Rabu, 20 Agustus 2008

ALIRAN SESAT DALAM PRESPEKTIF HUKUM POSITIF

1. PENDAHULUAN

Maraknya aliran sesat yang menodai Islam maupun dalam agama lainnya yang bermunculan saat di Indonesia seperti Sekte Kiamat pondok Nabi dalam agama Kristen, atau dalam agama Islam seperti Ahmadiyah, Kerajaan Eden, Al-Quran Suci, Al Qiadah Al Islamiah dan lain-lain, telah menimbulkan reaksi dan tanggapan yang beragam dari berbagai kalangan di tanah air, ada yang gerah namun adapula yang simpati.
Berbagai pemberitaan dan stetmenpun banyak menghiasi media massa sebagai reaksi atas bermunculannya aliran–aliran sesat itu. Ada yang menanggapi sebagai imbas yang tak bisa dipisahkan dari kondisi ekonomi masyarakat yang terpuruk, ada juga yang mengkaitkannya dengan upaya pihak asing yang ingin menghancurkan Indonesia dengan cara memecah belah umat Islam dengan harapan terjadi instabilitas di Indonesia, ada juga pendapat sebagian orang bahwa hal itu termasuk bagian dari kebebasan beragama yang merupakan hak asasi setiap manusia, demikian juga ada yang menganggapnya sebagai hal yang biasa saja sehingga tidak perlu ditanggapi secara berlebihan karena mereka beranggapan bahwa yang hanya berhak untuk menilai sesat atau tidak, yang tahu hanya Tuhan.
Majelis Ulama Indonesia sejak tahun 1989 dengan tegas telah mengeluarkan fatwa tentang sembilan aliran yang dianggap sesat diantaranya adalah Islam Jamaah, Ahmadiyah, Ikrar Sunah, Quran Suci, Sholat Dua Bahasa, Kerajaan Eden, LDII dan Al Qiadah Al Islamiah. Terhadap aliran yang difatwakan sesat ini, MUI telah meminta kepada pemerintah agar segera mengambil tindakan hukum terhadap para pelakunya, namun disayangkan pula bahwa sebagian ulama yang tergolong keras bersama masyarakat juga langsung mengambil tindakan main hakim sendiri dengan menghancurkan fasilitas yang biasa menjadi tempat aktivitas dari para pengikut aliran sesat tersebut, tidak sebatas itu mereka juga melakukan swuiping dan menangkap orang-orang yang dianggap telah menjadi pengikut aliran sesat sehingga para pengikut aliran sesat, terpaksa mencari perlindungan kepada pihak aparat kepolisian. Fenomena sosial seperti ini selalu saja terjadi hampir setiap saat ketika munculnya aliran sesat di masyarakat.
Pemerintah sendiri pada beberapa kasus tertentu telah mengambil tindakan hukum dengan memenjarakan pimpinan aliran sesat seperti Lia Aminudin dan Pendeta Mangapin Sibuea. Namun seakan tak jera-jeranya mereka tetap saja pada keyakinannya dan bahkan aliran-aliran sesat semakin banyak saja bermunculan. Buktinya belum selesai kasus Al Qiadah Al Islamiah, sekarang sudah muncul lagi Al Haq
Terlepas dari pro dan kontra tentang keberadaan aliran seperti ini, yang jelas aliran-aliran sesat tersebut terlihat semakin eksis dan mendapatkan pengikut yang semakin banyak saja, Kepala Badan Intelijen Negara (BIN), Syamsir Siregar,[1] mengungkapkan saat ini saja untuk faham Al-Qiyadah Al-Islamiyah tercatat ada sekitar 8.000 penganut di Indonesia.
Reaksi keras sebagian ulama dan masyarakat seakan bukanlah hambatan bagi mereka untuk terus maju bahkan tindakan hukum yang diambil pemerintahpun dianggap tidak terlalu menjadi sesuatu hal yang perlu mereka takuti. Hal ini bisa terlihat dari sikap para pengikut kerajan Eden yang tidak bergeming sedikitpun untuk meninggalkan keyakinannya dan tetap memilih menjadi pengikut setia Kerajaan Eden meskipun pimpinan meraka (Lia Aminudin) dinyatakan bersalah dan telah dipenjara. Lia Aminudin sendiri setelah selesai menjalani masa hukumannyapun tetap beraktivitas kembali seperti biasa memimpin Tahta Suci Kerajaan Eden sebagai Jibril Ruhul Kudus seakan merasa tidak pernah terjadi apa-apa.
Belum lagi yang terjadi pada pengikut aliran sesat lainnya yang terlihat masih tetap eksis dalam berbagai modus tersembunyi berkedok ruatan maupun yang secara terang-terangan dipraktekan melalui pesugihan dan berbagai klinik mistik lainnya
Seperti apakah profil hukum positif kita sehingga terkesan sulit untuk memberantas aliran sesat dan sejauhmanakah efektifitasnya sehingga dapat menimbulkan efek jera bagi pelanggarnya. Hal ini menjadi pertanyaan menarik yang perlu kita jawab lewat tulisan ini.

2. FENOMENA ALIRAN SESAT
Timbulnya berbagai aliran sesat dalam Islam telah menjadi catatan sejarah sejak Nabi Muhammad wafat. Sebelum wafatnya, beliau telah mengingatkan kepada kita tentang akan adanya 73 golongan dalam Islam dimana masing-masing golongan mengklaim paling benar. namun cuma ada satu golongan yang selamat, menurut Nabi.
Nampaknya kekhawatiran Nabi ini telah menjadi kenyataan. Berikut ini adalah penelusuran yang kami kutip dari hasil investigasi Hartono Ahmad Jais (Sabili)[2] bahwa diketahui ternyata aliran sesat tampak makin marak, bahkan mengalami euforia (mabuk kebebasan) sejak masa Presiden Abdurrahman Wahid atau Gus Dur yang menduduki jabatan sejak Oktober 1999 sampai 23 Juli 2001. Dimasa itu dari pihak sesat pun berkelit bahwa yang berhak menentukan sesat itu hanyalah Tuhan. Si sesat masih berteriak pula bahwa yang mengorek kesesatan itulah pemecah belah.
Di antara contoh tersebut menurutnya adalah kelompok yang tidak langsung dikenali sebagai kelompok sesat, misalnya:
Komunitas Penimbrung Qur'an Sunnah
Golongan yang satu ini tidak mau disebut kelompok agama, tak mau pula disebut sekuler. Tapi mereka menolak semua yang datang dari al-Qur'an dan as-Sunnah. Kelompok ini muncul menjelang pertengahan abad 20 dengan membatasi bahwa al-Qur'an dan as-Sunnah tidak bisa diberlakukan di wilayah mereka, karena beralasan bahwa di tempat mereka bukanlah wilayah al-Qur'an dan as-Sunnah. Mereka punya aturan-aturan tertentu yang kadang masuk ke wilayah yang diatur al-Qur'an dan as-Sunnah dengan "membantu" pelaksanaan praktisnya, dalam hal yang menguntungkan mereka. Misalnya tentang pelaksanaan ibadah haji. Di sisi itulah al-Qur'an dan as-Sunnah mereka terima, bahkan hampir mereka monopoli.
Lain lagi dengan kelompok yang secara nama adalah Islamis, namun justru sesat menyesatkan. Misalnya:
NII KW IX
NII (Negara Islam Indonesia) asalnya DI (Darul Islam, diproklamasikan Sekarmadji Maridjan Kartosoewirjo, 7 Agustus 1949 di Cisayong Tasikmalaya Jawa Barat). Kemudian nama NII itu berupa penjelasan singkat tentang proklamasi. Pada tahun 1980-an ketika diadakan musyawarah tiga wilayah besar (Jawa Barat, Sulawesi, dan Aceh) di Tangerang Jawa Barat, diputuskan bahwa Adah Djaelani Tirtapradja diangkat menjadi Imam NII. Lalu ada pemekaran wilayah NII yang tadinya 7 menjadi 9, penambahannya itu KW VIII (Komandemen Wilayah VIII) Priangan Barat (mencakup Bogor, Sukabumi, Cianjur), dan KW IX Jakarta Raya (Jakarta, Tangerang, Bekasi).
Pada dekade 1990-an KW IX dijadikan sebagai Ummul Quro (ibukota negara) bagi NII, menggantikan Tasikmalaya, atas keputusan Adah Djaelani. Karena pentingnya menguasai ibukota sebagai pusat pemerintahan, maka dibukalah program negara secara lebih luas, dan puncaknya ketika pemerintahan dipegang Abu Toto Syekh Panjigumilang (yang juga Syekh Ma'had Al-Zaitun, Desa Gantar, Indramayu, Jawa Barat) menggantikan Adah Djaelani sejak tahun 1992.
Penyelewengannya terjadi ketika pucuk pimpinan NII dipegang Abu Toto. Ia mengubah beberapa ketetapan-ketetapan Komandemen yang termuat dalam kitab PDB (Pedoman Dharma Bakti) seperti menggantikan makna fai' dan ghanimah yang tadinya bermakna harta rampasan dari musuh ketika terjadi peperangan (fisik), tetapi oleh Abu Toto diartikan sama saja, baik perang fisik maupun tidak. Artinya, harta orang selain NII boleh dirampas dan dianggap halal. Pemahaman ini tidak dicetuskan dalam bentuk ketetapan syura (musyawarah KW IX) dan juga tidak secara tertulis, namun didoktrinkan kepada jamaahnya. Sehingga jamaahnya banyak yang mencuri, merampok, dan menipu, namun menganggapnya sebagai ibadah, karena sudah diinstruksikan oleh 'negara'.
Dalam hal shalat, dalam Kitab Undang-undang Dasar NII diwajibkan shalat fardhu 5 waktu, namun perkembangannya, dengan pemahaman teori kondisi perang, maka shalat bisa dirapel. Artinya, dari mulai shalat zuhur sampai dengan shalat subuh dilakukan dalam satu waktu, masing-masing hanya satu rakaat. Ini doktrin Abu Toto dari tahun 2000-an. Mengenai puasa, mereka mengamalkan hadits tentang mengakhirkan sahur dan menyegerakan berbuka dengan cara, sudah terbit matahari pun masih boleh sahur, sedang jam 5 sore sudah boleh berbuka. Alasannya dalil hadits tersebut.
Gerakan ini mencari mangsa dengan jalan setiap jamaah diwajibkan mencari satu orang tiap harinya untuk dibawa tilawah. Lalu diarahkan agar hijrah dan berbaiat sebagai anggota NII. Karena dengan baiat maka seseorang terhapus dari dosa masa lalu, tersucikan diri, dan menjadi ahli surga. Untuk itu peserta ini harus mengeluarkan shadaqah hijrah yang besarnya tergantung dosa yang dilakukan. Anggota NII di Jakarta saja, saat ini diperkirakan 120.000 orang yang aktif.

