Minggu, 19 Oktober 2008

PENANGANAN BENCANA ALAM DI AMBON

Membaca Surat khabar Ambon Ekspres jumat, 12 September 2008, sungguh membuat kita semua prihatin dan sedih. Betapa tidak ketika mengetahui bahwa sebagian wilayah Kota Ambon dilanda banjir dan longsor. Kawasan-kawasan yang terendam banjir di antaranya Perigi Lima, Soabali, Silale, dan Pohon Puleh (Kecamatan Nusaniwe). Empat daerah itu digenangi air dari meluapnya sungai Pohon Puleh dan Batu Gantung.Selain itu, kawasan pemukiman Kadewatan, Tanah Tinggi dan Batu Merah Dalam, (Kecamatan Sirimau), juga terendam air karena meluapnya sungai Waitomu dan Batu Merah. Sejumlah ruas jalan di ibukota provinsi Maluku juga terendam air di antaranya pusat pertokoan AY. Patty, dan kawasan Jl. Latuharhari, hingga ke Pelabuhan Yos Sudarso. Pendek kata, banjir menutupi sebagian Kota Ambon, bahkan hampir semua kecamatan dilanda banjir dan longsor. Di Kecamatan Nusaniwe empat orang tewas akibat banjir bandang dan longsor, sementara di Kecamatan Sirimau, Baguala, dan Teluk Ambon Baguala sebagian daerahnya terendam banjir. Di Kota Ambon saja selama musim penghujan sejak Maret hingga September sudah tujuh orang meninggal dunia. Sedangkan untuk Maluku sudah 12 orang meninggal termasuk lima orang warga Hualoy Kecamatan Kairatu, Kabupaten Seram Barat yang terseret banjir disertai longsor Agustus lalu. Entah masih berapa banyak lagi anak negeri ini harus menjadi korban, belum lagi ancaman kerugian harta benda yang dapat terjadi kapan saja di bumi para raja bertajuk manise ini.
Atas konsekwensi itu maka tak heran berbagai kecaman pedaspun banyak terlontar yang mengarah pada kinerja pemerintah daerah yang dianggap gagal melakukan pencegahan terhadap bencana banjir di Kota Ambon. Penyebab banjir seperti sistem drainase yang tidak baik, disamping maraknya pembangunan rumah di areal konservasi. Untuk itu pemerintah kota diminta lebih konsentrasi pada perbaikan dan pembuatan sistem drainase yang baik, serta menata kembali daerah-daerah yang sudah ditetapkan sebagai areal konservasi, atau bagaimana menciptakan rasa aman dan nyaman bagi warga. Salah satunya dengan mengidentifikasi wilayah-wilayah rawan longsor dan banjir, kemudian bagaimana membangun sarana prasarana keselamatan warga. Jadi bukan hanya fokus pada pembangunan mega proyek fisik seperti Baguala Town Square dan Merdeka Square, karena bukan merupakan suatu kebutuhan yang urgen bagi masyarakat kota Ambon. Menurut mereka untuk apa itu semua kalau di dalam kota masih seperti comberan.
Terlepas dari semuanya itu, saat ini tak ada gunanya kita saling menyalahkan sebab tanggung jawab pembangunan maupun penanganan bencana adalah tanggung jawab bersama kita semua. Alangkah baiknya, kalau semua energi yang ada kita satukan untuk bagaimana memadukan penanggulangan bencana dalam konteks program pembangunan kedepan.
Penting untuk dipikirkan segera adalah bagaimana menggunakan pengalaman ini untuk mencegah atau setidaknya mengurangi resiko bencana pada masa yang akan datang.
Hal kedua adalah, pemulihan terhadap dampak bencana tidak boleh dipandang hanya sekedar mengembalikan masyarakat dan pemerintahan pada kondisi pencapaian sebelum bencana. Karena hal ini sama saja dengan membangun kembali kerentanan masyarakat terhadap bencana. Tujuan optimalisasi pencapaian harus lebih kepada mencegah terulangnya kembali bencana bahkan sedapat mungkin menghilangkan ancaman bencana tersebut. Untuk itu perlu konsep pembanguan yang berwawasan lingkungan untuk menanggulangi dampak bencana dalam kerangka pembangunan dan sebagai investasi yang mutlak untuk dilakukan. Kalau tidak, masyarakat akan menilai betapa pemerintah gagal untuk memperbaiki diri.
Upaya menciptakan masyarakat yang lebih berketahanan terhadap bencana, salah satunya adalah juga melalui perbaikan pada sistem mitigasi bencana di daerah terkena bencana seperti penyediaan prasarana dan sarana, serta pemberdayaan masyarakat untuk meningkatkan kesiapsiagaan dalam menghadapi ancaman bencana.
Momentum pemberlakuan UU No 24 Tahun 2007 tentang Penanggulangan Bencana dan Rencana Aksi Nasional Penanggulangan Bencana. Maka mitigasi disusun sebagai bagian dari pembangunan jangka panjang maupun jangka menengah yang dijabarkan ke dalam rencana aksi tahunan sektor dan daerah dengan bidang-bidang utama seperti Bidang perencanaan fisik (kaji risiko, tataruang), Bidang rekayasa dan konstruksi (peringatan dini, penyediaan prasarana & sarana, penataan ruang berbasis PRB), Bidang ekonomi (kaji kerentanan, penguatan sistem ekonomi), Bidang kelembagaan dan manajemen (koordinasi riset, perbaikan instrumen kebijakan antar sektor/daerah, penataan kelembagaan), dan Bidang pemberdayaan masyarakat (manajemen informasi, pemberdayaan masyarakat, pelatihan dan penelitian).
Dalam kaitan itu maka pemerintah daerah dapat mengambil langkah-langkah sebagai berikut: Menyusunan kerangka kebijakan daerah dalam rangka harmonisasi dengan diterbitkannya Undang-Undang Penanggulangan Bencana, Penataan ulang kelembagaan penanggulangan bencana sesuai dengan amanat Undang-Undang Penanggulangan Bencana, Penyusunan berbagai mekanisme dan prosedur penanggulangan bencana sebagaimana akan diatur oleh peraturan pelaksanaan Undang-Undang Penanggulangan Bencana. Penyusunan program-program prioritas sesuai dengan berbagai bidang kerja yang diatur oleh baik Undang-Undang Penanggulangan Bencana, dan Rencana Aksi Nasional Pengurangan Risiko Bencana dalam rangka untuk penyusunan suatu Rencana Aksi Daerah Pengurangan Risiko Bencana.Semoga kiranya hal ini dapat dilaksanakan karena kalau tidak maka bukan tidak mungkin kita akan selalu terus bertanya pada rumput yang bergoyang seperti bait sair lagu Ebiet G. Ade

Tidak ada komentar: