menjadi lebih parah sifat penyakitnya disebabkan perlakuan medis yang menyalahi standar profesi dan standar operasional atau prinsip-prinsip umum kedokteran maka dokter dapat dianggap melakukan malpraktik.<br />Pasien berhak menuntut penggantian kerugian atas malpraktik dokter melalui gugatan perdata sebagai perbuatan wanprestasi (Pasal 1243 BW) dan perbuatan melawan hukum (Pasal 1365 BW) serta apabila akibat perbuatan tersebut sampai menimbulkan luka atau kematian maka terbentuk pertanggung jawaban pidana yang wujudnya bukan sekedar penggantian kerugian saja tetapi juga pemidanaan/strafbaar (Pasal 359 atau 360 KUHP). <br />Ancaman pidana atas suatu perbuatan yang dilakukan dengan sengaja (doleus) dan dengan tidak sengaja (culpoos) berbeda jauh. Ancaman pidana Pasal 338 KUHP bila dilakukan dengan sengaja, maksimum 15 tahun penjara namun atas obyek yang sama pada Pasal 359 KUHP yakni nyawa dan akibat yang sama yaitu menyebabkan hilangnya nyawa orang lain, maksimum 5 tahun penjara bila dilakukan dengan tidak sengaja. <br />Profesi kedokteran adalah bidang pekerjaan profesional yang mempunyai ciri utama keahlian profesi, kehati-hatian, tanggung jawab, dan kesejawatan. Dan dalam menjalankan praktik profesinya, didasarkan pada perilaku ingin berbuat baik demi kesembuhan pasien (doing good) dan tidak ada niat untuk menyakiti, mencederai, dan merugikan pasien apalagi membunuh (primum non nocere). Olehnya itu Prof Dr Indrianto Seno Adji SH berpendapat bahwa kelalaian yang sangat besar (tort/gross negligence) oleh dokter masuk dalam lingkup hukum pidana. Namun tidak setiap kelalaian/kesalahan dokter serta-merta dianggap sebagai malapraktik sehingga harus dijerat dengan hukum pidana.<br />Tidak semua akibat buruk penanganan medis (adverse events or bad result) bisa menyebabkan malpraktik. Ada 3 penanganan medis yang bukan malpraktik. Pertama, kejadian buruk yang pasien darita sudah diketahui ilmu kedokteran dan diterima semua khalayak (acceptable risk) contohnya minum obat batuk ada efek samping mengantuk atau pasien kanker yang mengalami penyinaran akan mengalami kebotakan. Kedua, resiko medis tersebut sudah diinformasikan oleh dokter kepada pasien atau keluarganya dan disetujui (informed consent). Ketiga, adalah yang disebut dengan kejadian buruk nir laik bayang (untoward result or unforesseeable) atau musibah medik. Kejadian buruk ini terjadi tanpa dokter mampu membayangkan atau memperkirakan sebelumnya hal itu terjadi, kendati dokter sudah cukup hati-hati sesuai dengan langkah-langkah baku dalam srtandar profesi dan standar operasional. Sebagai contoh Sindroma Steven Johnson yaitu ketika seseorang diberi suntikan atau obat, tiba-tiba timbul efek pada tubuh yang tidak biasa. Padahal, obat tersebut bila diberikan pada ribuan atau jutaan orang lain tidak memberikan efek samping yang buruk, bahkan obat tadi berkhasiat sehingga ribuan bahkan jutaan orang menjadi sembuh. Kejadian seperti ini benar-benar amat langka (hanya satu dari ribuan atau jutaan orang).<br />Ada juga kesalahan dokter yang tidak bisa disebut kesalahan hukum, yakni kekeliruan atau kemelesetan dokter (error of judgment). Diagnosisnya meleset karena keterbatasan peralatan medis, contoh kekeliruan mendiagnosis tuberkulosis dini di paru-paru pasien yang disebabkan karena membaca foto rontgen dada serial depan-belakang yang rutin dipakai sebagai standard, padahal bila memakai CT (computed tomografi) Scan, hal itu akan tampak jelas dan diagnosis akan lebih akurat. <br /> Pada dasarnya, dengan konseling atau informasi yang memadai dari dokter, pasien atau keluarganya bisa menilai setiap langkah yang dilakukan dokter. Saat ini informed consent (persetujuan tindakan medis) semakin penting disediakan oleh dokter serta dipahami sepenuhnya oleh pasien/keluarganya sehingga tidak setiap kekecewaan dari hasil pelayanan medis menjadi kasus malapraktek.<br />Informasi ini hendaknya dapat dijadikan sebagai introspeksi bagi kita semua agar dapat menyikapai isu malpraktik dengan bijaksana dalam koridor hukum.<br />Seandainya manusia itu sempurna maka tak kan ada dokter yang digugat, tak akan ada polisi, pengacara, jaksa atau hakim yang gegabah, pun tak akan ada dendam dan sumpah serapah. Kalaulah manusia tahu tidak banyak yang ia tahu maka tentulah dokter akan berdoa dan pasienpun akan mengamini bahwa kesembuhan ada ditangan-Mu dan ajal hanyalah atas perkenan-Mu.ARMAN ANWAR, S.H.http://www.blogger.com/profile/06787610195558856283noreply@blogger.com0tag:blogger.com,1999:blog-7604640233709023804.post-52895134873366751972008-08-20T23:12:00.000-07:002008-08-20T23:17:28.748-07:00MALPRAKTEK DOKTER MENURUT DIAGNOSA HUKUM<div align="justify">Perkembangan ilmu kedokteran yang semakin pesat serta kecanggihan peralatan medis yang serba modern telah mempermudah pekerjaan dokter dalam melaksanakan profesinya dengan baik. Di R.S. St. Luke, Houston Texas, Amerika Serikat, para dokter disana bisa melakukan operasi jantung di 11 meja operasi sekaligus dengan frekuensi operasi sebanyak 30 kali sehari. Suatu pekerjaan massal yang biasanya hanya ada dalam kegiatan produksi pabrik. Ini baru sebagian kecil dari sekian banyak kesuksesan dalam bidang kedokteran yang kita dengar diabad ini.<br /> Keadaan tersebut melahirkan opini bahwa tuntutan akan kebutuhan jasa profesi dokter dalam dinamika kehidupan masyarakat yang mendambakan derajat kesehatan yang tinggi selalu diiringi dengan suatu anggapan bahwa dokter adalah manusia setengah Tuhan, dokter akan mampu memberikan pelayanan kesehatan dan pengobatan yang maksimal. Namun kenyataannya seringkali keinginan untuk bisa sembuh, malah yang didapat justru kekecewaan karena sakitnya bertambah parah atau bahkan meninggal dunia. Ketika sesuatu yang tidak diharapkan ini terjadi, muncul sikap yang beragam dari keluarga. sebagian ada yang menerimanya dengan lapang dada dan menganggapnya sebagai takdir tanpa ‘reserve’ namun tidak sedikit pula yang antipati, sedih, kecewa bahkan marah dan mempertanyakan secara kritis, apakah karena ada kesalahan dokter ?<br /> Maraknya isu malparktek dokter belakangan ini sedikit banyak telah mempengaruhi hubungan dokter dan pasien yang semula dekat dan saling mempercayai telah berubah menjadi sikap “An eye, for an eye” alias “nyawa dibayar nyawa” hal ini kian memicu krisis malpraktek karena para dokter juga akan memperagakan strategi “defensif medicine” alias perlawanan pola bertahan ala cattenacio (sistem grendel gaya Italia, setiap gerakan lawan ‘dikunci’ satu persatu ) sehingga jangan kaget kalau akhirnya dokter akan meminta agar pasien terlebih dahulu harus memeriksakan darah, urine dan lain-lain karena takut salah mendiagnosa padahal cuma sakit flu, tapi apa mau dikata kocek pasien sudah terlanjur terkuras. Kalau sudah begini maka masyarakatpun beranggapan bahwa pergi ke dokter kok sama seperti pergi ke rentenir.<br /> Permasalahan ini padahal dapat diminimalisir kalau kita semua memahami persoalan malpraktek secara baik dan benar.<br /><br /><strong>Pengertian malpraktek<br /></strong> Secara harfiah, istilah malpraktek, malpractice, atau malpraxis artinya praktik yang buruk (bad practice), atau praktek yang jelek (Hermin Hadiati Koeswadji, 1998). Malpraktek adalah prilaku menyimpang atau prilaku tidak etis /tidak bermoral melanggar kewajiban hukum; praktek jahat profesi; kekurangterampilan yang tak layak atau tidak pantas dari seorang profesional (Henry Campbel Black, et al. dalam Black’s Law Dictionary, 5th ed, West Publishing Co, 1979). Apabila istilah tersebut dirangkai dengan kata ‘dokter’ menjadi malpraktek kedokteran. Istilah ini pertama kali digunakan oleh Sir William Blackstone tahun 1768 dikatakan bahwa ...that, malapraxis is great misdemeanour and offence at common law whether it be for curiosity or experiment, or by neglect; because it breaks the trust which the party had placed in his physician, and tends to the patient’s destruction (John Healy, 1999).<br />Menurut Ikatan Dokter Sedunia (World Medical Association/WMA) pada pertemuan internasional ke 44 di Marbella Spanyol 1992 menyebutkan bahwa malpraktek dokter mencakup kegagalan dokter mamatuhi standar pelayanan medis, atau kekurangcakapan, atau kelalaian dalam memberi pelayanan kepada pasiennya sehingga menjadikannya penyebab langsung suatu cedera pada pasien tersebut. <br /> <br /><strong>Malpraktek dokter menurut undang-undang kesehatan dan praktik kedokteran</strong><br /> Kartono Muhammad berpendapat bahwa malpraktek kedokteran adalah istilah hukum (Oemar Seno Adji, 1991). Sayangnya Undang-undang nomor 29 Tahun 2004 tentang Praktik Kedokteran tidak memuat ketentuan tentang malpraktek kedokteran. Pasal 66 ayat (1) hanya mengandung kalimat yang mengarah pada aspek prosedural, yakni: “Setiap orang yang mengetahui atau kepentingannya dirugikan atas tindakan dokter atau dokter gigi dalam menjalankan praktik kedokteran dapat mengadukan secara tertulis kepada Ketua Majelis Kehormatan Disiplin Kedokteran Indonesia”. Secara normatif pasal ini hanya memberikan dasar hukum untuk melaporkan dokter atau dokter gigi ke organisasi profesinya apabila terdapat indikasi tindakan dokter yang membawa kerugian. Bukan pula merupakan landasan yuridis untuk dapat menuntut ganti rugi atas tindakan dokter. Pasal ini hanya bermakna untuk tujuan hukum administrasi praktik kedokteran.<br /> Undang-undang Nomor 23 Tahun 1992 tentang Kesehatan, pada Pasal 54 ayat (1) hanya menentukan bentuk sanksi, sebagai bentuk pertanggung jawaban dokter yakni: “Terhadap tenaga kesehatan yang melakukan kesalahan atau kelalaian dalam melaksanakan profesinya dapat dikenakan tindakan disiplin”. Rumusannya hanya untuk lebih memperjelas istilah kepentingan yang dirugikan atas tindakan dokter dengan istilah melakukan kesalahan atau kelalaian dalam melaksanakan profesi. Tidak dijelaskan apa artinya, atau apa isinya sehingga kriteria kesalahan atau kelalaian dalam melaksanakan profesi juga masih menjadi tidak jelas. Apalagi norma pasal inipun sudah tidak berlaku lagi karena berlakunya Pasal 85 Undang-undang No 29 Tahun 2004 tentang Praktik Kedokteran<br /> Dengan demikian jika dilihat dari kedua undang-undang diatas tidak memberikan kejelasan tentang hakekat pengertian malpraktek kedokteran.<br /> <br /><strong>Malpraktek dokter dalam frame teori hukum</strong><br /> Pemahaman malpraktek kedokteran dari frame teori hukum umumnya menyangkut tiga aspek pokok yakni: (1) sikap batin pembuat, (2) aspek perlakuan medis, dan (3) aspek akibat perlakuan.<br /> Syarat dalam hal sikap batin dokter ada tiga sikap yaitu sikap batin mengenai wujud perbuatan (baik aktif maupun pasif), sikap batin mengenai sifat melawan hukum dan sikap batin mengenai akibat dari wujud perbuatan. Unsur –unsur yang menyertainya dapat berupa kesengajaan (dolus) dapat juga berupa kealpaan atau kelalaian (culpa). Malpraktek dapat terjadi bilamana dokter karena kedudukannya, jabatan atau tugas pekerjaannya dan lain-lain menyebabkan dokter dalam keadaan tertentu secara hukum diwajibkan untuk berbuat. Karena tidak berbuat maka ia bersalah dan memikul tanggung jawab hukum apabila menimbulkan kerugian.<br /> Perbuatan dalam perlakuan medis harus mengandung sifat melawan hukum. sifat melawan hukum dapat berupa: dilanggarnya standar profesi kedokteran, dilanggarnya standar prosedur operasional, dilanggarnya hukum seperti praktek tanpa Surat Tanda Registrasi dan Surat Izin Praktik, dilanggarnya kode etik kedokteran, dilanggarnya prinsip-prinsip umum kedokteran, dilanggarnya kesusilaan umum, terapi tidak sesuai dengan kebutuhan medis pasien, praktik kedokteran tanpa informed consent dan lain-lain.<br /> Aspek akibat harus akibat yang merugikan pasien baik mengenai kesehatan fisik atau mental maupun nyawa pasien. Munir Fuadi merinci beberapa akibat seperti rasa sakit, luka, cacat, kematian, kerusakan pada tubuh dan jiwa, atau kerugian lain yang diderta oleh pasien selama proses perawatan (Munir Fuadi, 2005). Akibat tersebut sekaligus juga merupakan unsur tindak pidana (untuk malpraktek pidana) atau unsur perbuatan melawan hukum/wanprestasi (untuk malpraktek perdata).<br /> Unsur akibat adalah penentu (essensielia) ada atau tidaknya malpraktek kedokteran. Tiada malpraktek kedokteran tanpa akibat kerugian pasien. Dan akhirnya harus ada pertanggung jawaban hukum. fokus pertanggung jawaban hukum dokter terletak pada akibat. Pertanggung jawaban hukum dokter juga bisa diakibatkan kerena kesalahan pegawai atau perawat yang tunduk dibawah perintahnya (vicarious liability). Berat ringannya pertanggung jawaban bergantung pada berat ringannya akibat yang diderita oleh pasien. Namun harus juga dilihat secara proposional dan obyektif<br /> Dengan demikian dapat disimpulkan bahwa malpraktek kedokteran mengandung makna sebagai berikut: Adanya wujud perbuatan (aktif maupun pasif) dalam praktik kedokteran, yang dilakukan oleh dokter atau orang yang ada dibawah perintahnya, dilakukan terhadap pasien, dengan sengaja maupun kelalaian, yang bertentangan dengan standar profesi kedokteran atau melanggar hukum atau dilakukan tanpa wewenang baik disebabkan tanpa informed consent tanpa STR, SIP atau dilakukan tidak sesuai dengan kebutuhan medis pasien, atau membocorkan rahasia pasien yang menimbulkan akibat (causaal verband) atas kerugian bagi kesehatan fisik, mental maupun nyawa pasien. Oleh karena itu melahirkan pertanggung jawaban hukum bagi dokter.<br /> Kealpaan adalah manusiawi bukan untuk dicerca namun bukan pula untuk menjadi pembenar kala berbuat salah adalah bijak jika ia hadir sebagai pengingat bahwa manusia tak ada yang sempurna <br /> <br /> </div>ARMAN ANWAR, S.H.http://www.blogger.com/profile/06787610195558856283noreply@blogger.com0tag:blogger.com,1999:blog-7604640233709023804.post-71158662362468916332008-08-20T23:08:00.000-07:002008-08-20T23:12:02.089-07:00HUKUM TENTANG PENCEGAHAN DAN PENANGGULANGAN<div align="justify">Apa yang selama ini kita khawatirkan akhirnya terjadi juga, Kota Ambon yang tadinya bebas flu burung akhirnya positif juga. Kasus kematian unggas secara mendadak di Kawasan Air Kuning Kebun Cengkeh dan beberapa tempat lainnya di Kota Ambon menandai awal sejarah kelam kota bertajuk Manise memasuki fase buram bagi dunia perunggasan di daerah ini bahkan bukan tidak mungkin dapat menjadi duka yang mendalam karena mengancam kelangsungan hidup anak negeri dimasa akan datang. Terlepas dari keakuratan atau tidak hasil uji laboratorium Maros maupun polimik yang terjadi seputar itu namun satu hal yang pasti bahwa penyakit ini telah menjadi momok bagi masyarakat bangsa kita dan dunia internasional secara keseluruhan.<br />Sejak tahun 2003 Pemerintah Indonesia bertempat di Departeman Kesehatan Jakarta telah mengumumkan pemberlakukan Undang-Undang Ancaman Wabah No. 4 Tahun 1984 karena adanya ancaman wabah SARS (Severe Acute Respiratory Syndrome) untuk itu kepada jajaran Depkes diminta untuk lebih ofensif dalam mengantisipasi penyebaran virus itu. Pemerintah akan menyiapkan dana berapapun untuk memerangi SASR dan untuk langkah pertama dana Depkes yang akan digunakan tegas Yusuf Kalla, yang kala itu masih menjabat Menko Kesra (Jakarta, Sinar harapan, Maret 2003).<br />Januari 2004, terjadi KLB unggas “flu burung” di seluruh Jawa, Lampung, Bali, Kalimantan Selatan, Kalimantan Tengah dan Kalimantan Barat. Pemerintah menetapkan flu burung sebagai bencana darurat nasional dan meminta persetujuan DPR untuk mengucurkan dana sebesar Rp. 212 milyar untuk penanggulangannya (<a href="http://www.ppmpl.depkes.go.id/">www.ppmpl.depkes.go.id</a>).<br />Dalam tahun yang sama, PBB telah memperingatkan bahwa flu burung lebih berbahaya dari SARS, karena kemampuan virus ini yang mampu membangkitkan hampir keseluruhan respon “bunuh diri” dalam sistem imunitas tubuh manusia.<br />Apabila dilihat dari sejarahnya flu burung, sebenarnya sudah ada sejak tahun 1960-an. Penularan virus asal unggas ke manusia mulai dilaporkan sejak 1968. Tahun 1997, pertama kali muncul di Hongkong dengan 18 orang dirawat di rumah sakit dan enam orang diantaranya meninggal dunia, kemudian menyebar ke Vietanam, dua juta unggas Vietnam dimusnahkan dan empat orang dinyatakan tewas oleh WHO sehingga jumlah korban akibat virus itu mencapai 16 orang salah satunya adalah bocah lima tahun asal Provinsi Nam Dinh, 60 mil selatan Hanoi. April 2003 penyakit ini mewabah di Belanda, Korea kemudian Thailand, Kamboja dan Taiwan dengan delapan kasus diantaranya meninggal. Januari 2004, penyebaran flu burung mencapai Jepang dan merajalela di kawasan 800 kilometer barat daya Tokyo, para pejabat di Jepang mengatakan, enam ribu ayam mati karena virus itu dan ribuan ayam terpaksa dibasmi. (Edy Sudibyo, SH, Flu Burung, 2004)<br />Sebetulnya apa dan bagaimanakah penyakit flu burung itu serta sehebat apakah bahaya yang ditimbulkannya sehingga jenis penyakit ini begitu ditakuti.</div><div align="justify"><br /><strong>Sekilas Tentang Flu Burung<br /></strong>Flu Burung (Avian Influenza) adalah suatu penyakit menular yang disebabkan oleh virus influensa yang ditularkan oleh unggas, terdiri dari beberapa tipe dan terbagi lagi atas beberapa strain, diantaranya H1N1, H3N3, H5N1 dan lain-lain. Influensa A (H5N1) merupakan penyebab wabah virus flu burung di banyak negara seperti Hongkong, Vietnam, Thialand dan Jepang. Virus ini hidup didalam saluran pencernaan unggas. kemudian dikeluarkan bersama kotoran. Infeksi akan terjadi bila orang mendekatinya. Penularan diduga terjadi dari kotoran secara oral atau melalui saluran pernapasan. Orang yang terserang flu burung menunjukan gejala klinis seperti demam, sakit tenggorokan, batuk, nyeri otot sakit kepala, lemas dan kondisinya sangat cepat menurun drastis dengan terjadinya peradangan di paru-paru (Pneumonia). Bila tidak cepat ditolong, korban bisa meninggal dunia. Hasil studi yang ada menunjukkan, unggas yang sakit (oleh influenza A H5N1) dapat mengelurkan virus dengan jumlah besar dalam kotorannya. Virus tersebut dapat bertahan hidup di air sampai empat hari pada suhu 22 derajat celcius dan lebih dari 30 hari pada nol derajat celcius. Didalam kotoran dan tubuh unggas yang sakit virus dapat bertahan lebih lama, tapi mati pada pemanasan 600 derajat celcius selama 30 menit. Virus ini sendiri mempunyai masa inkubasi selama 1 – 3 hari. <br />Kemampuan virus flu burung adalah membangkitkan hampir seluruh keseluruhan respon “bunuh diri” dalam sistem imunitas tubuh manusia. Semakin banyak virus itu tereplikasi, semakin banyak pula sitoksin-protein yang memicu untuk peningkatan respon imunitas dan memainkan peran penting dalam peradangan yang diproduksi tubuh. Sitoksin yang membanjiri aliran darah, karena virus yang bertambah banyak, justru melukai jaringan-jaringan dalam tubuh – efek bunuh diri. (Levi Silalahi, berbagai sumber).<br />Mengingat begitu seriusnya bahaya yang ditimbulkan terhadap kesehatan manusia, maka tak heran penularan infeksi virus flu burung di tanah air menurut Menteri Kesehatan Siti Fadilah Supardi, telah mengalami peningkatan nyata dalam dua pekan terakhir sehingga secara kumulatif jumlah kasus flu burung sampai dengan Januari 2007 mencapai 79 kasus dan 61 diantaranya meninggal dunia. Mengatasi hal tersebut kebijakan yang diambil adalah Pemda diminta segera membuat peraturan daerah (perda) pendukung pelaksanaan Undang-Undang No. 4 tahun 1984 tentang Wabah Penyakit menular. Perda pendukung itu diharapakan dalam waktu paling lambat satu minggu, telah dapat dijalankan khususnya di tiga provinsi yaitu DKI Jakarta, Banten dan Jawa Barat (karena 80 % kasus flu burung berada di tiga wilayah tersebut). Demikian hasil rapat Komnas Flu Burung yang diikuti oleh Menteri Kesehatan, Menko Kesra, Dirjen Peternakan Deptan, Dirjen Pemerintahan Umum Depdagri, Ketua Komnas Flu Burung dan ketiga pemda tersebut. Ketentuan dimaksud akan menjadi payung hukum bagi pemerintah daerah untuk mengambil semua tindakan yang dianggap perlu untuk mencegah dan mengendalikan penularan infeksi virus flu burung termasuk melakukan pemusnahan unggas di daerah pemukiman untuk memutus mata rantai penularan virus mematikan itu (Jakarta, Bpost, Januari 2007).<br />Menteri Koordinator Kesejahteraan Rakyat Aburizal Bakrie, ketika menjelaskan hasil rapat, mengatakan peraturan larangan tersebut diberlakukan hanya untuk masyarakat yang memelihara unggas secara nonkomersial atau kurang dari 20 ekor (pemeliharaan unggas skala rumah tangga/backyard farming).<br /><br /><strong>Undang-Undang Tentang Wabah Penyakit Menular</strong><br />Undang-Undang No 4 Tahun 1984 tentang Wabah Penyakit Menular (pengganti UU No 6 Tahun 1962 tentang Wabah dan UU No. 7 Tahun 1968 tentang perubahan Pasal 3 UU No. 6 Tahun 1962) memang tidak secara spesifik mengatur tentang Wabah Flu Burung. Namun secara insplisit terakomudir di dalam undang-undang tersebut sebagai wabah penyakit menular sebagaimana di atur dalam Pasal 1 yaitu bahwa yang dimaksud dengan pengertian wabah penyakit menular adalah:<br /> (a). “kejadian berjangkitnya suatu penyakit menular dalam masyarakat yang jumlah penderitanya meningkat secara nyata melebihi daripada keadaan lazim pada waktu dan daerah tertentu serta dapat menimbulkan malapetaka” <br />(b). “Sumber penyakit adalah manusia, hewan, tumbuhan, dan benda-benda yang mengandung dan/atau tercemar bibit penyakit, serta yang dapat menimbulkan wabah”. <br />Apabila jumlah penderita suatu penyakit menular meningkat melebihi keadaan yang lazim di suatu daerah dalam satuan waktu tertentu, dan dapat menimbulkan malapetaka, maka keadaan ini dapat dianggap sebagai suatu wabah. Dengan demikian satu kasus tunggal dari suatu penyakit menular yang lama tidak ditemukan, atau adanya penyakit baru yang belum diketahui sebelumnya di suatu daerah memerlukan laporan yang secepatnya disertai dengan penyelidikan epidemiologis. Apabila ditemukan penderita kedua dari jenis penyakit yang sama dan diperkirakan penyakit ini dapat menimbulkan malapetaka, maka keadaan, ini cukup merupakan indikasi (pertanda) untuk menetapkan daerah tersebut sebagai daerah wabah.<br />Untuk menetapkan daerah dalam wilayah Inonesia yang terjangkit wabah sebagai daerah wabah dan menetapkan jenis-jenis penyakit tertentu yang dapat menimbulkan wabah serta untuk mencabut penetapan daerah wabah jika dianggap telah aman dari wabah menjadi kewenangan Menteri Kesehatan. Tata cara pelaksanaan ketentuan sebagaimana dimaksud diatur dengan peraturan pemerintah (Pasal 4 ayat (1) ,(2) dan (3) UU No. 4 Tahun 1984.<br />Sesuai Pasal 5 Ayat (1) Upaya penanggulangan wabah mempunyai 2 (dua) tujuan pokok yaitu :<br />1. Berusaha memperkecil angka kematian akibat wabah dengan pengobatan.<br />2. Membatasi penularan dan penyebaran penyakit agar penderita tidak bertambah banyak, dan wabah tidak meluas kedaerah lain.<br />Upaya penanggulangan wabah di suatu daerah wabah haruslah dilakukan dengan mempertimbangkan keadaan masyarakat setempat antara lain : agama, adat, kebiasaan, tingkat pendidikan, sosial ekonomi, serta perkembangan masyarakat.Dengan memperhatikan hal-hal tersebut diharapkan upaya penanggulangan wabah tidak mengalami hambatan dari masyarakat, malah melalui penyuluhan yang intensif dan pendekatan persuasif edukatif, diharapkan masyarakat akan memberikan bantuannya, dan ikut serta secara aktif. Yang dimaksud dengan mengikutsertakan masyarakat secara aktif haruslah tidak mengandung paksaan, disertai kesadaran dan semangat gotong royong, dilaksanakan dengan penuh tanggungjawab<br />Agar tujuan tersebut dapat tercapai perlu dilakukan beberapa tindakan, yakni :<br />a. Penyelidikan epidemiologis, yaitu melakukan penyelidikan untuk mengenal sifat-sifat penyebabnya serta faktor yang dapat mempengaruhi timbulnya wabah.Dengan adanya penyelidikan tersebut, maka dapat dilakukan tindakan-tindakan penanggulangan yang paling berdaya guna dan berhasil guna oleh pihak yang berwajib dan/atau yang berwenang.<br />Dengan demikian wabah dapat ditanggulangi dalam waktu secepatnya, sehingga meluasnya wabah dapat dicegah dan jumlah korban dapat ditekan serendah-rendahnya.<br />b. Pemeriksaan, pengobatan, perawatan dan isolasi penderita termasuk tindakan karantina adalah tindakan-tindakan yang dilakukan terhadap penderita dengan tujuan<br />1. Memberikan pertolongan medis kepada penderita agar sembuh dan mencegah agar mereka tidak menjadi sumber penularan;<br />2. Menemukan dan mengobati orang yang nampaknya sehat, tetapi mengandung penyebab penyakit sehingga secara potential dapat menularkan penyakit ("carrier").<br />c. Pencegahan dan pengebalan adalah tindakan-tindakan yang dilakukan untuk memberi perlindungan kepada orang-orang yang belum sakit, akan tetapi mempunyai risiko untuk terkena penyakit.<br />d. Yang dimaksud dengan penyebab penyakit adalah bibit penyakit yakni bakteri, virus, dan lain-lainnya yang menyebabkan penyakit.<br />Dalam pemusnahan penyebab penyakit, kadang-kadang harus dilakukan pemusnahan terhadap benda-benda, tempat-tempat dan lain-lain yang mengandung kehidupan penyebab penyakit yang bersangkutan, misalnya sarang berkembang biak nyamuk, sarang tikus, dan lain-lain.<br />e. Penanganan jenazah apabila kematiannya disebabkan oleh penyakit yang menimbulkan wabah atau jenazah tersebut merupakan sumber penyakit yang dapat menimbulkan wabah harus dilakukan secara khusus menurut jenis penyakitnya tanpa meninggalkan norma agama serta harkatnya sebagai manusia.<br />f. Penyuluhan kepada masyarakat adalah kegiatan komunikasi yang bersifat persuasif edukatif tentang penyakit yang dapat menimbulkan wabah agar mereka mengerti sifat-sifat penyakit, sehingga dengan demikian dapat melindungi diri dari penyakit tersebut dan apabila terkena, tidak menular kepada orang lain.Selain dari pada itu penyuluhan dilakukan agar masyarakat dapat berperan serta secara aktif dalam menanggulangi wabah.<br />g. Upaya penanggulangan lainnya adalah tindakan-tindakan yang dilakukan dalam rangka penanggulangan wabah, yakni bahwa untuk masing-masing penyakit dilakukan tindakan- tindakan khusus.<br />Upaya penanggulangan wabah sebagaimana dimaksud tersebut dilaksanakan dengan tetap memperhatikan kelestarian lingkungan hidup.<br />Menyangkut dengan Pengelolaan bahan-bahan yang mengandung penyebab penyakit dan dapat menimbulkan wabah diatur dengan Peraturan Pemerintah. usaha-usaha tersebut meliputi antara lain : pemasukan, penyimpanan, pengangkutan, penggunaan, penelitian, dan pemusnahannya. Sedangkan yang dimaksud dengan bahan-bahan yang mengandung penyebab penyakit dan dapat menimbulkan wabah antara lain adalah : spesimen, bahan yang tercemar kuman, bahan yang mengandung toksin. Bahan tersebut digunakan untuk keperluan penegakan diagnosa di laboratorium maupun untuk percobaan dan penelitian.<br /> Pengaturan menyangkut hak dan kewajiban pemerintah maupun masyarakat, didalam Pasal 8 disebutkan bahwa :<br />(1). “Kepada mereka yang mengalami kerugian harta benda yang diakibatkan oleh upaya penanggulangan wabah sebagaimana dimaksud dalam Pasal 5 ayat (1) dapat diberikan ganti rugi.<br />(2) “Pelaksanaan pemberian ganti rugi sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) diatur dengan Peraturan Pemerintah”<br />Pengertian harta benda dalam pasal ini antara lain: rumah, ternak, peternakan, tanaman, ladang, dan lain-lain. Ganti rugi diberikan oleh Pemerintah secara memadai, dengan mengutamakan golongan masyarakat yang kurang mampu dan diatur dengan peraturan pemerintah.<br />Sementara kepada para petugas tertentu yang melaksanakan upaya penanggulangan wabah dapat diberikan penghargaan atas risiko yang ditanggung dalam melaksanakan tugasnya. Petugas tertentu yang dimaksud dalam pasal ini adalah setiap orang, baik yang berstatus sebagai pegawai negeri maupun bukan, yang ditunjuk oleh yang berwajib dan/atau yang berwenang untuk melaksanakan penanggulangan wabah. Sedangkan penghargaan yang diberikan dapat berupa materi dan/atau bentuk lain. Pelaksanaan pemberian penghargaan dimaksud diatur dengan Peraturan Pemerintah.<br />Dalam melaksanakan upaya penanggulangan wabah, menjadi kewajiban Pemerintah untuk bertanggung jawab sesuai amanat Pasal 10. Berhubung dengan pentingnya penanggulangan wabah ini, maka biaya yang diperlukan ditanggung oleh Pemerintah. Pada prinsipnya Pemerintah Pusat yang berkewajiban membiayai, terutama terhadap wabah-wabah yang luas, dengan tidak mengurangi kewajiban Pemerintah Daerah, swasta atau masyarakat, dan hal ini diatur dalam Peraturan Pemerintah sebagaimana dimaksud dalam Pasal 5 ayat (3).<br /><br />Pasal 13<br />Barang siapa mengelola bahan-bahan yang mengandung penyebab penyakit dan dapat menimbulkan wabah, wajib mematuhi ketentuan-ketentuan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 7.<br /><br />Sanksi Pidana<br />Undang-Undang No. 4 Tahun 1984 juga mengatur tentang ketentuan pidana. Disebutkan dalam Pasal 14 bahwa :<br />(1) Barang siapa dengan sengaja menghalangi pelaksanaan penanggulangan wabah sebagaimana diatur dalam Undang-Undang ini, diancam dengan pidana penjara selama-lamanya 1 (satu) tahun dan/atau denda setinggi-tingginya Rp 1.000.000,- (satu juta rupiah).<br />(2) Barang siapa karena kealpaannya mengakibatkan terhalangnya pelaksanaan penanggulangan wabah sebagaimana diatur dalam Undang-Undang ini, diancam dengan pidana kurungan selama-lamanya 6 (enam) bulan dan/atau denda setinggi-tingginya Rp 500.000,- (lima ratus ribu rupiah).<br />(3) Tindak pidana sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) adalah kejahatan dan tindak pidana sebagaimana dimaksud dalam ayat (2) adalah pelanggaran.<br /><br />Pasal 15<br />(1) Barang siapa dengan sengaja mengelola secara tidak benar bahan-bahan sebagaimana diatur dalam Undang-Undang ini sehingga dapat menimbulkan wabah, diancam dengan pidana penjara selama-lamanya 10 (sepuluh) tahun dan/atau denda setinggi-tingginya Rp 100.000.000,- (seratus juta rupiah).<br />(2) Barang siapa karena kealpaannya mengelola secara tidak benar bahan-bahan sebagaimana diatur dalam Undang-Undang ini sehingga dapat menimbulkan wabah, diancam dengan pidana kurungan selama-lamanya 1 (satu) tahun dan/atau denda setinggi-tingginya Rp 10.000.000,- (sepuluh juta rupiah).<br />(3) Apabila tindak pidana sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) dilakukan oleh suatu badan hukum, diancam dengan pidana tambahan berupa pencabutan izin usaha.<br />(4) Tindak pidana sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) adalah kejahatan dan tindak pidana sebagaimana dimaksud dalam ayat (2) adalah pelanggaran.<br />Wabah (termasuk dalam hal ini flu burung) yang menimbulkan malapetaka yang menimpa umat manusia dari dulu sampai sekarang maupun masa mendatang tetap merupakan ancaman terhadap kelangsungan hidup dan kehidupan.Selain wabah membahayakan kesehatan masyarakat, karena dapat mengakibatkan sakit, cacad dan kematian, juga akan mengakibatkan hambatan dalam pelaksanaan pembanguunan nasional. Kesehatan merupakan komponen dari kesejahteraan, karena manusia yang sehat mampu melaksanakan pembangunan. Jadi Undang-Undang ini sekaligus menyangkut upaya menggali atau meningkatkan sumber daya manusia dalam pembangunan dan meningkatkan ketahanan nasional.jelaslah bahwa maksud dan tujuan Undang-Undang ini adalah untuk melindungi penduduk dari malapetaka yang ditimbulkan wabah sedini mungkin, dalam rangka meningkatkan kemampuan masyarakat untuk hidup sehat.<br /><br /><strong>Undang-Undang Tentang Peternakan dan Kesehatan Hewan</strong><br />Selain undang-undang diatas, Indonesia juga telah memiliki Undang-Undang No. 6 Tahun 1967 tentang Ketentuan-ketentuan Pokok Peternakan dan Kesehatan Hewan. Pengertian hewan disini adalah semua binatang, yang hidup di darat, baik yang dipelihara maupun yang hidup secara liar; sedangkan pengertian penyakit hewan menular: ialah penyakit hewan, yang membahayakan oleh karena secara cepat dapat menjalar dari hewan pada hewan atau pada manusia dan disebabkan oleh virus, bakteri, cacing, protozoa dan parasit; Jika demikian maka flu burung juga termasuk dalam pengertian tersebut. Sehingga pemberlakuan UU No. 4 Tahun 1984 haruslah terintegrasi bersama-sama dengan UU No. 6 Tahun 1967 tentang Ketentuan-ketentuan Pokok Peternakan dan Kesehatan Hewan. Keterpaduan ini penting sebab Negara Republik Indonesia yang agraris tidak lepas dari soal peternakan dan oleh karena itu Pemerintah wajib memajukannya, setidak-tidaknya mencegah penyakit-penyakit hewani, baik yang menular maupun yang tidak menular, sebab tanpa usaha itu rakyat akan kehilangan sumber protein-hewani yang diperlukan, padahal sumber yang dimaksud berada di tangan rakyat sendiri. Memperkembangkan ternak secara sehat dan wajar merupakan salah satu syarat untuk menjaga dan mempertahankan dasar agraris negara kita, sebab ternak dan alam selain ada hubungan timbal-balik, terdapat pula adanya keseimbangan yang perlu diperhatikan dan dipelihara. Dalam kesehatan hewani itulah perlu adanya keseimbangan antara alam dan ternak, yang membuka perspektif lain, yaitu produksi obat-obatan untuk ternak, perkembangan teknologi baru disamping hygiene, yang kesemuanya itu akan membawa masyarakat Indonesia pada taraf hidup yang lebih tinggi. Bila sementara ini banyak obat-obatan yang masih diimpor, maka dikandung maksud untuk mengadakan penyelidikan sedemikian rupa, sehingga obat-obatan itu akhirnya dapat kita buat sendiri, termasuk didalamnya vaksin flu burung sesuai amanat Pasal 23 yaitu:<br />(1) Pemerintah menyediakan obat-obatan dalam jumlah yang cukup serta mengatur dan mengawasi perbuatan, persediaan, peredaran serta pemakaiannya.<br />(2) Mengadakan penyelidikan-penyelidikan ilmiah bahan-bahan obat-obatan hewani.<br />Kini Departemen Kesehatan (Depkes) bekerja sama dengan Baxter Healthcare, perusahaan farmasi yang berbasis di Swiss, untuk pengembangan vaksin virus H5N1. Nota kesepahamannya ditandatangani Kepala Badan Litbang Kesehatan Depkes, Triono Soendoro, dan Presiden Bidang Pengembangan Vaksin Baxter, Kim C. Bush, Selasa lalu.Vaksin baru ini akan digunakan untuk menumpas virus flu burung strain (varian) Indonesia. Dalam kerja sama ini, Depkes akan menyediakan spesimen klinis virus H5N1. Sementara Baxter akan melakukan alih teknologi yang meliputi formulasi, pengisian, dan penyelesaian vaksin flu burung yang disebut A/Indonesia/5/2005. Depkes akan memiliki hak memproduksi dan memasarkan vaksin A/Indonesia/5/2005 itu di seluruh Indonesia (Kesehatan, Gatra Nomor 14 Kamis, 15 Februari 2007).<br />Disamping upaya memproduksi vaksin yang terpenting juga adalah upaya-upaya yang harus dilakukan seperti usaha penolakan dan pencegahan penyakit. Hal ini dapat dilakukan melalui beberapa 4 fase sebagaimana diatur dalam Pasal 20 UU. No. 6 Tahun 1967 yaitu:<br />(1) Penolakan penyakit hewan meliputi kegiatan-kegiatan penolakan masuknya suatu penyakit hewan ke dalam wilayah Republik Indonesia.<br />Tindakan itu meliputi:<br />a. pelarangan pemasukan jenis ternak yang tertentu dari daerah tertentu yang tekenal sebagai sumber sesuatu penyakit; misalnya pelarangan pemasukan sapi dari Australia berhubung dengan penyakit pleuropneumonia contagiosabovum.<br />b. pelarangan pemasukan bahan-bahan makanan berasal dari ternak yang dapat dianggap sebagai bahan penyebar penularan. Begitu juga alat-alat yang dapat dipakai pemiaraan hewan seperti pakaian, tali dan lain-lainnya, makanan ternak seperti rumput (kering) makanan penguat dan lain-lainnya atau bagian-bagian hewan seperti kulit, tulang, bulu dan lain-lainnya.<br />c. pemeriksaan kapal-kapal yang akan berlabuh dapat digolongkan usaha ini. Usaha-usaha ini diatur dalam pasal 20 ayat (1).<br />(2) Pencegahan penyakit hewan meliputi:<br />a. karantina;<br />b. pengawasan lalu-lintas hewan;<br />c. pengawasan atas impor dan ekspor hewan;<br />d. pengebalan hewan;<br />e. pemeriksaan dan pengujian penyakit;<br />f. tindakan hygiene.<br />(3) Pemberantasan penyakit hewan meliputi usaha-usaha:<br />a. penutupan suatu daerah tertentu untuk keluar dan masuknya hewan;<br />b. pembatasan bergerak dari hewan di daerah itu;<br />c. pengasingan hewan sakit atau yang tersangka sakit;<br />d. pembinasaan hewan hidup atau mati, yang ternyata dihinggapi penyakit menular.<br />(4) Pengobatan penyakit hewan meliputi usaha-usaha:<br />a. pengawasan dan pemeriksaan hewan;<br />b. penyediaan obat-obatan dan immum-sera oleh Pemerintah atau swasta, baik dari dalam maupun luar negeri;<br />c. urusan-urusan pemakaian obat-obatan dan immum-sera.<br /><br /><strong>Kewenangan Pemerintah Daerah</strong><br />Keempat phase ini merupakan suatu kesatuan-program penolakan, pencegahan dan pemberantasan penyakit hewan. Di dalam pelaksanaan usaha-usaha di atas, ada beberapa usaha yang harus tinggal di tangan Pemerintah Pusat, antara lain penolakan penyakit dan Karantina. Dilakukan dengan dukungan kerja sama dengan Pemerintah Daerah<br />Menyangkut dengan kesehatan masyarakat veteriner, diatur didalam Pasal 21 yaitu: Untuk kepentingan pemeliharaan kesehatan manusia dan ke ketentraman bathin masyarakat, sebagaimana termaksud pada pasal 19 ayat (2), maka dengan Peraturan Pemerintah ditetapkan ketentuan-ketentuan tentang:<br />a. pengawasan pemotongan hewan;<br />b. pengawasan perusahaan susu, perusahaan unggas, perusahaan babi;<br />c. pengawasan dan pengujian daging, susu dan telur;<br />d. pengawasan pengolahan bahan makanan yang berasal dari hewan;<br />e. pengawasan dan pengujian bahan makanan yang berasal dari hewan yang diolah;<br />f. pengawasan terhadap "Bahan-bahan Hayati" yang ada sangkut-pautnya dengan hewan, bahan-bahan pengawetan makanan dan lain-lain.<br />Beberapa peraturan pelaksanaan yang berkaitan dengan hal tersebut teristimewa hewan unggas juga telah ada seperti:<br />Keputusan Menteri Pertanian No. 557/kpts/TN.520/9/1987 tentang Syarat-Syarat Rumah Pemotongan Unggas dan Usaha Pemotongan Unggas<br />Keputusan Menteri Pertanian No. 306/kpts/TN.330/4/1994 tentang Pemotongan Unggas dan Penanganan Daging serta Hasil Ikutannya.<br /><br />Kewajiban Pemerintah daerah antara lain diatur dalam Pasal 11, 12 dan 13 yaitu:<br />(1) Barang siapa yang mempunyai tanggung jawab dalam lingkungan tertentu yang mengetahui adanya penderita atau tersangka penderita penyakit sebagaimana dimaksud dalam Pasal 3, wajib melaporkan kepada Kepala Desa atau Lurah dan/atau Kepala Unit Kesehatan terdekat dalam waktu secepatnya.<br />(2) Kepala Unit Kesehatan dan/atau Kepala Desa atau Lurah setempat sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) masing-masing segera melaporkan kepada atasan langsung dan instansi lain yang bersangkutan.<br />Pengertian barang siapa dalam ayat ini bukan berarti setiap orang, karena dalam pengertian ini dikaitkan dengan lingkungan yang menjadi tanggung jawabnya, sehingga mempunyai pengertian yang terbatas, yaitu kepala keluarga, ketua rukun tetangga, kepala sekolah, kepala asrama, kepala (direktur) perusahaan, kepala stasiun kereta api, kepala terminal angkutan kendaraan bermotor, nakoda kendaraan air dan udara, dan sebagainya atau wakilnya. Dan Kepala Wilayah/Daerah, yaitu Gubernur/Kepala Daerah Tingkat I, Bupati/Walikotamadya/ Kepala Daerah Tingkat II, Camat sebagai penanggung jawab wilayah. Dengan bantuan perangkat pelayanan kesehatan yang ada di wilayahnya, wajib segera melaksanakan tindakan penanggulangan seperlunya antara lain meliputi :<br />a. isolasi, pemeriksaan dan pengobatan terhadap penderita;<br />b. pembentukan tim gerak cepat dan penggerakannya;<br />c. penghapushamaan lingkungan, misalnya kaporisasi sumur;<br />d. vaksinasi dan kalau perlu evakuasi masyarakat;<br />e. penutupan daerah/lokasi yang tersangka terjangkit wabah;<br />f. dan lain-lain tindakan yang diperlukan.<br />Kepala Wilayah (Camat) memberikan tugas dan tanggung jawab kepada Kepala Desa atau Lurah untuk melaksanakan tindakan penanggulangan seperlunya.<br />(3) Tata cara penyampaian laporan sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) dan ayat (2) serta tata cara penyampaian laporan adanya penyakit yang dapat menimbulkan wabah bagi nakoda kendaraan air dan udara, diatur dengan peraturan perundang-undangan.<br /><br />Pasal 12.<br />(1) Kepala Wilayah/Daerah setempat yang mengetahui adanya tersangka wabah di wilayahnya atau adanya tersangka penderita penyakit menular yang dapat menimbulkan wabah, wajib segera melakukan tindakan-tindakan penanggulangan seperlunya.<br />(2) Tata cara penanggulangan sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) diatur dengan peraturan perundang-undangan.<br /><br />Di dalam usaha kita mengambil manfaat dari ternak ini hendaknya kita jangan lupa kepada kesejahteraan dari ternak itu sendiri.Tempat dan perkandangan, Pengawasan dan Pemotongan Ternak, dan lain-lain. Peraturan-peraturan mengenai soal ini dikeluarkan oleh Pemerintah Daerah. Diusahakan, agar dalam soal ini, jangan sampai tersinggung perasaan dan ketenteraman masyarakat. Sungguhpun begitu syarat-syarat harus sesuai dengan daya kemampuan rakyat, dan dijaga agar peraturan-peraturan itu jangan sampai menjadi penghalang produksi atau peningkatan reduksi.<br />Sebagai masukan tidak ada salahnya juga kalau kita dapat mengadopsi beberapa Peraturan Daerah DKI Jakarta sepanjang sesuai dengan kondisi permasalahan di daerah seperti:<br />Perda DKI Jakarta No. 8 Tahun 1989 tentang Pengawasan Pemotongan Ternak, Perdagangan Ternak dan Daging di Wilayah DKI Jakarta.<br />Perda DKI Jakarta No. 5 Tahun 1992 tentang Penampungan dan Pemotongan Unggas serta Peredaran Daging Unggas di Wilayah DKI Jakarta.<br />Dan Keputusan Gubernur DKI Jakarta No. 459/1996 tentang Petunjuk Pelaksanaan Penampungan dan Pemotongan Unggas serta Peredaran Daging Unggas di Wilayah DKI Jakarta.<br />Antisipasi wabah flu burung di Provinsi Maluku adalah harga mati yang sudah tidak bisa ditawar lagi. Semua aturan telah ada, kerja sama semua pihak mutlak diperlukan. Kinerja DPRD dan Pemerintah Daerah tidak lagi harus sebatas dengar pendapat namun sudah harus action, jang sampe su kajadian lalu orang bilang sio ale dong su tarlambat. <br /><br /><br /> <br /><br /><br />.<br /><br /><br /><br /> </div>ARMAN ANWAR, S.H.http://www.blogger.com/profile/06787610195558856283noreply@blogger.com0tag:blogger.com,1999:blog-7604640233709023804.post-13039283730116882182008-08-20T22:54:00.001-07:002008-08-20T23:06:06.049-07:00ALIRAN SESAT DALAM PRESPEKTIF HUKUM POSITIF<div align="justify">1. PENDAHULUAN<br /><br />Maraknya aliran sesat yang menodai Islam maupun dalam agama lainnya yang bermunculan saat di Indonesia seperti Sekte Kiamat pondok Nabi dalam agama Kristen, atau dalam agama Islam seperti Ahmadiyah, Kerajaan Eden, Al-Quran Suci, Al Qiadah Al Islamiah dan lain-lain, telah menimbulkan reaksi dan tanggapan yang beragam dari berbagai kalangan di tanah air, ada yang gerah namun adapula yang simpati.<br />Berbagai pemberitaan dan stetmenpun banyak menghiasi media massa sebagai reaksi atas bermunculannya aliran–aliran sesat itu. Ada yang menanggapi sebagai imbas yang tak bisa dipisahkan dari kondisi ekonomi masyarakat yang terpuruk, ada juga yang mengkaitkannya dengan upaya pihak asing yang ingin menghancurkan Indonesia dengan cara memecah belah umat Islam dengan harapan terjadi instabilitas di Indonesia, ada juga pendapat sebagian orang bahwa hal itu termasuk bagian dari kebebasan beragama yang merupakan hak asasi setiap manusia, demikian juga ada yang menganggapnya sebagai hal yang biasa saja sehingga tidak perlu ditanggapi secara berlebihan karena mereka beranggapan bahwa yang hanya berhak untuk menilai sesat atau tidak, yang tahu hanya Tuhan.<br />Majelis Ulama Indonesia sejak tahun 1989 dengan tegas telah mengeluarkan fatwa tentang sembilan aliran yang dianggap sesat diantaranya adalah Islam Jamaah, Ahmadiyah, Ikrar Sunah, Quran Suci, Sholat Dua Bahasa, Kerajaan Eden, LDII dan Al Qiadah Al Islamiah. Terhadap aliran yang difatwakan sesat ini, MUI telah meminta kepada pemerintah agar segera mengambil tindakan hukum terhadap para pelakunya, namun disayangkan pula bahwa sebagian ulama yang tergolong keras bersama masyarakat juga langsung mengambil tindakan main hakim sendiri dengan menghancurkan fasilitas yang biasa menjadi tempat aktivitas dari para pengikut aliran sesat tersebut, tidak sebatas itu mereka juga melakukan swuiping dan menangkap orang-orang yang dianggap telah menjadi pengikut aliran sesat sehingga para pengikut aliran sesat, terpaksa mencari perlindungan kepada pihak aparat kepolisian. Fenomena sosial seperti ini selalu saja terjadi hampir setiap saat ketika munculnya aliran sesat di masyarakat.<br />Pemerintah sendiri pada beberapa kasus tertentu telah mengambil tindakan hukum dengan memenjarakan pimpinan aliran sesat seperti Lia Aminudin dan Pendeta Mangapin Sibuea. Namun seakan tak jera-jeranya mereka tetap saja pada keyakinannya dan bahkan aliran-aliran sesat semakin banyak saja bermunculan. Buktinya belum selesai kasus Al Qiadah Al Islamiah, sekarang sudah muncul lagi Al Haq<br />Terlepas dari pro dan kontra tentang keberadaan aliran seperti ini, yang jelas aliran-aliran sesat tersebut terlihat semakin eksis dan mendapatkan pengikut yang semakin banyak saja, Kepala Badan Intelijen Negara (BIN), Syamsir Siregar,<a title="" style="mso-footnote-id: ftn1" href="http://www.blogger.com/post-create.g?blogID=7604640233709023804#_ftn1" name="_ftnref1">[1]</a> mengungkapkan saat ini saja untuk faham Al-Qiyadah Al-Islamiyah tercatat ada sekitar 8.000 penganut di Indonesia.