LDII (Lembaga Dakwah Islam Indonesia)
Pendiri dan pemimpin tertinggi pertama gerakan ini adalah Madigol Nurhasan Ubaidah Lubis bin Abdul bin Thahir bin Irsyad. Lahir pada tahun 1915 di Desa Bangi, Kec. Purwoasri, Kediri, Jawa Timur. Paham yang dianut oleh LDII tidak berbeda dengan aliran Islam Jama'ah/Darul Hadits yang telah dilarang oleh Jaksa Agung Republik Indonesia pada tahun 1971. Keberadaan LDII mempunyai akar kesejarahan dengan Darul Hadits/Islam, Jama'ah yang didirikan pada tahun 1951 oleh Nurhasan Al Ubaidah Lubis (Madigol). Setelah aliran tersebut dilarang tahun 1971, kemudian berganti nama dengan Lembaga Karyawan Islam (LEMKARI) pada tahun 1972 (tanggal 13 Januari 1972. Pengikut gerakan ini pada pemilu 1971 berafiliasi dan mendukung GOLKAR).Aliran sesat yang telah dilarang Jaksa Agung 1971 ini kemudian dibina oleh mendiang Soedjono Hoermardani dan Jenderal Ali Moertopo. LEMKARI dibekukan di seluruh Jawa Timur oleh pihak penguasa di Jawa Timur atas desakan keras MUI (Majelis Ulama Indonesia) Jatim di bawah pimpinan KH. Misbach. LEMKARI diganti nama oleh Jenderal Rudini (Mendagri), 1990/1991, menjadi LDII (Lembaga Dakwah Islamiyah Indonesia). Penyelewengan utamanya, menganggap al-Qur'an dan as-Sunnah baru sah diamalkan kalau manqul (yang keluar dari mulut imam atau amirnya). Gerakan ini membuat syarat baru tentang sahnya keislaman seseorang. Orang yang tidak masuk golongan mereka dianggap kafir dan najis.
Modus operandi gerakan ini mengajak siapa saja ikut ke pengajian mereka secara rutin. Peserta akan diberikan ajaran tentang shalat dan sebagainya berdasarkan hadits, lalu disuntikkan doktrin-doktrin bahwa hanya Islam model manqul itulah yang sah, benar. Pelanggaran-pelanggaran yang dilakukan, boleh ditebus dengan uang oleh anggota ini.
Inkar Sunnah
Orang yang tidak mempercayai hadits Nabi saw sebagai landasan Islam, maka dia sesat. Itulah kelompok Inkar Sunnah.
Ada tiga jenis kelompok Inkar Sunnah. Pertama kelompok yang menolak hadits-hadits Rasulullah saw secara keseluruhan. Kedua, kelompok yang menolak hadits-hadits yang tak disebutkan dalam al-Qur'an secara tersurat ataupun tersirat. Ketiga, kelompok yang hanya menerima hadits-hadits mutawatir (diriwayatkan oleh banyak orang setiap jenjang atau periodenya, tak mungkin mereka berdusta) dan menolak hadits-hadits ahad (tidak mencapai derajat mutawatir) walaupun shahih. Mereka beralasan dengan ayat, ".sesungguhnya persangkaan itu tidak berguna sedikitpun terhadap kebenaran" (Qs An-Najm: 28). Mereka berhujjah dengan ayat itu, tentu saja menurut penafsiran model mereka sendiri.
Inkar Sunnah di Indonesia muncul tahun 1980-an ditokohi Irham Sutarto. Kelompok Inkar Sunnah di Indonesia ini difatwakan oleh MUI (Majelis Ulama Indonesia) sebagai aliran yang sesat lagi menyesatkan, kemudian dilarang secara resmi dengan Surat Keputusan Jaksa Agung No. Kep-169/ J.A./ 1983 tertanggal 30 September 1983 yang berisi larangan terhadap aliran inkarsunnah di seluruh wilayah Republik Indonesia.




Ahmadiyah
Orang yang mengakui adanya nabi lagi sesudah Nabi Muhammad saw maka mereka sesat. Itulah kelompok Ahmadiyah yang mempercayai Mirza Ghulam Ahmad dari India sebagai nabi setelah Nabi Muhammad saw.
Gerakan Ahmadiyah didirikan oleh Mirza Ghulam Ahmad di India. Mirza lahir 15 Februari 1835 M. dan meninggal 26 Mei 1906 M di India.
Ahmadiyah masuk ke Indonesia tahun 1935, tapi mereka mengklaim diri telah masuk ke negeri ini sejak tahun 1925. Tahun 2000, mendiang khalifah Ahmadiyah dari London, Tahir Ahmad, bertemu dengan Presiden Abdurahman Wahid. Kini Ahmadiyah mempunyai sekitar 200 cabang, terutama Jakarta, Jawa Barat, Jawa Tengah, Sumatera Barat, Palembang, Bengkulu, Bali, NTB dan lain-lain. Basis-basis Ahmadiyah di Kuningan, Jawa Barat dan Lombok telah dihancurkan massa (2002/2003) karena mereka sesumbar dan mengembangkan kesesatannya.
Tipuan Ahmadiyah Qadyan, mereka mengaku bahwa Mirza Ghulam Ahmad itu nabi namun tidak membawa syariat baru. Tipuan mereka itu dusta, karena mereka sendiri mengharamkan wanitanya nikah dengan selain orang Ahmadiyah. Sedangkan Nabi Muhammad saw tidak pernah mensyariatkan seperti itu, jadi itu syari'at baru mereka. Sedangkan Ahmadiyah Lahore yang di Indonesia berpusat di Jogjakarta mengatakan, Mirza Ghulam Ahmad itu bukan nabi tetapi Mujaddid. Tipuan mereka ini dusta pula, karena mereka telah mengangkat pembohong besar yang mengaku mendapatkan wahyu dari Allah, dianggap sebagai mujaddid.