<br />Reaksi keras sebagian ulama dan masyarakat seakan bukanlah hambatan bagi mereka untuk terus maju bahkan tindakan hukum yang diambil pemerintahpun dianggap tidak terlalu menjadi sesuatu hal yang perlu mereka takuti. Hal ini bisa terlihat dari sikap para pengikut kerajan Eden yang tidak bergeming sedikitpun untuk meninggalkan keyakinannya dan tetap memilih menjadi pengikut setia Kerajaan Eden meskipun pimpinan meraka (Lia Aminudin) dinyatakan bersalah dan telah dipenjara. Lia Aminudin sendiri setelah selesai menjalani masa hukumannyapun tetap beraktivitas kembali seperti biasa memimpin Tahta Suci Kerajaan Eden sebagai Jibril Ruhul Kudus seakan merasa tidak pernah terjadi apa-apa.<br />Belum lagi yang terjadi pada pengikut aliran sesat lainnya yang terlihat masih tetap eksis dalam berbagai modus tersembunyi berkedok ruatan maupun yang secara terang-terangan dipraktekan melalui pesugihan dan berbagai klinik mistik lainnya<br />Seperti apakah profil hukum positif kita sehingga terkesan sulit untuk memberantas aliran sesat dan sejauhmanakah efektifitasnya sehingga dapat menimbulkan efek jera bagi pelanggarnya. Hal ini menjadi pertanyaan menarik yang perlu kita jawab lewat tulisan ini.<br /><br />2. FENOMENA ALIRAN SESAT <br />Timbulnya berbagai aliran sesat dalam Islam telah menjadi catatan sejarah sejak Nabi Muhammad wafat. Sebelum wafatnya, beliau telah mengingatkan kepada kita tentang akan adanya 73 golongan dalam Islam dimana masing-masing golongan mengklaim paling benar. namun cuma ada satu golongan yang selamat, menurut Nabi.<br />Nampaknya kekhawatiran Nabi ini telah menjadi kenyataan. Berikut ini adalah penelusuran yang kami kutip dari hasil investigasi Hartono Ahmad Jais (Sabili)<a title="" style="mso-footnote-id: ftn2" href="http://www.blogger.com/post-create.g?blogID=7604640233709023804#_ftn2" name="_ftnref2">[2]</a> bahwa diketahui ternyata aliran sesat tampak makin marak, bahkan mengalami euforia (mabuk kebebasan) sejak masa Presiden Abdurrahman Wahid atau Gus Dur yang menduduki jabatan sejak Oktober 1999 sampai 23 Juli 2001. Dimasa itu dari pihak sesat pun berkelit bahwa yang berhak menentukan sesat itu hanyalah Tuhan. Si sesat masih berteriak pula bahwa yang mengorek kesesatan itulah pemecah belah.<br />Di antara contoh tersebut menurutnya adalah kelompok yang tidak langsung dikenali sebagai kelompok sesat, misalnya:<br />Komunitas Penimbrung Qur'an Sunnah<br />Golongan yang satu ini tidak mau disebut kelompok agama, tak mau pula disebut sekuler. Tapi mereka menolak semua yang datang dari al-Qur'an dan as-Sunnah. Kelompok ini muncul menjelang pertengahan abad 20 dengan membatasi bahwa al-Qur'an dan as-Sunnah tidak bisa diberlakukan di wilayah mereka, karena beralasan bahwa di tempat mereka bukanlah wilayah al-Qur'an dan as-Sunnah. Mereka punya aturan-aturan tertentu yang kadang masuk ke wilayah yang diatur al-Qur'an dan as-Sunnah dengan "membantu" pelaksanaan praktisnya, dalam hal yang menguntungkan mereka. Misalnya tentang pelaksanaan ibadah haji. Di sisi itulah al-Qur'an dan as-Sunnah mereka terima, bahkan hampir mereka monopoli.<br />Lain lagi dengan kelompok yang secara nama adalah Islamis, namun justru sesat menyesatkan. Misalnya:<br />NII KW IX<br />NII (Negara Islam Indonesia) asalnya DI (Darul Islam, diproklamasikan Sekarmadji Maridjan Kartosoewirjo, 7 Agustus 1949 di Cisayong Tasikmalaya Jawa Barat). Kemudian nama NII itu berupa penjelasan singkat tentang proklamasi. Pada tahun 1980-an ketika diadakan musyawarah tiga wilayah besar (Jawa Barat, Sulawesi, dan Aceh) di Tangerang Jawa Barat, diputuskan bahwa Adah Djaelani Tirtapradja diangkat menjadi Imam NII. Lalu ada pemekaran wilayah NII yang tadinya 7 menjadi 9, penambahannya itu KW VIII (Komandemen Wilayah VIII) Priangan Barat (mencakup Bogor, Sukabumi, Cianjur), dan KW IX Jakarta Raya (Jakarta, Tangerang, Bekasi).<br />Pada dekade 1990-an KW IX dijadikan sebagai Ummul Quro (ibukota negara) bagi NII, menggantikan Tasikmalaya, atas keputusan Adah Djaelani. Karena pentingnya menguasai ibukota sebagai pusat pemerintahan, maka dibukalah program negara secara lebih luas, dan puncaknya ketika pemerintahan dipegang Abu Toto Syekh Panjigumilang (yang juga Syekh Ma'had Al-Zaitun, Desa Gantar, Indramayu, Jawa Barat) menggantikan Adah Djaelani sejak tahun 1992.<br />Penyelewengannya terjadi ketika pucuk pimpinan NII dipegang Abu Toto. Ia mengubah beberapa ketetapan-ketetapan Komandemen yang termuat dalam kitab PDB (Pedoman Dharma Bakti) seperti menggantikan makna fai' dan ghanimah yang tadinya bermakna harta rampasan dari musuh ketika terjadi peperangan (fisik), tetapi oleh Abu Toto diartikan sama saja, baik perang fisik maupun tidak. Artinya, harta orang selain NII boleh dirampas dan dianggap halal. Pemahaman ini tidak dicetuskan dalam bentuk ketetapan syura (musyawarah KW IX) dan juga tidak secara tertulis, namun didoktrinkan kepada jamaahnya. Sehingga jamaahnya banyak yang mencuri, merampok, dan menipu, namun menganggapnya sebagai ibadah, karena sudah diinstruksikan oleh 'negara'.<br />Dalam hal shalat, dalam Kitab Undang-undang Dasar NII diwajibkan shalat fardhu 5 waktu, namun perkembangannya, dengan pemahaman teori kondisi perang, maka shalat bisa dirapel. Artinya, dari mulai shalat zuhur sampai dengan shalat subuh dilakukan dalam satu waktu, masing-masing hanya satu rakaat. Ini doktrin Abu Toto dari tahun 2000-an. Mengenai puasa, mereka mengamalkan hadits tentang mengakhirkan sahur dan menyegerakan berbuka dengan cara, sudah terbit matahari pun masih boleh sahur, sedang jam 5 sore sudah boleh berbuka. Alasannya dalil hadits tersebut.<br />Gerakan ini mencari mangsa dengan jalan setiap jamaah diwajibkan mencari satu orang tiap harinya untuk dibawa tilawah. Lalu diarahkan agar hijrah dan berbaiat sebagai anggota NII. Karena dengan baiat maka seseorang terhapus dari dosa masa lalu, tersucikan diri, dan menjadi ahli surga. Untuk itu peserta ini harus mengeluarkan shadaqah hijrah yang besarnya tergantung dosa yang dilakukan. Anggota NII di Jakarta saja, saat ini diperkirakan 120.000 orang yang aktif.<br /><br />LDII (Lembaga Dakwah Islam Indonesia)<br />Pendiri dan pemimpin tertinggi pertama gerakan ini adalah Madigol Nurhasan Ubaidah Lubis bin Abdul bin Thahir bin Irsyad. Lahir pada tahun 1915 di Desa Bangi, Kec. Purwoasri, Kediri, Jawa Timur. Paham yang dianut oleh LDII tidak berbeda dengan aliran Islam Jama'ah/Darul Hadits yang telah dilarang oleh Jaksa Agung Republik Indonesia pada tahun 1971. Keberadaan LDII mempunyai akar kesejarahan dengan Darul Hadits/Islam, Jama'ah yang didirikan pada tahun 1951 oleh Nurhasan Al Ubaidah Lubis (Madigol). Setelah aliran tersebut dilarang tahun 1971, kemudian berganti nama dengan Lembaga Karyawan Islam (LEMKARI) pada tahun 1972 (tanggal 13 Januari 1972. Pengikut gerakan ini pada pemilu 1971 berafiliasi dan mendukung GOLKAR).Aliran sesat yang telah dilarang Jaksa Agung 1971 ini kemudian dibina oleh mendiang Soedjono Hoermardani dan Jenderal Ali Moertopo. LEMKARI dibekukan di seluruh Jawa Timur oleh pihak penguasa di Jawa Timur atas desakan keras MUI (Majelis Ulama Indonesia) Jatim di bawah pimpinan KH. Misbach. LEMKARI diganti nama oleh Jenderal Rudini (Mendagri), 1990/1991, menjadi LDII (Lembaga Dakwah Islamiyah Indonesia). Penyelewengan utamanya, menganggap al-Qur'an dan as-Sunnah baru sah diamalkan kalau manqul (yang keluar dari mulut imam atau amirnya). Gerakan ini membuat syarat baru tentang sahnya keislaman seseorang. Orang yang tidak masuk golongan mereka dianggap kafir dan najis.<br />Modus operandi gerakan ini mengajak siapa saja ikut ke pengajian mereka secara rutin. Peserta akan diberikan ajaran tentang shalat dan sebagainya berdasarkan hadits, lalu disuntikkan doktrin-doktrin bahwa hanya Islam model manqul itulah yang sah, benar. Pelanggaran-pelanggaran yang dilakukan, boleh ditebus dengan uang oleh anggota ini.<br />Inkar Sunnah<br />Orang yang tidak mempercayai hadits Nabi saw sebagai landasan Islam, maka dia sesat. Itulah kelompok Inkar Sunnah.<br />Ada tiga jenis kelompok Inkar Sunnah. Pertama kelompok yang menolak hadits-hadits Rasulullah saw secara keseluruhan. Kedua, kelompok yang menolak hadits-hadits yang tak disebutkan dalam al-Qur'an secara tersurat ataupun tersirat. Ketiga, kelompok yang hanya menerima hadits-hadits mutawatir (diriwayatkan oleh banyak orang setiap jenjang atau periodenya, tak mungkin mereka berdusta) dan menolak hadits-hadits ahad (tidak mencapai derajat mutawatir) walaupun shahih. Mereka beralasan dengan ayat, ".sesungguhnya persangkaan itu tidak berguna sedikitpun terhadap kebenaran" (Qs An-Najm: 28). Mereka berhujjah dengan ayat itu, tentu saja menurut penafsiran model mereka sendiri.<br />Inkar Sunnah di Indonesia muncul tahun 1980-an ditokohi Irham Sutarto. Kelompok Inkar Sunnah di Indonesia ini difatwakan oleh MUI (Majelis Ulama Indonesia) sebagai aliran yang sesat lagi menyesatkan, kemudian dilarang secara resmi dengan Surat Keputusan Jaksa Agung No. Kep-169/ J.A./ 1983 tertanggal 30 September 1983 yang berisi larangan terhadap aliran inkarsunnah di seluruh wilayah Republik Indonesia.<br /><br /><br /><br /><br />Ahmadiyah<br />Orang yang mengakui adanya nabi lagi sesudah Nabi Muhammad saw maka mereka sesat. Itulah kelompok Ahmadiyah yang mempercayai Mirza Ghulam Ahmad dari India sebagai nabi setelah Nabi Muhammad saw.<br />Gerakan Ahmadiyah didirikan oleh Mirza Ghulam Ahmad di India. Mirza lahir 15 Februari 1835 M. dan meninggal 26 Mei 1906 M di India.<br />Ahmadiyah masuk ke Indonesia tahun 1935, tapi mereka mengklaim diri telah masuk ke negeri ini sejak tahun 1925. Tahun 2000, mendiang khalifah Ahmadiyah dari London, Tahir Ahmad, bertemu dengan Presiden Abdurahman Wahid. Kini Ahmadiyah mempunyai sekitar 200 cabang, terutama Jakarta, Jawa Barat, Jawa Tengah, Sumatera Barat, Palembang, Bengkulu, Bali, NTB dan lain-lain. Basis-basis Ahmadiyah di Kuningan, Jawa Barat dan Lombok telah dihancurkan massa (2002/2003) karena mereka sesumbar dan mengembangkan kesesatannya.<br />Tipuan Ahmadiyah Qadyan, mereka mengaku bahwa Mirza Ghulam Ahmad itu nabi namun tidak membawa syariat baru. Tipuan mereka itu dusta, karena mereka sendiri mengharamkan wanitanya nikah dengan selain orang Ahmadiyah. Sedangkan Nabi Muhammad saw tidak pernah mensyariatkan seperti itu, jadi itu syari'at baru mereka. Sedangkan Ahmadiyah Lahore yang di Indonesia berpusat di Jogjakarta mengatakan, Mirza Ghulam Ahmad itu bukan nabi tetapi Mujaddid. Tipuan mereka ini dusta pula, karena mereka telah mengangkat pembohong besar yang mengaku mendapatkan wahyu dari Allah, dianggap sebagai mujaddid.<br /><br />Salamullah<br />Agama Salamullah adalah agama baru yang menghimpun semua agama, didirikan oleh Lia Aminuddin, di Jakarta. Dia mengaku sebagai Imam Mahdi yang mempercayai reinkarnasi. Lia mengaku sebagai jelmaan roh Maryam, sedang anaknya, Ahmad Mukti yang kini hilang, mengaku sebagai jelmaan roh Nabi Isa as. Dan imam besar agama Salamullah ini Abdul Rahman, seorang mahasiswa alumni UIN Jakarta, yang dipercaya sebagai jelmaan roh Nabi Muhammad saw.<br />Ajaran Lia Aminuddin yang profesi awalnya perangkai bunga kering ini difatwakan MUI pada 22 Desember 1997 sebagai ajaran yang sesat dan menyesatkan. Pada tahun 2003, Lia Aminuddin mengaku mendapat wahyu berupa pernikahannya dengan pendampingnya yang dia sebut Jibril. Karena itu, Lia Aminuddin diubah namanya menjadi Lia Eden sebagai lambang surga, menurut kitabnya yang berjudul Ruhul Kudus. Pengikutnya makin menyusut, kini tinggal 70-an orang, maka ada "wahyu-wahyu" yang menghibur atas larinya orang dari Lia.<br /><br />Isa Bugis<br />Orang yang memaknakan al-Qur'an semaunya, tidak sesuai dengan petunjuk Rasulullah saw, maka mereka sesat. Itulah kelompok Isa Bugis. Contohnya, mereka memaknakan al-fiil yang artinya gajah menjadi meriam atau tank baja. Alasannya di Yaman saat zaman Nabi tidak ada rumput maka tak mungkin ada gajah. Kelompok ini tidak percaya mukjizat, dan menganggap mukjizat tak ubahnya seperti dongeng lampu Aladin. Nabi Ibrahim menyembelih Ismail itu dianggapnya dongeng belaka. Kelompok ini mengatakan, tafsir al-Qur'an yang ada sekarang harus dimuseumkan, karena salah semua. Al-Qur'an bukan Bahasa Arab, maka untuk memahami al-Qur'an tak perlu belajar Bahasa Arab. Lembaga Pembaru Isa Bugis adalah Nur, sedang yang lain adalah zhulumat, maka sesat dan kafir. Itulah ajaran sesat Isa Bugis<br />Tahun 1980-an mereka bersarang di salah satu perguruan tinggi di Rawamangun, Jakarta. Sampai kini masih ada bekas-bekasnya, dan penulis pernah berbantah dengan kelompok ini pada tahun 2002. Tampaknya, mereka masih dalam pendiriannya, walau tak mengaku berpaham Isa Bugis.<br /><br />Baha'i<br />Kelompok ini adalah kelompok yang menggabung-gabungkan Islam dengan Yahudi, Nasrani dan lainnya. Itulah kelompok Baha'i. Menghilangkan setiap ikatan agama Islam, menganggap syariat Islam telah kadaluarsa. Persamaan antara manusia meskipun berlainan jenis, warna kulit dan agama. Inilah inti ajaran Baha'i. Menolak ketentuan-ketentuan Islam. Menolak Poligami kecuali dengan alasan dan tidak boleh dari dua istri. Mereka melarang talaq dan menghapus 'iddah (masa tunggu). Janda boleh langsung kawin lagi, tanpa 'iddah. Ka'bah bukanlah kiblat yang mereka akui. Kiblat mereka adalah dimana Tuhan menyatu dalam diri Bahaullah (pemimpin mereka).<br /><br />Pluralisme Agama, JIL (Jaringan Islam Liberal).<br />Orang yang menyamakan semua Agama, hingga Islam disamakan dengan Yahudi, Nasrani, dan agama-agama kemusyrikan, mereka juga sesat dan menyesatkan. Itulah kelompok yang berpaham pluralisme agama, yang sejak Maret 2001 menamakan diri sebagai JIL (Jaringan Islam Liberal) yang dikoordinir oleh Ulil Abshar Abdalla. Ulil tidak mengakui adanya hukum Tuhan, hingga syariat mu'amalah (pergaulan antar manusia). Perintah syari'at jilbab, qishash, hudud, potong tangan bagi pencuri dan sebagainya itu tidak perlu diikuti. Bahkan larangan nikah antara Muslim dengan non Muslim dianggap tidak berlaku lagi, karena ayat larangannya dianggap tidak jelas. Vodca (minuman keras beralkohol lebih dari 16%) pun menurut Ulil bisa jadi di Rusia halal, karena udaranya dingin sekali.<br />Pemahaman "kembali kepada al-Qur'an dan as-Sunnah/al-Hadits" seperti yang dipahami umat Islam sekarang ini menurut Ulil, salah, karena menjadikan penyembahan terhadap teks. Maka harus dipahami bahwa al-Qur'an yang sekarang baru separuhnya, sedang separuhnya lagi adalah pengalaman manusia<br /><br />Lembaga Kerasulan<br />Kelompok ini mengibaratkan Rasul bagai menteri, sedang kerasulan adalah sebuah departemen. Lalu Rasul boleh wafat sebagaimana menteri boleh mati, namun kerasulan atau departemen tetap ada. Diangkatlah rasul baru sebagaimana diangkat pula menteri baru. Karena Nabi Muhammad saw adalah rasul terakhir. Yang berpaham Rasul tetap diangkat sampai hari kiyamat itulah kelompok Lembaga Kerasulan.<br /> Masih banyak sebenarnya lembaga dan gerakan aliran sesat yang berkembang di Indonesia. Ada yang bergerak secara kelompok, tapi ada pula yang bersifat pemikiran individu, seperti Harun Nasution dan Ahmad Wahib. Kedua tokoh ini nyaris sama. Harun Nasution mengatakan bahwa semua agama pada dasarnya adalah sama. Sedangkan Ahmad Wahib yang pernah menerbitkan buku Pergolakan Pemikiran Islam pernah membuat statemen yang mengagetkan dalam bukunya, "Seandainya Muhammad tidak ada, wahyu dari Allah (al-Qur'an) dengan tegas aku berkata bahwa Karl Marx dan Frederick Engels lebih hebat dari utusan Tuhan itu. Otak kedua orang itu yang luar biasa dan pengabdiannya yang luar biasa akan meyakinkan setiap orang bahwa kedua orang besar itu adalah penghuni surga tingkat pertama berkumpul dengan para Nabi dan Syuhada."<br />Begitu banyak tantangan untuk umat Islam. Ada tekanan yang datang dari luar, ada pula pengkhianatan dan kesesatan yang muncul dari dalam. Demikian hasil investigasi yang dilakukan oleh Hartono Ahmad Jais<br /><br />3. PENGERTIAN SESAT<br />Dalam bahasa Arab, sesat atau kesesatan itu adalah dhalal. Yaitu setiap yang menyimpang dari jalan yang dituju (yang benar) dan setiap yang berjalan bukan pada jalan yang benar, itulah kesesatan. Dalam al-Qur'an disebutkan, setiap yang di luar kebenaran itu adalah sesat. <a title="" style="mso-footnote-id: ftn3" href="http://www.blogger.com/post-create.g?blogID=7604640233709023804#_ftn3" name="_ftnref3">[3]</a> Kebenaran hanya datang dari Allah.<br />Kebenaran dari Allah itu adanya di al-Qur'an dan as-Sunnah, namun cara pemahamannya/penafsirannya model apa? Pertanyaan itu sudah ada jawabannya, dalam hadits tentang 73 golongan, riwayat At-Tirmidzi. "Siapakah dia (golongan yang satu-yang selamat dari neraka-itu) wahai Rasulullah?" Beliau menjawab, "(Mereka yang mengikuti apa) yang aku dan sahabatku berada di atasnya."<br />Syaikh Shalih bin Fauzan al-Fauzan, penulis Lamhah 'anil firaq adh-dhaallah, Membongkar Firqah-Firqah Sesat, berkomentar. Ketika Rasulullah ditanya tentang siapakah satu yang selamat itu, beliau menjawab, "Mereka adalah orang-orang yang menempuh jalan seperti yang aku dan sahabatku tempuh." Maka barangsiapa yang tetap di atas jalan yang ditempuh Rasul saw dan para sahabatnya, maka dia termasuk yang selamat dari neraka. Dan barangsiapa yang menyelisihi dari hal tersebut sesungguhnya dia diancam dengan neraka sesuai dengan kadar jauhnya. <a title="" style="mso-footnote-id: ftn4" href="http://www.blogger.com/post-create.g?blogID=7604640233709023804#_ftn4" name="_ftnref4">[4]</a><br /> Majelis Ulama Indonesia (MUI),<a title="" style="mso-footnote-id: ftn5" href="http://www.blogger.com/post-create.g?blogID=7604640233709023804#_ftn5" name="_ftnref5">[5]</a> akhirnya telah mengeluarkan pedoman identifikasi aliran sesat. Pedoman ini dikeluarkan terkait dengan bermunculannya berbagai aliran yang mengatasnamakan agama dengan pemahaman yang tidak sesuai dengan akidah dan syariat Islam.<br />Ada 10 kriteria untuk menentukan paham atau aliran dikatakan sesat, yaitu mengingkari salah satu rukun Iman dan Islam, mengikuti akidah yang tidak sesuai dengan dalil syar’i yaitu Al­quran dan Sunnah, meyakini turunnya wahyu setelah Al­quran, mengingkari otentitas dan kebenaran isi ajarannya, melakukan penafsiran Alquran dengan tidak berdasarkan kai­dah tafsir, mengingkari ke­dudukan hadis Nabi, menghina dan melecehkan atau merendahkan Nabi dan Rasul, mengingkari Nabi Muhammad sebagai Nabi dan Rasul terakhir. Mengubah, menambah, dan atau mengurangi pokok-pokok ibadah yang telah ditetapkan syariah seperti haji tidak ke Baitullah, salat fardlu tidak lima waktu, dan mengkafirkan se­sama muslim tanpa dalil syar’i seperti meng­kafiran muslim ha­nya karena bukan kelompoknya<br /> <br />4. HUKUM POSITIF INDONESIA TENTANG ALIRAN SESAT<br /> Hukum positif Indonesia adalah sistem atau tatanan hukum dan asas-asas berdasarkan keadilan yang mengatur kehidupan manusia di dalam masyarakat Indonesia pada waktu ini.<a title="" style="mso-footnote-id: ftn6" href="http://www.blogger.com/post-create.g?blogID=7604640233709023804#_ftn6" name="_ftnref6">[6]</a><br />Salah satu kewajiban negara dalam hukum positif adalah memberikan rasa aman dan nyaman bagi warga negaranya dan warga negara asing, termasuk dalam menjalankan kehidupan beragama dan kebebasan untuk memeluk suatu agama. Apabila ada gangguan terhadap hal tersebut, misalnya munculnya aliran sesat, maka negara harus segera mengambil tindakan, baik melalui sarana hukum maupun sarana non hukum, karena akibatnya dapat menimbulkan keresahan, perpecahan bahkan konflik sosial dimasyarakat secara terus menerus yang pada puncaknya dapat mengganggu ketahanan nasional bangsa.<br />Indonesia telah memiliki perangkat ketentuan hukum positif yang terkait dengan prosedur penegakkan hukum terhadap aliran yang dianggap sesat. Dasar hukumnya mengacu pada UU No1/PNPS/1965 tentang pencegahan, penyalahgunaan dan/atau penodaan agama dan berdasarkan KUHP.<br />Menurut Dwi Haryadi, SH, MH<a title="" style="mso-footnote-id: ftn7" href="http://www.blogger.com/post-create.g?blogID=7604640233709023804#_ftn7" name="_ftnref7">[7]</a> aliran sesat dikategorikan sebagai salah satu jenis tindak pidana dalam delik agama yang berupa penistaan atau penodaaan agama yang dianut di Indonesia. Istilah tindak pidana atau delik agama dapat diartikan dalam tiga pengertian, yaitu tindak pidana ‘menurut agama’, tindak pidana ‘terhadap agama’ dan tindak pidana ‘yang berhubungan dengan agama atau terhadap kehidupan beragama’. Dalam hukum Indonesia, khususnya pengaturan dalam KUHP, untuk pengertian delik agama yang pertama, telah banyak diatur dalam KUHP, karena perbuatan yang dilarang dalam KUHP sebagian besar juga dilarang menurut agama, seperti pembunuhan, penganiayaan, pencurian, penipuan, pemerkosaan dan lain-lain.<br />Sementara pengertian delik agama yang kedua, diatur dalam Pasal 156a, yaitu melakukan penodaan terhadap agama dan perbuatan agar orang tidak menganut agama. Adapun pengertian delik agama yang ketiga, tersebar dalam KUHP, yaitu Pasal 175-181 dan Pasal 503 ke-2, yang terdiri dari merintangi pertemuan/upacara agama dan upacara penguburan jenazah, menggangu pertemuan/upacara keagamaan dan upacara penguburan jenazah, menertawakan petugas agama dalam menjalankan tugasnya yang diizinkan, menghina benda-benda keperluan jenazah, merintangi pengangkutan mayat ke kuburan, menodai/merusak kuburan, menggali, mengambil, memindahkan jenazah, menyembunyikan/menghilangkan jenazah untuk menyembunyikan kematian/kelahiran dan membuat gaduh dekat bangunan untuk ibadah atau pada waktu ibadah dilakukan.<a title="" style="mso-footnote-id: ftn8" href="http://www.blogger.com/post-create.g?blogID=7604640233709023804#_ftn8" name="_ftnref8">[8]</a><br />Pengaturan delik agama dalam KUHP, pada awalnya hanyalah mencakup pengertian delik agama yang ketiga, yaitu tindak pidana ‘yang berhubungan dengan agama atau terhadap kehidupan beragama’. Namun setelah adanya penambahan Pasal 156a kedalam KUHP berdasarkan Pasal 4 UU No. 1 tahun 1965 (UU No. 1/PNPS/1965) tertanggal 27 Januari 1965, barulah pengertian delik agama yang kedua tercakup dalam KUHP. Selain Pasal 156a, sebenarnya Pasal 1 UU No. 1/1965 juga merupakan delik agama, hanya saja tidak diintegrasikan dalam KUHP.<a title="" style="mso-footnote-id: ftn9" href="http://www.blogger.com/post-create.g?blogID=7604640233709023804#_ftn9" name="_ftnref9">[9]</a><br />Adapun jenis perbuatan yang dilarang dalam Pasal 1 tersebut adalah melakukan penafsiran dan kegiatan-kegiatan keagamaan yang menyimpang dari pokok-pokok ajaran agama yang dianut di Indonesia. Namun ketentuan ini baru dapat dipidana, menurut Pasal 3 UU No. 1/1965 apabila telah mendapat perintah dan peringatan keras untuk menghentikan perbuatan itu, organisasi/aliran kepercayaan yang melakukan perbuatan itu telah dibubarkan/dinyatakan terlarang oleh Presiden Republik Indonesia, namun orang/organisasi itu masih terus melakukan perbuatan itu.<a title="" style="mso-footnote-id: ftn10" href="http://www.blogger.com/post-create.g?blogID=7604640233709023804#_ftn10" name="_ftnref10">[10]</a><br />Prosedurnya jika ada aliran yang diduga sesat harus dibahas di Badan Koordinasi Penganut Aliran Kepercayaan Masyarakat (Bakorpakem) yang ada di daerah. Mekanisme pelarangan aliran dan organisasi tertentu, didasarkan pada Keputusan Jaksa Agung (Kepja) No 108/JA/5/1984 tentang pembentukan tim koordinasi Pakem. ”Kalau Bakorpakem itu memutuskan suatu ajaran dilarang, maka baru diteruskan ke Jaksa Agung,” Kejaksaan Agung akan mengeluarkan keputusan setelah ada persetujuan dari presiden untuk melarang sebuah ajaran yang dianggap sesat. Hal ini sesuai dengan Peraturan Pemerintah (PP) Nomor 1 Tahun 1965. Setelah dikeluarkan keputusan pelarangan, baru masuk dalam pasal penodaan agama, yang diatur dalam KUHP Pasal 156a.<br />Berdasarkan pembahasan di atas, kasus aliran sesat yang kini marak terjadi dapat dikategorikan dalam pengertian delik agama yang kedua, yaitu tindak pidana ‘terhadap agama’, dijerat dengan Pasal 156a KUHP atau dengan Pasal 1 UU No. 1/1965. Namun dalam penerapannya tetap harus memperhatikan prosedur sebagaimana telah dijelaskan diatas yaitu aliran tersebut harus dinyatakan sesat terlebih dahulu, baru kemudian keluar larangan. Apabila setelah dilarang masih tetap menjalankannya, maka Pasal 1 UU No. 1/1965 atau Pasal 156a KUHP dapat digunakan untuk menjeratnya.<br />5. ASPEK EFEKTIFITAS HUKUM DAN PARADIGMANYA DALAM HUKUM ISLAM<br /> Kondisi faktual dimasyarakat menunjukan bahwa hukum yang ada sepertinya tidak efektif, baik untuk mencegah maupun memberikan efek jera bagi pelaku penistaan dan penodaan agama. Maraknya aliran sesat yang tumbuh subur bagaikan jamur dimusim penghujan serta pelakunya yang tetap melakukan kejahatan serupa meskipun telah dihukum (Lia Aminudin dihukum 2 tahun), menunjukan bukti tentang semua kelemahan itu. Lantas apa yang salah dari hukum kita tersebut.<br />Hukum memang bukanlah segala-galanya atau satu-satunya penentu keberhasilan dalam mencegah maupun menanggulangi kejahatan, ada banyak faktor kriminogen yang turut mempengaruhi, diantaranya rendahnya pemahaman masyarakat terhadap agamanya sendiri, issu-issu HAM yang kebablasan, sosio kultural masyarakat yang masih berpegang kuat pada keyakinan yang bersifat mistik, kondisi ekonomi masyarakat yang masih jauh dari sejahtera serta adanya intrik-intrik eksternal lainnya. Semuanya itu turut memberi andil atas munculnya kejahatan tersebut.<br />Namun terlepas dari itu semua, idealnya hukum masih tetap dapat diandalkan dan dikedepankan atau paling tidak sebagai benteng terakhir karena Indonesia adalah negara berdasarkan hukum (Rechts staats). Hukum merupakan peraturan yang bersifat memaksa serta memiliki instrumen spesifik yaitu adanya tindakan sanksi dan adanya organ pelaksananya sehingga dapat menciptakan ketentraman di masyarakat.<a title="" style="mso-footnote-id: ftn11" href="http://www.blogger.com/post-create.g?blogID=7604640233709023804#_ftn11" name="_ftnref11">[11]</a><br /> Hukum yang baik memang harus mengakomodasikan nilai-nilai dan norma yang dapat menjawab persoalan rasa keadilan masyarakat serta dapat menciptakan ketertiban dan kepastian hukum bagi masyarakat. Sebagaimana juga teori “Utilitis”nya Jeremy Bantham<a title="" style="mso-footnote-id: ftn12" href="http://www.blogger.com/post-create.g?blogID=7604640233709023804#_ftn12" name="_ftnref12">[12]</a> yaitu The greatesh Happyness For The Greatest Number. Dan hukum yang baik menurut teori “Sosiologi Hukum” Apeldoorn adalah hukum yang sesuai dengan hukum yang hidup didalam masyarakat sesuai hierarki yang mencerminkan nilai-nilai yang hidup dalam masyarakat.<a title="" style="mso-footnote-id: ftn13" href="http://www.blogger.com/post-create.g?blogID=7604640233709023804#_ftn13" name="_ftnref13">[13]</a><br />Berkaitan dengan kasus aliran sesat maka (selain UU No. 1 tahun 1965) apakah KUHP yang sekarang kita pergunakan untuk mengadili pelaku penyebar aliran sesat dan para pengikutnya telah dapat kita katakan mengandung norma yang sesuai dengan kehidupan masyarakat Indonesia maka sudah pasti jawabannya tidak, karena KUHP yang kita pergunakan saat ini adalah produk peninggalan kolonial Belanda itupun berasal dari Perancis yang nota bene juga mengadopsi hukum-hukum Romawi. Hukum semacam ini sudah pasti jauh dari cerminan nilai-nilai yang hidup dalam masyarakat Indonesia. Untuk itu tentunya kita memerlukan KUHP yang lebih baik dimasa datang, yang sesuai dengan kepribadian bangsa kita, semoga Rancangan KUHP yang baru dapat menjawab persoalan ini. <br /> Persoalan kedua yaitu bahwa meskipun KUHP yang sekarang masih memiliki validitas karena diakui, dan mengikat secara konstitusional berdasarkan Pasal I Aturan Peralihan UUD 1945 (hasil Amandemen ke 4) yaitu “Segala peraturan perundang-undangan yang ada masih tetap berlaku selama belum diadakan yang baru menurut Undang-Undang Dasar ini” namun (Kitab Undang-Undang Hukum Pidana dimaksud) belum tentu memiliki efektivitas (effecacy). Pendapat yang sama juga disampaikan oleh Maria Farida bahwa sehubungan dengan berlakunya suatu norma karena adanya daya laku (validity), kita masih dihadapkan pula pada daya guna/bekerjanya (effecacy) dari norma tersebut. Dalam hal ini kita melihat suatu norma ada dan berlaku itu bekerja/berdaya guna secara efektif atau tidak, atau dengan perkataan lain apakah norma itu ditaati atau tidak.<a title="" style="mso-footnote-id: ftn14" href="http://www.blogger.com/post-create.g?blogID=7604640233709023804#_ftn14" name="_ftnref14">[14]</a><br />Dalam teori ilmu hukum banyak faktor yang turut mempengaruhi suatu hukum bisa berfungsi efektif. Diantaranya adalah hukum itu selain mencerminkan norma yang diakui dan hidup dimasyarakat, juga harus dapat merubah prilaku masyarakat (social engenering) kearah ketertiban dan keteraturan sehingga dapat terciptanya pembangunan dan pembaharuan. Mochtar Kusumaatmadja berpendapat,<a title="" style="mso-footnote-id: ftn15" href="http://www.blogger.com/post-create.g?blogID=7604640233709023804#_ftn15" name="_ftnref15">[15]</a> bahwa “.....hukum sebagai sarana pembangunan adalah bahwa hukum dalam arti kaidah atau peraturan hukum memang bisa berfungsi sebagi alat (pengatur) atau sarana pembangunan dalam arti penyalur arah kegiatan manusia ke arah yang dikendaki oleh pembangunan atau pembaharuan.<br />Kenyataanya dalam kasus aliran sesat, pasal-pasal dalam KUHP belum mampu berfungsi sebagai alat (pengatur) atau sarana pembangunan, (sebagaimana pendapat Mochtar Kusumaatmadja tersebut), karena prilaku masyarakat (pelaku kejahatan) tidak berubah bahkan justru terjadi disorientasi terhadap tujuan pembangunan itu sendiri yaitu bisa dilihat dari masih terjadinya kejahatan penghinaan dan penistaan terhadap agama, meskipun KUHP telah diterapkan.<br />Untuk menjelaskan mengapa orang tidak taat pada hukum memang sulit untuk menjawabnya karena persoalan tersebut erat kaitannya dengan motivasi orang itu sendiri. dalam hal ini berhubungan dengan phsikologi dan meta juridis. Tetapi berdasarkan teori-teori hukum dapat dijelaskan bahwa orang mau mentaati hukum karena takut akan sanksi (hukuman). Ketakutan akan mendapatkan hukuman ini memang merupakan penjelasan yang cukup penting mengapa orang mentaati hukum. Lebih jauh Mochtar Kusumaatmadja mengatakan bahwa, sanksi hukum adalah bentuk perwujudan yang paling jelas dari kekuasaan negara dalam pelaksanaan kewajibannya untuk memaksakan ditaatinya hukum. Penerapan atau dijatuhkannya sanksi bisa mengakibatkan perampasan kebebasan (hukuman penjara), harta benda (penyitaan), kehormatan bahkan jiwa seseorang (hukuman mati).