Salamullah
Agama Salamullah adalah agama baru yang menghimpun semua agama, didirikan oleh Lia Aminuddin, di Jakarta. Dia mengaku sebagai Imam Mahdi yang mempercayai reinkarnasi. Lia mengaku sebagai jelmaan roh Maryam, sedang anaknya, Ahmad Mukti yang kini hilang, mengaku sebagai jelmaan roh Nabi Isa as. Dan imam besar agama Salamullah ini Abdul Rahman, seorang mahasiswa alumni UIN Jakarta, yang dipercaya sebagai jelmaan roh Nabi Muhammad saw.
Ajaran Lia Aminuddin yang profesi awalnya perangkai bunga kering ini difatwakan MUI pada 22 Desember 1997 sebagai ajaran yang sesat dan menyesatkan. Pada tahun 2003, Lia Aminuddin mengaku mendapat wahyu berupa pernikahannya dengan pendampingnya yang dia sebut Jibril. Karena itu, Lia Aminuddin diubah namanya menjadi Lia Eden sebagai lambang surga, menurut kitabnya yang berjudul Ruhul Kudus. Pengikutnya makin menyusut, kini tinggal 70-an orang, maka ada "wahyu-wahyu" yang menghibur atas larinya orang dari Lia.

Isa Bugis
Orang yang memaknakan al-Qur'an semaunya, tidak sesuai dengan petunjuk Rasulullah saw, maka mereka sesat. Itulah kelompok Isa Bugis. Contohnya, mereka memaknakan al-fiil yang artinya gajah menjadi meriam atau tank baja. Alasannya di Yaman saat zaman Nabi tidak ada rumput maka tak mungkin ada gajah. Kelompok ini tidak percaya mukjizat, dan menganggap mukjizat tak ubahnya seperti dongeng lampu Aladin. Nabi Ibrahim menyembelih Ismail itu dianggapnya dongeng belaka. Kelompok ini mengatakan, tafsir al-Qur'an yang ada sekarang harus dimuseumkan, karena salah semua. Al-Qur'an bukan Bahasa Arab, maka untuk memahami al-Qur'an tak perlu belajar Bahasa Arab. Lembaga Pembaru Isa Bugis adalah Nur, sedang yang lain adalah zhulumat, maka sesat dan kafir. Itulah ajaran sesat Isa Bugis
Tahun 1980-an mereka bersarang di salah satu perguruan tinggi di Rawamangun, Jakarta. Sampai kini masih ada bekas-bekasnya, dan penulis pernah berbantah dengan kelompok ini pada tahun 2002. Tampaknya, mereka masih dalam pendiriannya, walau tak mengaku berpaham Isa Bugis.

Baha'i
Kelompok ini adalah kelompok yang menggabung-gabungkan Islam dengan Yahudi, Nasrani dan lainnya. Itulah kelompok Baha'i. Menghilangkan setiap ikatan agama Islam, menganggap syariat Islam telah kadaluarsa. Persamaan antara manusia meskipun berlainan jenis, warna kulit dan agama. Inilah inti ajaran Baha'i. Menolak ketentuan-ketentuan Islam. Menolak Poligami kecuali dengan alasan dan tidak boleh dari dua istri. Mereka melarang talaq dan menghapus 'iddah (masa tunggu). Janda boleh langsung kawin lagi, tanpa 'iddah. Ka'bah bukanlah kiblat yang mereka akui. Kiblat mereka adalah dimana Tuhan menyatu dalam diri Bahaullah (pemimpin mereka).