<a title="" style="mso-footnote-id: ftn16" href="http://www.blogger.com/post-create.g?blogID=7604640233709023804#_ftn16" name="_ftnref16">[16]</a> <br />Austin berpendapat bahwa “orang merasa terikat atau diwajibkan untuk berbuat atau menghindar berbuat karena ia membenci kejahatan itu tapi juga bisa karena ia merasa takut terhadap sanksi atas kejahatannya itu (efek jera).<br />Dengan tidak jeranya para pelaku penyebar aliran sesat serta ketiadaan ancaman rasa takut bagi para pengikutnya, menunjukkan bahwa sanksi hukum yang diterapkan tidaklah efektif. Terbukti sekarang pada Lia Aminudin, bahwa ternyata ancaman sanksi hukum 2 tahun terhadapnya tidak efektif dan tidak menimbulkan efek jera. Hal senada juga disampaikan oleh Pakar hukum pidana dari Universitas Indonesia (UI), Rudy Satryo,<a title="" style="mso-footnote-id: ftn17" href="http://www.blogger.com/post-create.g?blogID=7604640233709023804#_ftn17" name="_ftnref17">[17]</a> mengatakan hukuman terhadap pimpinan aliran sesat yang dijerat dengan pasal 156 dan 156 a KUHP tentang penodaan agama, dengan hukuman hanya 2 tahun, terlalu ringan sehingga aliran-aliran yang meresahkan masyarakat selalu muncul kembali. Ia mengatakan ringannya hukuman tersebut juga membuat para pimpinan aliran sesat tidak merasa jera. Ia mencontohkan Lia Aminuddin (Lia Eden), yang mengaku sebagai Jibril Ruhul Kudus, hanya dijatuhi hukuman 2 tahun, bukan hukuman maksimal. Bahkan lebih ekstrim lagi menurutnya ringannya hukuman tersebut merupakan bentuk lain dari pengakuan secara tidak langsung terhadap aliran-aliran sesat yang selalu muncul tersebut. Maka diperlukan tentunya sanksi yang lebih berat dan lebih keras sifatnya.<br />Dalam mencari bentuk sanksi yang demikian kiranya tidak ada salahnya kita perlu belajar dari risalah Nabi Muhammad SAW yang telah mengajarkan tentang syariat Islam. Syariat Islam menetapkan adanya kebebasan beragama yaitu :<br />“Tidak ada paksaan untuk (memasuki) agama (Islam). Sesungguhnya telah jelas jalan yang benar daripada jalan yang salah “<a title="" style="mso-footnote-id: ftn18" href="http://www.blogger.com/post-create.g?blogID=7604640233709023804#_ftn18" name="_ftnref18">[18]</a><br />“Dan jikalau Tuhanmu menghendaki tentulah beriman semua orang yang dimuka bumi seluruhnya. Apa kamu hendak memaksa manusia supaya mereka menjadi orang-orang yang beriman semuanya”<a title="" style="mso-footnote-id: ftn19" href="http://www.blogger.com/post-create.g?blogID=7604640233709023804#_ftn19" name="_ftnref19">[19]</a><br />”Dan katakanlah: Kebenaran itu datangnya dari Tuhanmu. Maka barang siapa yang ingin (beriman) biarlah ia beriman, dan barang siapa yang ingin kafir biarlah ia kafir”<a title="" style="mso-footnote-id: ftn20" href="http://www.blogger.com/post-create.g?blogID=7604640233709023804#_ftn20" name="_ftnref20">[20]</a> <br />”Dan janganlah kamu memaki-maki sembahan-sembahan yang mereka sembah selain Allah, karena mereka nanti akan memaki Allah dengan melampaui batas tanpa pengetahuan “<a title="" style="mso-footnote-id: ftn21" href="http://www.blogger.com/post-create.g?blogID=7604640233709023804#_ftn21" name="_ftnref21">[21]</a><br />Sebagai konsekwensi kebebasan beragama ialah menghormati semua tempat-tempat ibadah tanpa membedakan antara agama yang satu dengan yang lain sesuai dengan ayat Qur’an :<br />“Sekiranya Allah tidak menolak (keganasan) sebagian manusia dengan sebagian yang lain, tentunya telah dirobohkan biara-biara Nasarani, gereja-gereja, rumah-rumah ibadah orang Yahudi dan masjid-masjid yang didalamnya banyak disebut nama Allah.....”<a title="" style="mso-footnote-id: ftn22" href="http://www.blogger.com/post-create.g?blogID=7604640233709023804#_ftn22" name="_ftnref22">[22]</a><br />Akan tetapi syariat Islam mengecualikan soal Murtad, termasuk pengertian ini menurut Menteri Agama RI Maftuh Basyuni bahwa suatu faham aliran disebut sesat, karena tidak sesuai dengan ajaran Islam yang sebenarnya. Islam itu Tuhannya cuma satu Allah SWT, Nabi terakhir hanya Muhammad SAW, dan kitab suci cuma satu yaitu Al-Quran.<a title="" style="mso-footnote-id: ftn23" href="http://www.blogger.com/post-create.g?blogID=7604640233709023804#_ftn23" name="_ftnref23">[23]</a><br />Keluar dari Islam sesudah taat, dengan perkataan atau perbuatan adalah murtad. Orang murtad harus disuruh masuk Islam kembali, karena pengakuannya terhadap kebenaran mewajibkan melaksanakan hukum-hukumnya. Apabila ia tidak bertobat, maka hukumannya adalah dibunuh. Demikian menurut pendapat jumhur ulama, berdasarkan Hadist Nabi : “Barang siapa mengganti agamanya maka bunuhlah ia” <a title="" style="mso-footnote-id: ftn24" href="http://www.blogger.com/post-create.g?blogID=7604640233709023804#_ftn24" name="_ftnref24">[24]</a><br />Menurut Subhi Mahmassani, <a title="" style="mso-footnote-id: ftn25" href="http://www.blogger.com/post-create.g?blogID=7604640233709023804#_ftn25" name="_ftnref25">[25]</a> Apabila kemurtadan itu telah mengambil bentuk massal yang dibarengi tindakan pemecah belahan oleh kaum murtad dan ketidaktaatan kepada negara, atau keberfihakan kepada musuh, maka dalam keadaan demikian perbuatan tersebut dianggap sebagai fitnah yang membahayakan kemaslahatan umum dan membolehkan memerangi mereka hingga mereka bertobat dan kembali menghormati peraturan dan kedaulatan. Inilah yang dilakukan Khlifah pertama Abu Bakar Siddiq r.a pada waktu ia memerangi sebagian bangsa Arab dan beberapa kabilah di saat mereka berpecah belah dari agama setelah Nabi s.a.w wafat, atau ketika mereka menolak membayar zakat, karena perbuatan mereka itu merupakan pemberontakan, pembangkangan dan fitnah. Sebagaimana dimaklumi bahwa fitnah itu membahayakan keselamatan negara, dan menurut bahasa Quran sendiri, dipandang sebagai “lebih berat dan lebih berbahaya dari pembunuhan” (Al=Baqarah (2): 191).<br />Demikianlah Islam memberikan sanksi yang tegas bagi mereka yang telah murtad. Ancaman sanksi hukuman yang demikian tidaklah berlebihan bila ditinjau dari hukum positif Indonesia karena dalam hukum positif Indonesia sendiri, mengakui adanya hukuman mati dalam sistem pemidanaannya (pasal 10 KUHP) dimana hukuman mati termasuk salah satu pidana pokok. Namun Islam juga tidak dengan serta merta menjatuhkan sanksi keras tersebut sebelum memberikan kesempatan bagi mereka untuk bertobat. Semua yang telah dikemukan sebelumnya adalah sebagian hukum-hukum syariat yang ada hubungannya dengan hak-hak asasi manusia, sebagaimana yang diperintahkan Islam untuk diikuti yaitu :<br />“Dan hendaklah ada diantara kamu segolongan yang menyeru kepada kebajikan, dan menyuruh kepada yang ma’ruf dan mencegah dari yang munkar. Merekalah orang-orang yang beruntung”.<a title="" style="mso-footnote-id: ftn26" href="http://www.blogger.com/post-create.g?blogID=7604640233709023804#_ftn26" name="_ftnref26">[26]</a> <br />Proses penyadaran agar mereka mau bertobat hendaklah ditempuh dengan cara-cara yang terpuji, Islam mengajarkan bahwa seseorang dalam menyampaikan pendapatnya dilakukan dengan menghormati kebebasan menyampaikan pendapat orang lain. Karena itu adalah salah satu etika dan kesopanan dalam musyawarah dan berdiskusi yaitu melakukan dialog dengan tenang dan sopan, dilakukan dengan cara yang baik. Cara inilah yang dikehendaki syariat Islam seperti dikemukakan Quran:<br />“Dan bantahlah mereka dengan cara yang baik.”<a title="" style="mso-footnote-id: ftn27" href="http://www.blogger.com/post-create.g?blogID=7604640233709023804#_ftn27" name="_ftnref27">[27]</a><br />Apabila mereka sadar akan kesalahannya dan bertobat maka kewajiban kita untuk memaafkannya karena syariat menjadikan hukum keadilan, yang merupakan asas pergaulan hidup, diisi dan diwarnai oleh ruh kemanusian yang didasarkan kepada iman dan akhlak. Firman Allah:<br />“Sesungguhnya Allah menyuruh (kamu) berlaku adil dan berbuat kebajikan.”<a title="" style="mso-footnote-id: ftn28" href="http://www.blogger.com/post-create.g?blogID=7604640233709023804#_ftn28" name="_ftnref28">[28]</a><br />Syariat Islam mendukung hak hidup tersebut, ia melarang membunuh orang tanpa hak, hal itu seperti dalam ayat berikut :<br />“Dan janganlah kamu membunuh jiwa yang diharamkan Allah (membunuhnya), melainkan dengan suatu (alasan) yang benar.”<a title="" style="mso-footnote-id: ftn29" href="http://www.blogger.com/post-create.g?blogID=7604640233709023804#_ftn29" name="_ftnref29">[29]</a><br /><br />6. KORELASI ANTARA HUKUM ISLAM DAN HUKUM HAK ASASI MANUSIA<br /> Dari syariat Islam yang telah dijelaskan diatas maka terlihat ada korelasinya dengan hukum hak asasi manusia seperti yang tercantum dalam Deklarasi Universal Hak Asasi Manusia Pasal 18 ayat 3 yaitu:<br /> “Kebebasan dalam menjalankan dan menentukan agama atau kepercayaan seseorang hanya dapat dibatasi oleh ketentuan berdasarkan hukum, dan yang diperlukan untuk melindungi keamanan, ketertiban, kesehatan, atau moral masyarakat, atau hak-hak dan kebebasaran mendasar orang lain”. <a title="" style="mso-footnote-id: ftn30" href="http://www.blogger.com/post-create.g?blogID=7604640233709023804#_ftn30" name="_ftnref30">[30]</a> <br /> Didalam UUD 1945 Pasal 28J ayat 2 disebutkan bahwa:<br /> “Dalam menjalankan hak dan kebebasannya, setiap orang wajib tunduk kepada pembatasan yang ditetapkan dengan undang-undang dengan maksud semata-mata untuk menjamin pengakuan serta penghormatan atas hak dan kebebasan orang lain dan untuk memenuhi tuntutan yang adil sesuai dengan pertimbangan moral, nilai-nilai agama, keamanan, dan ketertiban umum dalam suatu masyarakat demokratis”.<a title="" style="mso-footnote-id: ftn31" href="http://www.blogger.com/post-create.g?blogID=7604640233709023804#_ftn31" name="_ftnref31">[31]</a> <br />Dalam hal pemberian sanksi hukuman mati, Kovenan Internasional Hak-Hak Sipil dan Politik, juga tidak menentangnya sebagaimana diatur dalam Bagian III Pasal 6 ayat 6 yaitu:<br />“Tidak ada satupun dalam pasal ini yang boleh dipakai untuk menunda atau mencegah penghapusan hukuman mati oleh negara yang menjadi pihak dalam Kovenan ini”.<a title="" style="mso-footnote-id: ftn32" href="http://www.blogger.com/post-create.g?blogID=7604640233709023804#_ftn32" name="_ftnref32">[32]</a> <br />Dengan demikian ajaran Islam tidak bertentangan dengan hukum hak asasi manusia yang universal bahkan begitu menjunjung tinggi hak asasi manusia. Dalam ajaram Islam, Orang yang sesat dan telah sadar serta mau bertobat harus diberikan kesempatan untuk bertobat dalam arti kata harus diampuni kesalahannya bukan dihukum, disinilah letak perbedaannya dengan ajaran sekuler (seperti dalam KUHP) yaitu bahwa kejahatan penistaan dan penodaan agama masuk dalam delik pidana murni, bukan delik aduan sehingga kasusnya tidak dapat dicabut, akhirnya proses hukum tetap berjalan sampai ada vonis pengadilan. Jika demikian mana yang lebih arif dalam menegakkan hak asasi manusia ? Islamkah atau faham sekuler yang katanya faham pelopor hak asasi manusia.<br /><br />7. PENUTUP<br />Selain dibutuhkan sanksi hukum yang tegas maka untuk tercapainya tujuan hukum itu sendiri tentunya dibutuhkan juga komitmen dan good will pemerintah yang sungguh-sungguh termasuk aparat penegak hukum dalam melakukan law inforcement karena sebagai ujung tombak terdepan dalam penegakkan hukum, polisi seharusnya mampu bertindak sebelum masyarakat main hakim sendiri. Kewenangan tersebut didasarkan pada Pasal 15 Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2002 yaitu kewenangan untuk mengawasi aliran yang dapat menimbulkan perpecahan atau ancaman terhadap persatuan dan kesatuan bangsa. Aliran dimaksud antara lain aliran kepercayaan yang bertentangan dengan falsafah dasar negara Republik Indonesia.<a title="" style="mso-footnote-id: ftn33" href="http://www.blogger.com/post-create.g?blogID=7604640233709023804#_ftn33" name="_ftnref33">[33]</a> Begitupun pengadilan sebagai benteng terakhir penegakkan hukum di Indoneisa, terlihat para hakim masih belum berani untuk menjatuhkan hukuman maksimal.<br />Dan yang lebih penting lagi untuk diperhatikan adalah perlunya penyiapan perangkat aturan hukum yang bukan hanya memiliki validitas namun juga harus efektif dan sesuai dengan nilai-nilai ajaran agama. Kemudian perlunya koordinasi yang intens (tidak parsial) antara pemerintah dengan Majelis Ulama dalam upaya prefentif menangkal sedini mungkin munculnya aliran sesat maupun untuk melakukan pembinaan secara berkelanjutan kepada masyarakat yang telah sadar dan mau bertobat, baik dengan dakwah agama maupun sosialisasi peraturan sehingga dengan adanya harmonisasi dan sinkronisasi hubungan kerja secara holistik ini diharapkan keimanan dan kesadaran hukum masyarakat akan meningkat dalam beragama maupun bermasyarakat.<br /><br /> <br /> <br /> <br /><br /><br /> <br /> <br /><a title="" style="mso-footnote-id: ftn1" href="http://www.blogger.com/post-create.g?blogID=7604640233709023804#_ftnref1" name="_ftn1">[1]</a> Antara News, 02 November 2007<br /><a title="" style="mso-footnote-id: ftn2" href="http://www.blogger.com/post-create.g?blogID=7604640233709023804#_ftnref2" name="_ftn2">[2]</a> Sabili, 10 November 2003<br /><a title="" style="mso-footnote-id: ftn3" href="http://www.blogger.com/post-create.g?blogID=7604640233709023804#_ftnref3" name="_ftn3">[3]</a> QS, Yunus: 32<br /><a title="" style="mso-footnote-id: ftn4" href="http://www.blogger.com/post-create.g?blogID=7604640233709023804#_ftnref4" name="_ftn4">[4]</a> Sabili, 10 November 2003<br /><a title="" style="mso-footnote-id: ftn5" href="http://www.blogger.com/post-create.g?blogID=7604640233709023804#_ftnref5" name="_ftn5">[5]</a> www.wawasandigital.com<br /><br /><a title="" style="mso-footnote-id: ftn6" href="http://www.blogger.com/post-create.g?blogID=7604640233709023804#_ftnref6" name="_ftn6">[6]</a> Prof. Dr. Mochtar Kusumaatmadja, SH, LL.M, Pengantar Ilmu Hukum, Alumni, Bandung, 1999, hal. 5.<br /><a title="" style="mso-footnote-id: ftn7" href="http://www.blogger.com/post-create.g?blogID=7604640233709023804#_ftnref7" name="_ftn7">[7]</a> www.bangkapos.com<br /><a title="" style="mso-footnote-id: ftn8" href="http://www.blogger.com/post-create.g?blogID=7604640233709023804#_ftnref8" name="_ftn8">[8]</a> Ibid, hal 2<br /><a title="" style="mso-footnote-id: ftn9" href="http://www.blogger.com/post-create.g?blogID=7604640233709023804#_ftnref9" name="_ftn9">[9]</a> Ibid, hal 2<br /><a title="" style="mso-footnote-id: ftn10" href="http://www.blogger.com/post-create.g?blogID=7604640233709023804#_ftnref10" name="_ftn10">[10]</a> Ibid, hal 2<br /><a title="" style="mso-footnote-id: ftn11" href="http://www.blogger.com/post-create.g?blogID=7604640233709023804#_ftnref11" name="_ftn11">[11]</a> Hans Kelsen, General Theory of Law and State, Hlm 26<br /><a title="" style="mso-footnote-id: ftn12" href="http://www.blogger.com/post-create.g?blogID=7604640233709023804#_ftnref12" name="_ftn12">[12]</a> Ibid, Hlm 289<br /><a title="" style="mso-footnote-id: ftn13" href="http://www.blogger.com/post-create.g?blogID=7604640233709023804#_ftnref13" name="_ftn13">[13]</a> Ibid, Hlm 289<br /><a title="" style="mso-footnote-id: ftn14" href="http://www.blogger.com/post-create.g?blogID=7604640233709023804#_ftnref14" name="_ftn14">[14]</a> Maria Farida, Ilmu Perundangundangan, Dasar-dasar dan Pembentukannya, Kanisius, Yogyakarta, 1998, hal 19. <br /><a title="" style="mso-footnote-id: ftn15" href="http://www.blogger.com/post-create.g?blogID=7604640233709023804#_ftnref15" name="_ftn15">[15]</a> Mochtar Kusumaatmadja, Konsep-konsep Hukum Dalam Pembangunan, Alumni, Bandung, 2006, hal 38.<br /><a title="" style="mso-footnote-id: ftn16" href="http://www.blogger.com/post-create.g?blogID=7604640233709023804#_ftnref16" name="_ftn16">[16]</a> Mochtar Kusumaatmadja, Pengantar Ilmu Hukum, Alumni, Bandung, 2000, hal 44<br /><a title="" style="mso-footnote-id: ftn17" href="http://www.blogger.com/post-create.g?blogID=7604640233709023804#_ftnref17" name="_ftn17">[17]</a> Antara News, 01 November 2007<br /><a title="" style="mso-footnote-id: ftn18" href="http://www.blogger.com/post-create.g?blogID=7604640233709023804#_ftnref18" name="_ftn18">[18]</a> Al-Baqarah (2):256.<br /><a title="" style="mso-footnote-id: ftn19" href="http://www.blogger.com/post-create.g?blogID=7604640233709023804#_ftnref19" name="_ftn19">[19]</a> Yunus (10):99<br /><a title="" style="mso-footnote-id: ftn20" href="http://www.blogger.com/post-create.g?blogID=7604640233709023804#_ftnref20" name="_ftn20">[20]</a> Al-Kahfi (18):29<br /><a title="" style="mso-footnote-id: ftn21" href="http://www.blogger.com/post-create.g?blogID=7604640233709023804#_ftnref21" name="_ftn21">[21]</a> Al-An’am (6):108<br /><a title="" style="mso-footnote-id: ftn22" href="http://www.blogger.com/post-create.g?blogID=7604640233709023804#_ftnref22" name="_ftn22">[22]</a> Al-Hajj (22):40<br /><a title="" style="mso-footnote-id: ftn23" href="http://www.blogger.com/post-create.g?blogID=7604640233709023804#_ftnref23" name="_ftn23">[23]</a> Antara News, 02-11-2007<br /><a title="" style="mso-footnote-id: ftn24" href="http://www.blogger.com/post-create.g?blogID=7604640233709023804#_ftnref24" name="_ftn24">[24]</a> Sahih Bukhari bi Syarhi ‘Aini, jilid 24, hal 79, dan As-Suyuti, Al-Jami’us Sagir, jilid 2 no. 8559 <br /><a title="" style="mso-footnote-id: ftn25" href="http://www.blogger.com/post-create.g?blogID=7604640233709023804#_ftnref25" name="_ftn25">[25]</a> Dr. Subhi Mahmassani, Konsep Dasar Hak-Hak Asasi Manusia Studi Perbandingan Syariat Islam dan Perundang-undangan Modern, Tintamas Indonesia, Jakarta, 1993, hal 97.<br /><a title="" style="mso-footnote-id: ftn26" href="http://www.blogger.com/post-create.g?blogID=7604640233709023804#_ftnref26" name="_ftn26">[26]</a> Al-Imran (3): 104.<br /><a title="" style="mso-footnote-id: ftn27" href="http://www.blogger.com/post-create.g?blogID=7604640233709023804#_ftnref27" name="_ftn27">[27]</a> An-Nahl (16): 125.<br /><a title="" style="mso-footnote-id: ftn28" href="http://www.blogger.com/post-create.g?blogID=7604640233709023804#_ftnref28" name="_ftn28">[28]</a> An-Nahl (16): 90<br /><a title="" style="mso-footnote-id: ftn29" href="http://www.blogger.com/post-create.g?blogID=7604640233709023804#_ftnref29" name="_ftn29">[29]</a> Al-Isra (17): 33.<br /><a title="" style="mso-footnote-id: ftn30" href="http://www.blogger.com/post-create.g?blogID=7604640233709023804#_ftnref30" name="_ftn30">[30]</a> L.G. Saraswati dkk, Hak Asasi Manusia Teori, Hukum, Kasus, Filsafat UI Press, Jakarta, 2006, Hlm 433 <br /><a title="" style="mso-footnote-id: ftn31" href="http://www.blogger.com/post-create.g?blogID=7604640233709023804#_ftnref31" name="_ftn31">[31]</a> Ibid hlm 520.<br /><a title="" style="mso-footnote-id: ftn32" href="http://www.blogger.com/post-create.g?blogID=7604640233709023804#_ftnref32" name="_ftn32">[32]</a> Ibid hlm 426<br /><a title="" style="mso-footnote-id: ftn33" href="http://www.blogger.com/post-create.g?blogID=7604640233709023804#_ftnref33" name="_ftn33">[33]</a> Penjelasan UU No. 2 tahun 2002</div>ARMAN ANWAR, S.H.http://www.blogger.com/profile/06787610195558856283noreply@blogger.com0tag:blogger.com,1999:blog-7604640233709023804.post-30458451992883947962008-08-20T22:38:00.000-07:002008-08-20T22:51:16.892-07:00PROVINSI KEPULAUAN MENEGUHKAN KEMBALI KOMITMEN BANGSA SEBAGAI NEGARA KEPULAUAN<div align="justify">Seminar Nasional dan Pertemuan KNPI Tujuh Provinsi Kepulauan yang dilaksanakan oleh KNPI Provinsi Maluku dengan tema Menata Laut Menjawab Otonomi Daerah Provinsi Kepulauan diharapkan dapat melahirkan sikap dan dukungan konkrit dari seluruh komponen bangsa sehingga dapat menjadi warna baru dalam perjuangan merumuskan pokok-pokok pikiran dan rekomendasi bersama yang bermuara pada apresiasi dan dukungan konkrit sebagai aksentuasi sikap bersama pemuda Indonesia. Kegiatan ini bukan saja menjadi komsumsi bersama pemuda Indonesia atau KNPI dalam merespon atau mensikapi keinginan luhur pemerintah provinsi kepulauan sehingga dapat diakuinya otonomi khusus provinsi kepulauan secara permanen dengan suatu bentuk pengakuan yuridis dan kebijakan fiskal dalam segala perlakuannya namun juga diharapkan dapat merekonstruksi konsep otonomi daerah masa depan dengan meletakan dasar pada pembangunan dan pemberdayaan pesisir dan pulau-pulau kecil serta pulau-pulau di perbatasan dalam konsep kekhususan laut sebagai manifestasi penyelengaraan pemerintahan otonomi daerah kepulauan.</div><div align="justify"><br /> Banyak pendapat mengatakan seminar ini adalah suatu bentuk presure politik kepada pemerintah pusat untuk melegitimasi otonomi khusus provinsi kepulauan artinya kita mencoba membangun sesuatu yang fundamental dari bawah, yaitu suatu pengakuan yang permanen terhadap provinsi kepulauan dan bagai gayung bersambut pemerintah pusat juga sementara menunggu masukan-masukan yang konsepsional dari provinsi kepulauan sehingga dapat dibahas format dukungan anggaran serta dukungan aturan regulasinya.<br /> Terlepas dari semua itu sebetulnya kalau kita mau sadari, dalam konteks ini tidak perlu menunggu sampai ada tuntutan seperti ini karena pemerintah pusat mestinya sudah harus serius memahami posisinya sejak 13 Desember 1957 (Deklarasi Djuanda) karena konsep pembangunan Indonesia yang dicanangkan saat itu telah jelas arahnya yaitu menuju “Konsep Negara Kepulauan” (the archipelago state principle) yang pada akhirnya juga akan memberikan warna terhadap pembangunan provinsi kepulauan sebagai komitmen dan agenda penting bangsa Indonesia kedepan bukan hanya untuk kepentingan 7 Provinsi saja namun juga untuk kepentingan seluruh Provinsi secara nasional. Olehnya itu untuk meneguhkan kembali komitmen bangsa maka dalam kesempatan ini kiranyanya perlu kita melakukan napak tilas untuk sekedar mengingatkan kita kembali saat-saat bangsa ini berjuang untuk memperoleh pengakuan tersebut dan bagaimana sebaiknya kita mengelolanya hasil perjuangan tersebut. </div><div align="justify"><br /><strong>Lahirnya Prinsip Negara Kepulauan</strong><br />Momentum tanggal 13 Desember 1957, bagi Indonesia merupakan awal tonggak sejarah dalam perjuangannya untuk mengumumkan sikap kewilayahan nusantara (the archipelago state principle) sebagai usaha untuk menyatukan wilayah perairan (kepulauan), darat dan udara sebagai satu kesatuan negara Indonesia, selanjutnya momentum ini dikenal sebagai Deklarasi Djuanda. Tentu saja, deklarasi ini cukup menjadi pertentangan dari berbagai negara di dunia, karena sebelumnya berdasarkan Territoriale Zee en Maritime Kringen Ordonnantie (TZMKO) Stb. Nomor 442 Tahun 1939, batas laut teritorial Indonesia hanyalah sampai 3 mil dan perairan diantara pulau-pulau yang lebih dari 3 mil bukan bagian dari kedaulatan Indonesia melainkan bagian dari perairan internasional. Sedangkan pasca Deklarasi Djuanda bagian laut yang sebelumnya termasuk laut lepas (high seas), sekarang menjadi laut teritorial Indonesia dan perairan yang berada di antara pulau-pulau menjadi bagian dari Indonesia secara utuh. Untuk memperkuat keberadaan deklarasi ini, pemerintah mengeluarkan UU No 4 Prp/1960 tentang Perairan Indonesia yang selanjutnya pada tahun 1996 direvisi menjadi UU No. 6 Tahun 1996.<br />Perjalanan memuluskan Deklarasi Djuanda untuk dapat diterima oleh bangsa-bangsa di dunia tidaklah gampang apalagi pada saat itu mendapat tantangan yang keras dari negara-negara maritim besar didunia seperti Amerika, Inggris dan Belanda Namun berkat strategi diplomasi yang dilancarkan, deklarasi tersebut telah berhasil merubah gaya berpikir dan politik internasional dan menjadi bagian dari kesepakatan internasional. Pada tahun 1982 konsep ini berhasil diterima dalam hukum laut Internasional atau United Nations Convention on the Law Of the Sea (UNCLOS 1982). Konvensi tersebut kemudian diratifikasi oleh Indonesia kedalam UU No 17 Tahun 1985 tentang Pengesahan UNCLOS 1982. Setidaknya ada 60 negara yang sudah merativikasi UNCLOS 1982 tersebut.</div><div align="justify"><br /><strong>Momentum Awal Pengelolaan Pulau Kecil<br /></strong>Pasca era reformasi bergulir, Untuk pertama kalinya (tahun 1999) Indonesia membentuk sebuah departemen yang khusus melakukan kegiatan eksplorasi sumberdaya pesisir dan lautan. Salah satu tugas dari departemen ini (Departemen Kelautan dan Perikanan) adalah melakukan pengelolaan atas pulau-pulau kecil yang menaburi laut Indonesia khususnya yang berada diperbatasan negara. <br />Ironisnya, ditahun 2002 Indonesia kehilangan 2 pulau kecil yang berbatasan dengan Malaysia, yaitu Sipadan dan Ligitan. Hilangnya dua pulau ini menjadi bukti belum adanya keseriusan pemerintah dalam melakukan pengelolaan pulau-pulau kecil, khususnya pulau kecil diperbatasan negara. Momentum hilangnya Sipadan dan Ligitan dijadikan sebuah agenda pembenahan dalam pengelolaan pulau kecil di Indonesia. Puncaknya pemerintah mengeluarkan draft Keppres untuk mengelola 92 pulau kecil terluar, yang sampai saat ini tidak jelas keberadaannya.</div><div align="justify"><br /><strong>Karakteristik Pulau Kecil Indonesia</strong><br />Secara umum yang dimaksudkan dengan pulau adalah massa daratan yang seluruhnya dikelilingi oleh air dan tetap tersekspose sekalipun pada saat air pasang. Penggunaan defenisi pulau kecil di Indonesia tidak bisa disamakan dengan negara-negara lain, mengingat jumlah pulau-pulau di Indonesia cukuplah banyak (terdapat ± 17.508 pulau besar maupun kecil).<br />Sampai saat ini Indonesia menggunakan 2 peubah utama dalam mendefinisikan pulau kecil, yaitu luasan pulau £ 10.000 km2 dan jumlah penduduk £ 200.000 orang. Secara umum dari sudut pandang ekologi maupun sosial ekonomi pulau-pulau kecil di Indonesia dapat dicirikan sebagai berikut:<br />Ciri Ekologis dan<br />Ciri Sosial Ekonomi<br />1 Memiliki satu atau lebih spesies endemik Jumlah penduduk yang sedikit hingga tidak berpenghuni<br />2 Rentan terhadap bencana alam maupun bencana yang disebabkan oleh aktivitas manusia, seperti pencemaran, abrasi, dsb<br />Sebagian besar memiliki suku asli/penduduk asli yang memiliki budaya yang khas<br />3 Daya dukung lingkungan (carrying capacity) yang sangat terbatas<br />Aksessibilitas dari/dan menuju pulau yang sangat terbatas<br />4 Keanekaragaman hayati yang cukup tinggi<br />Harga produk umumnya lebih mahal dibandingkan pulau induknya (mainland)<br />Jika dilihat dari letak/posisi geografis pulau-pulau kecil di Indonesia dapat dibagi atas :<br />Pulau kecil tidak diperbatasan, yaitu pulau yang termasuk kedalam kategori pulau kecil yang umumnya berada dekat dengan pulau induk (mainland) dan/atau dikelilingi oleh pulau-pulau yang lebih terluar dari padanya.<br />Pulau kecil berbatasan, yaitu pulau yang termasuk kedalam kategori pulau kecil yang posisinya terluar (terjauh) dibanding pulau-pulau disekitarnya, dan umumnya jauh dari pulau induk (mainland) atau letaknya berbatasan langsung dengan perairan Internasional dan/atau dengan negara lain <br />Tentu saja dimensi pengelolaan pulau kecil yang bukan berada diperbatasan akan sangat berbeda dengan pengelolaan pulau kecil diperbatasan. Selain menerima dampak dari aktivitas pemanfaatan sumberdaya oleh masyarakat lokal dan nasional, pulau kecil diperbatasan juga sangat rentan terhadap kegiatan eksploitasi sumberdaya alam oleh negara tetangga dan dunia internasional. Hal inilah yang menyebabkan keberadaan pulau kecil diperbatasan akan lebih cepat mengalami kritis sumberdaya alam dibandingkan pulau kecil yang bukan diperbatasan.<br />Akar Masalah Pengelolaan Pulau Kecil<br />Dari mulai berdirinya republik ini hingga sekarang, hilangnya pulau-pulau dari perairan Indonesia bukan disebabkan “perang” yang dilakukan oleh bangsa lain untuk merebut kepulauan Indonesia, namun lebih disebabkan oleh ketidakmampuan bangsa Indonesia untuk mengelola pulau-pulau tersebut sesuai dengan kaidah lingkungan dan untuk semata-mata kesejahteraan masyarakat lokal. <br />Dibeberapa tempat yang memiliki kawasan pulau kecil seperti Sumatera Utara, Riau, Bengkulu, perairan Sulawesi dan daerah lain di Indonesia, sudah mengalami gejala penyempitan luasan daratan bahkan hilangnya sebuah pulau akibat dari aktivitas penambangan pasir maupun pengrusakan ekosistem pesisir seperti terumbu karang dan mangrove yang secara terang terangan dilakukan atas kepentingan investasi.<br />Disisi lain, tingkat kesejahteraan masyarakat di pulau-pulau kecil khususnya pulau kecil diperbatasan sangatlah memprihatinkan, namun pemerintah belum memberikan perhatian yang serius dalam penanganan masalah ini. Lihat saja, beberapa masyarakat pulau kecil perbatasan disekitar Sumatera, Kalimantan dan Sulawesi pada umumnya lebih banyak menerima insentive baik dalam bentuk sarana transportasi dan komunikasi serta kemudahan lainnya dari negara tetangga. Sehingga tidak heran jika ada masyarakat pulau yang lebih menguasai bahasa negara tetangga dibandingkan bahasa Indonesia, bahkan lebih ekstrim lagi masyarakat di pulau perbatasan Sulawesi Utara lebih memilih menggunakan mata uang negara tetangga dibandingkan yang dikeluarkan oleh Indonesia.<br />Jika ingin ditelusuri lebih lanjut, hilangnya Pulau Sipadan dan Ligitan dari perairan Indonesia lebih disebabkan oleh inisiatif yang dilakukan oleh pemerintahan Malaysia dalam memperlakukan pulau-pulau tersebut secara konsisten serta kegiatan perlindungan dan penyelamatan ekologis yang cukup intens. Akhirnya, Mahkamah Internasional dapat memutuskan kedua pulau tersebut menjadi milik negara Malaysia dengan pertimbangan bukti penguasaan efektif.<br />Terjadinya bias dalam pengelolaan pulau kecil di Indonesia disebabkan beberapa hal, antara lain:<br />1. Belum adanya perlindungan dan pengakuan dari pemerintah atas hak-hak masyarakat adat pulau atas tanah dan wilayah perairan mereka.<br />2. Pengelolaan yang dilakukan lebih untuk kepentingan investasi sehingga kerap terjadi kegiatan yang tidak mempertimbangkan daya dukung pulau kecil baik secara ekologis, ekosistem dan sosial ekonomi masyarakat setempat.<br />3. Pendekatan yang dilakukan oleh pemerintah lebih kepada pendekatan pertahanan dan keamanan, akibatnya proses pemulihan kesejahteraan masyarakat terabaikan, bahkan dibeberapa tempat kondisi masyarakat pulau semakin jauh dari sejahtera.