Pluralisme Agama, JIL (Jaringan Islam Liberal).
Orang yang menyamakan semua Agama, hingga Islam disamakan dengan Yahudi, Nasrani, dan agama-agama kemusyrikan, mereka juga sesat dan menyesatkan. Itulah kelompok yang berpaham pluralisme agama, yang sejak Maret 2001 menamakan diri sebagai JIL (Jaringan Islam Liberal) yang dikoordinir oleh Ulil Abshar Abdalla. Ulil tidak mengakui adanya hukum Tuhan, hingga syariat mu'amalah (pergaulan antar manusia). Perintah syari'at jilbab, qishash, hudud, potong tangan bagi pencuri dan sebagainya itu tidak perlu diikuti. Bahkan larangan nikah antara Muslim dengan non Muslim dianggap tidak berlaku lagi, karena ayat larangannya dianggap tidak jelas. Vodca (minuman keras beralkohol lebih dari 16%) pun menurut Ulil bisa jadi di Rusia halal, karena udaranya dingin sekali.
Pemahaman "kembali kepada al-Qur'an dan as-Sunnah/al-Hadits" seperti yang dipahami umat Islam sekarang ini menurut Ulil, salah, karena menjadikan penyembahan terhadap teks. Maka harus dipahami bahwa al-Qur'an yang sekarang baru separuhnya, sedang separuhnya lagi adalah pengalaman manusia

Lembaga Kerasulan
Kelompok ini mengibaratkan Rasul bagai menteri, sedang kerasulan adalah sebuah departemen. Lalu Rasul boleh wafat sebagaimana menteri boleh mati, namun kerasulan atau departemen tetap ada. Diangkatlah rasul baru sebagaimana diangkat pula menteri baru. Karena Nabi Muhammad saw adalah rasul terakhir. Yang berpaham Rasul tetap diangkat sampai hari kiyamat itulah kelompok Lembaga Kerasulan.
Masih banyak sebenarnya lembaga dan gerakan aliran sesat yang berkembang di Indonesia. Ada yang bergerak secara kelompok, tapi ada pula yang bersifat pemikiran individu, seperti Harun Nasution dan Ahmad Wahib. Kedua tokoh ini nyaris sama. Harun Nasution mengatakan bahwa semua agama pada dasarnya adalah sama. Sedangkan Ahmad Wahib yang pernah menerbitkan buku Pergolakan Pemikiran Islam pernah membuat statemen yang mengagetkan dalam bukunya, "Seandainya Muhammad tidak ada, wahyu dari Allah (al-Qur'an) dengan tegas aku berkata bahwa Karl Marx dan Frederick Engels lebih hebat dari utusan Tuhan itu. Otak kedua orang itu yang luar biasa dan pengabdiannya yang luar biasa akan meyakinkan setiap orang bahwa kedua orang besar itu adalah penghuni surga tingkat pertama berkumpul dengan para Nabi dan Syuhada."
Begitu banyak tantangan untuk umat Islam. Ada tekanan yang datang dari luar, ada pula pengkhianatan dan kesesatan yang muncul dari dalam. Demikian hasil investigasi yang dilakukan oleh Hartono Ahmad Jais