<br />Hal terpenting saat ini adalah bagaimana pemerintah mampu memberikan perlindungan dan pengakuan atas hak-hak masyarakat yang tinggal di pesisir dan di pulau-pulau kecil untuk mendapatkan kehidupan yang layak sebagai bagian dari masyarakat di negara ini. Selain itu, arah pembangunan dan pengelolaan pesisir dan pulau-pulau kecil harus diperjelas keberpihakannya, apalagi menurut Rancangan Undang-Undang tentang Pengelolaan Wilayah Pesisir (RUU PWP) yang akan diberlakukan pada tahun 2007 nanti terbuka peluang yang cukup besar bagi investasi dibidang pemanfaatan sumberdaya pesisir untuk kegiatan usaha (profid oriented) dengan mendapatkan Hak Pengusahaan Perairan Pesisir (HP3) untuk jangka waktu 20 Tahun dan dapat diperpanjang tanpa batas waktu yang jelas sepanjang daya dukungnya masih dapat dieksploitasi (pasal 17 ayat 1 s.d.3 RUU PWP). Hal tersebut jelas akan berakibat terjadinya pengkaplingan atas permukaan laut, kolam air dan tanah dibawahnya untuk kegiatan bisnis (pasal 19 RUU PWP) dan hak itu dapat diberikan kepada Badan Hukum maupun Perseorangan (pasal 18 RUU PWP) yang sebagian pemegang sahamnya dimungkinkan dapat dimiliki oleh warga negara asing.<br />Dalam kondisi seperti diatas maka kalau kita tidak hati-hati dalam mengatur pengelolaannya maka akses masyarakat untuk menikmati sumber daya pesisir untuk kehidupannya dapat terhalangi bahkan hak-hak masyarakatpun dapat termarginalkan dan pada akhirnya maka sudah tidak ada lagi keberpihakan kepada masyarakat yang tinggal di pesisir dan pulau-pulau kecil di Nusantara ini. Semoga hal ini tidak terjadi.</div>ARMAN ANWAR, S.H.http://www.blogger.com/profile/06787610195558856283noreply@blogger.com0tag:blogger.com,1999:blog-7604640233709023804.post-36327188074428789322008-08-14T23:39:00.000-07:002008-08-20T22:36:39.311-07:00MENGAKSES KEADILAN DI PERADILAN FORMAL MENURUT RUU PWP<div align="justify">Apresiasi yang tinggi kiranya patut diberikan kepada Bapak Alex Retraubun, Direktur Pesisir dan Pulau-Pulau Kecil Departemen Kelautan dan Perikanan, karena walaupun lembaga yang dipimpinnya ini masih terbilang baru di jajaran departeman tersebut namun telah mempu menghasilkan Rancangan Undang-Undang tentang Pengelolaan Wilayah Pesisir (RUU-PWP) yang direncanakan pada tahun 2007 sudah dapat diundangkan.</div><div align="justify"><br /> Jika mengingat kembali sosialisasi RUU PWP yang beliau laksanakan bebarapa waktu lalu di Hotel Wijaya Ambon maka sangatlah tepat pemikiran yang disampaikan bahwa Propinsi Maluku sangat berkepentingan sekali dengan keberadaan RUU PWP karena sebagai Propinsi Kepulauan tentunya konsep pembangunanya akan mengacu kepada aspek pengelolaan wilayah pesisir yang berkelanjutan dan untuk itu perlu adanya landasan hukum yang jelas mengenai mengaturannya. Dengan adanya Rancangan Undang-Undang ini akan memberikan angin segar bagi arah kebijakan publik yang lebih berorientasi pada pesisir dan pulau-pulau kecil, dengan demikian gerak pembangunan di wilayah pesisir khususnya di Propinsi Seribu Pulau ini dapat dikonsolidasikan dan disinkronisasikan sehingga hasil sumber daya di lingkungan pesisir dapat termanfaatkan secara lebih optimal dan terpadu, dan fokus pembangunan yang dilakukan oleh pelaku serta stekholder di sektor lain dapat lebih ditujukan pada kepentingan pesisir.<br />Mengingat pentingnya Pengelolaan di Wilayah Pesisir bagi Maluku maka dalam kesempatan tersebut beliau sangat mengharapkan masukan dan saran dari orang Maluku demi penyempurnaan RUU dimaksud. <br /> Untuk menindaklanjuti harapan beliau tersebut maka tulisan ini diharapkan sedikit banyak dapat dijadikan in put dari hasil sosialiasi RUU PWP, dilihat dari sudut pandang/aspek hukum khususnya berkaitan dengan Pasal 55 RUU PWP tentang Penyelesaian Sengketa dalam Peradilan Formal.<br /> Melihat realitas kondisi sumber daya pesisir dalam dekade belakangan ini yang sungguh sangat memprihatinkan, penyebabnya antara lain akibat dampak negatif dari aktifitas pembangunan yang tak terkendali disamping tingginya laju kepadatan penduduk yang melahirkan kantong kantong kemiskinan yang umumnya tumbuh di daerah-daerah pesisir. Daya dukung kemampuan sumber daya pesisir lambat laun semakin tereksploitasi dan terdegradasi sehingga kerusakan yang terjadi pada ekosistem mangrove, terumbu karang, padang lamun, teluk dan estuari telah menjadi pemandangan yang biasa terlihat dimana-mana dan tak heran setiap hari kita selalu disuguhi dengan berita-berita tentang pencemaran dan kerusakan lingkungan lainnya yang menghiasi wajah berbagai media informasi kita. Menurut Rukhmin Dahuri (Pengelolaan Sumber Daya Wilayah Pesisir dan Lautan Secara Terpadu, Jakarta, 2004), Kalaupun selama ini kita manfaatkan sumber daya hayati, cara-cara yang ditempuh juga sebagian besar bersifat destruktif (merusak), kurang mengindahkan aspek kelestarian, dan kurang menerapkan IPTEK yang tepat maupun management profesional. Belum lagi dari sudut pandang pembangunan berkelanjutan (sustainable development) pengelolaan sumber daya pesisir dan lautan di Indonesia dihadapkan pada kondisi yang bersifat mendua, atau berada di persimpangan jalan. Disatu pihak ada beberapa kawasan pesisir yang telah dimanfaatkan (dikembangkan) dengan intensif, sehingga indikasi telah terlampauinya daya dukung atau kapasitas berkelanjutan (potensi lestari) dari ekosistem pesisir dan lautan, seperti pencemaran, tangkap berlebih (over fishing), degradasi fisik habitat pesisir dan abrasi pantai, telah muncul di kawasan-kawasan pesisir dimaksud, fenomena ini telah dan masih berlangsung terutama di kawasan-kawasan pesisir yang padat penduduk dan tinggi tingkat pembangunannya, seperti Selat Malaka, Pantai Utara Jawa, Bali dan Sulawesi Selatan. Dilain pihak, masih banyak kawasan pesisir dan lautan Indonesia yang tingkat pemanfaatannya belum optimal atau bahkan belum terjamah sama sekali, kondisi semacam ini pada umumnya dapat dijumpai diluar Jawa dan Bali, terutama di Kawasan Timur Indonesia (KTI). Misalnya sumber daya perikanan, terutama ikan tuna dan cakalang di ZEE ; ikan-ikan karang (napoleon, kerapo, dan lobster) disekitar Tarakan dan pulau Derawan Kalimantan Timur, dan Irian Jaya ; serta udang di Laut Arafura, banyak sekali yang justru dimanfaatkan oleh nelayan asing. Kemudian ditambah lagi dengan adanya kecendrungan berbagai pihak (stakeholder) seperti instansi pemerintah, dunia usaha dan masyarakat untuk meregulasi dan memanfaatkannya. Masing-masing pihak terkait yang menyusun perencanaan wilayah pesisir tanpa mempertimbangkan perencanaan yang disusun pihak lain, khususnya di wilayah pesisir yang berkembang pesat, sehingga memicu kompetisi pemanfaatan dan tumpang tindih perencanaan yang bermuara pada konflik pengelolaan. Konflik ini semakin berkembang akibat lemahnya kemampuan pemerintah dalam mengkoordinasikan berbagai perencanaan sektor dan swasta. Bila konflik ini terus berlangsung, akan mengurangi efektifitas pengelolaanya, sehingga sumber daya pesisir dapat mengalami degradasi biofisik.<br /> Langkah perbaikan ke arah itu kini mulai dirintis oleh pemerintah khususnya Departemen Kelautan dan Perikanan dimulai dengan mengembangkan sistem pengelolaan wilayah pesisir secara terpadu melalui upaya efisiensi dan efektifitas serta menghindari adanya konflik dalam pengelolaan wilayah pesisir maupun menghindari adanya proses marginalisasi masyarakat pesisir. Untuk mengintegrasikan berbagai kepentingan dalam perencanaan pembangunan wilayah pesisir yang bersumber dari kepentingan berbagai sektor, adanya tumpang tindih pengelolaan, minimalisasi konflik pemanfaatan yang berkaitan dengan implemetasi kewenangan sektor, dan hal-hal lain yang berkembang dalam proses pembangunan di wilayah pesisir, maka diperlukan adanya suatu kepastian hukum dalam bentuk Undang-Undang sebagai arah penetapan kebijakan publik di wilayah pesisir.<br /> Rancangan Undang-Undang ini diharapkan dapat mengakselerasi pembangunan di wilayah pesisir dan mereduksi laju kerusakan sumberdaya pesisir, karena Rancangan Undang-Undang ini memuat berbagai hal baru, antara lain, pengaturan tentang perencanaan, pelaksanaan, dan pengendalian pemanfaatan sumber daya pesisir termasuk pemberian sanksi bagi pelaku-pelaku yang merusak sumberdaya pesisir tersebut, serta kewajiban pemerintah untuk melakukan pemberdayaan masyarakat dan peningkatan kesejahteraan masyarakat pesisir.<br /> Didalam BAB XI RUU PWP diatur Hak Masyarakat di Pengadilan untuk menuntut keadilan bila merasa dirugikan oleh setiap orang dan atau penaggung jawab perbuatan yang melanggar hukum dan mengakibatkan kerusakan di wilayah pesisir (Pasal 57). Hak masyarakat tersebut dapat diajukan dalam bentuk Gugatan Perwakilan (Pasal 59), sedangkan tata cara pengajuan gugatan dalam masalah pengelolaan wilayah pesisir oleh organisasi kemasyarakatan mengacu pada peraturan perundang-undangan (Pasal 61). Hak untuk menggugat ke pengadilan, memberikan akses kepada masyarakat untuk mendapatkan keadilan<br /> Namun pada sisi lain, hak masyarakat ini dipasung dengan adanya pembatasan akses ke pengadilan karena adanya persyaratan yang ditentukan sebagaimana ditegaskan dalam Pasal 55 yaitu bahwa “Gugatan melalui pengadilan hanya dapat ditempuh apabila upaya penyelesaian sengketa di luar pengadilan dinyatakan tidak berhasil oleh salah satu atau para pihak yang sedang terlibat sengketa”. Hal ini berarti adanya suatu upaya untuk menutup akses masyarakat dalam mendapatkan keadilan melalui jalur pengadilan formal dengan menentukan adanya suatu keharusan/persyaratan, yaitu gugatan itu hanya boleh diajukan apabila penyelesaian sengketa diluar pengadilan mengalami jalan buntu.<br /><br />Pada dasarnya setiap warga negara berhak untuk memperoleh keadilan dan hak tersebut dijamin dalam UUD 1945, sebagaimana diatur dalam Undang-Undang Dasar 1945 sebagai berikut<br />Pasal 27<br />(1) Segala warga negara bersamaan kedudukannya di dalam hukum dan pemerintahan dan wajib menjunjung hukum dan pemerintahan itu dengan tidak ada kecualinya.<br /> Pasal 28 D<br />(1) Setiap orang berhak atas pengakuan, jaminan, perlindungan, dan kepastian hukum yang adil serta perlakuan yang sama dihadapan hukum.<br /><br />Pasal 28 H<br />(2) Setiap orang berhak mendapat kemudahan dan perlakuan khusus untuk memperoleh kesempatan dan manfaat yang sama guna mencapai persamaan dan keadilan<br /><br /> Pasal 28 I<br />(1) Hak untuk hidup, hak untuk tidak disiksa, hak untuk kemerdekaan pikiran dan hati nurani, hak beragama, hak untuk tidak diperbudak, hak untuk diakui sebagai pribadi dihadapan hukum, dan hak untuk tidak dituntut atas dasar hukum yang berlaku surut adalah hak asasi manusia yang tidak dapat dikurangi dalam keadaan apapun<br />(2) Setiap orang bebas dari perlakuan yang bersifat diskriminatif atas dasar apapun dan berhak mendapatkan perlindungan terhadap perlakuan yang bersifat diskriminatif itu<br /> <br />Berdasarkan pada pasal-pasal tersebut diatas maka Pasal 55 RUU PWP sangat bertentangan dengan UUD 1945 karena telah membatasi hak warga masyarakat untuk memperoleh keadilan di peradilan formal, karena hak untuk mendapatkan keadilan dan perlakuan yang sama dihadapan hukum adalah hak asasi manusia yang tidak dapat dikurangi dalam keadaan apapun. Termasuk pengertian ini adalah tanpa harus ada embel-embel ada atau tidak adanya upaya penyelesaian diluar pengadilan dan juga tidak bergantung pada berhasil atau tidaknya upaya penyelesaian di luar pengadilan tersebut.<br />Pembatasan seperti itu mestinya tidak perlu ada karena upaya penyelesaian secara damai diluar pengadilan juga dapat dilakukan bersamaan, seiring dengan proses penyelesaian sengketa di pengadilan. Pada proses di pengadilanpun masih tetap terbuka kemungkinan untuk dapat ditempuh upaya penyelesaian secara damai sepanjang belum adanya keputusan pengadilan yang berkekuatan hukum tetap. Hal ini sesuai dengan Pasal 154 ayat (1) Rbg/Pasal 130 ayat (1) HIR yaitu bahwa “Hakim diwajibkan untuk mengusahakan terjadinya perdamaian diantara para pihak”. Apabila dalam proses ini tercapai perdamaian maka proses pemeriksaan dapat diakhiri dan terhadap perdamaian tersebut dapat melahirkan persetujuan perdamaian dalam dua bentuk yaitu Perjanjian Perdamaian biasa (Pasal 1851 KUHPerdata) dan Akta Perdamaian yang dilakukan dengan putusan pengadilan (Pasal 154 ayat (2) Rbg/Pasal 130 ayat (2) HIR. Akibat hukum yang timbul atas perdamaian dimaksud memiliki kekuatan seperti suatu putusan hakim sebagaimana diatur dalam Pasal 1858 KUHPerdata yaitu bahwa “Diantara pihak-pihak yang bersangkutan, suatu perdamaian mempunyai kekuatan seperti suatu keputusan Hakim dalam tingkat akhir”. <br />Jadi meskipun disadari bahwa maksud adanya pembatasan tersebut terkandung niat baik dari pembuat undang-undang karena mungkin menganggap proses di pengadilan akan memakan waktu yang lama dan berbelit-belit, belum lagi biaya yang dikeluarkan relatif mahal serta tidak semua masyarakat memahami prosedur beracara di pengadilan sehingga diprioritaskan untuk penyelesaian sengketanya dilakukan di luar pengadilan dengan menggunakan berbagai alternatif penyelesaian seperti melalui mekanisme yang diatur dalam Pasal 54 yaitu dengan cara negosiasi, mediasi, konsiliasi, arbitrase, penilaian ahli dan adat/tradisional/kearifan lokal. Namun perlu juga diingat bahwa pengalaman selama ini membuktikan bahwa mekanisme seperti ini seringkali mengalami kegagalan dan kalaupun berhasil, berpotensi meninggalkan sumber konflik antar korban karena kompensasi ganti rugi untuk menyelesaikan kasus tersebut, mungkin akan diterima oleh beberapa korban karena faktor kesulitan ekonomi ditambah dengan rasa takut dan intimidasi namun substansi utamanya untuk pengungkapan kebenaran akan terabaikan. Posisi tawar masyarakat yang rendah tidak mungkin dapat melakukan berganing secara adil belum lagi pengaruh intervensi pihak penguasa maupun penggunaan cara premanisme oleh pihak-pihak yang lebih kuat untuk menekan masyarkat. Cara-cara seperti ini juga hanya akan membuka kesempatan kepada pelaku untuk menghindari pengadilan dan memberi negara alasan untuk “memaafkan dan melupakan”.<br />Diakui memang bahwa gugatan ke pengadilan juga bukanlah suatu strategi jitu untuk menyelesaikan sengketa dalam pengelolaan wilayah pesisir karena hambatan sistem peradilan yang korup dan tidak efisien sehingga institusi ini yang mestinya menjadi benteng terakhir (ultimum remedium) malah akan membawa ketidak adilan baru dan memperpanjang rantai kekebalan hukum. Namun paling tidak kita tetap perlu optimis bahwa negara perlu diberikan kesempatan untuk melaksanakan kewajibannya menyelesaikan sengketa yang dihadapi masyarakat untuk mengembalikan hak-hak mereka yang dilanggar, membayar ganti rugi dan atau agar diperolehnya tindakan tertentu seperti rehabilitasi atau pemulihan kondisi lingkungan pesisir mereka. Dengan demikian akan timbul akuntabilitasnya para pelaku dan juga untuk menjamin bahwa pelanggaran serupa tidak terulang kembali dimasa akan datang. Atau paling tidak dengan diserahkannya suatu kasus ke pengadilan, kita dapat berharap bisa memberikan pengaruh meskipun hanya berupa tekanan phisikologis kepada pelaku kejahatan tersebut. </div>ARMAN ANWAR, S.H.http://www.blogger.com/profile/06787610195558856283noreply@blogger.com0