3. PENGERTIAN SESAT
Dalam bahasa Arab, sesat atau kesesatan itu adalah dhalal. Yaitu setiap yang menyimpang dari jalan yang dituju (yang benar) dan setiap yang berjalan bukan pada jalan yang benar, itulah kesesatan. Dalam al-Qur'an disebutkan, setiap yang di luar kebenaran itu adalah sesat. [3] Kebenaran hanya datang dari Allah.
Kebenaran dari Allah itu adanya di al-Qur'an dan as-Sunnah, namun cara pemahamannya/penafsirannya model apa? Pertanyaan itu sudah ada jawabannya, dalam hadits tentang 73 golongan, riwayat At-Tirmidzi. "Siapakah dia (golongan yang satu-yang selamat dari neraka-itu) wahai Rasulullah?" Beliau menjawab, "(Mereka yang mengikuti apa) yang aku dan sahabatku berada di atasnya."
Syaikh Shalih bin Fauzan al-Fauzan, penulis Lamhah 'anil firaq adh-dhaallah, Membongkar Firqah-Firqah Sesat, berkomentar. Ketika Rasulullah ditanya tentang siapakah satu yang selamat itu, beliau menjawab, "Mereka adalah orang-orang yang menempuh jalan seperti yang aku dan sahabatku tempuh." Maka barangsiapa yang tetap di atas jalan yang ditempuh Rasul saw dan para sahabatnya, maka dia termasuk yang selamat dari neraka. Dan barangsiapa yang menyelisihi dari hal tersebut sesungguhnya dia diancam dengan neraka sesuai dengan kadar jauhnya. [4]
Majelis Ulama Indonesia (MUI),[5] akhirnya telah mengeluarkan pedoman identifikasi aliran sesat. Pedoman ini dikeluarkan terkait dengan bermunculannya berbagai aliran yang mengatasnamakan agama dengan pemahaman yang tidak sesuai dengan akidah dan syariat Islam.
Ada 10 kriteria untuk menentukan paham atau aliran dikatakan sesat, yaitu mengingkari salah satu rukun Iman dan Islam, mengikuti akidah yang tidak sesuai dengan dalil syar’i yaitu Al­quran dan Sunnah, meyakini turunnya wahyu setelah Al­quran, mengingkari otentitas dan kebenaran isi ajarannya, melakukan penafsiran Alquran dengan tidak berdasarkan kai­dah tafsir, mengingkari ke­dudukan hadis Nabi, menghina dan melecehkan atau merendahkan Nabi dan Rasul, mengingkari Nabi Muhammad sebagai Nabi dan Rasul terakhir. Mengubah, menambah, dan atau mengurangi pokok-pokok ibadah yang telah ditetapkan syariah seperti haji tidak ke Baitullah, salat fardlu tidak lima waktu, dan mengkafirkan se­sama muslim tanpa dalil syar’i seperti meng­kafiran muslim ha­nya karena bukan kelompoknya

4. HUKUM POSITIF INDONESIA TENTANG ALIRAN SESAT
Hukum positif Indonesia adalah sistem atau tatanan hukum dan asas-asas berdasarkan keadilan yang mengatur kehidupan manusia di dalam masyarakat Indonesia pada waktu ini.[6]
Salah satu kewajiban negara dalam hukum positif adalah memberikan rasa aman dan nyaman bagi warga negaranya dan warga negara asing, termasuk dalam menjalankan kehidupan beragama dan kebebasan untuk memeluk suatu agama. Apabila ada gangguan terhadap hal tersebut, misalnya munculnya aliran sesat, maka negara harus segera mengambil tindakan, baik melalui sarana hukum maupun sarana non hukum, karena akibatnya dapat menimbulkan keresahan, perpecahan bahkan konflik sosial dimasyarakat secara terus menerus yang pada puncaknya dapat mengganggu ketahanan nasional bangsa.
Indonesia telah memiliki perangkat ketentuan hukum positif yang terkait dengan prosedur penegakkan hukum terhadap aliran yang dianggap sesat. Dasar hukumnya mengacu pada UU No1/PNPS/1965 tentang pencegahan, penyalahgunaan dan/atau penodaan agama dan berdasarkan KUHP.
Menurut Dwi Haryadi, SH, MH[7] aliran sesat dikategorikan sebagai salah satu jenis tindak pidana dalam delik agama yang berupa penistaan atau penodaaan agama yang dianut di Indonesia. Istilah tindak pidana atau delik agama dapat diartikan dalam tiga pengertian, yaitu tindak pidana ‘menurut agama’, tindak pidana ‘terhadap agama’ dan tindak pidana ‘yang berhubungan dengan agama atau terhadap kehidupan beragama’. Dalam hukum Indonesia, khususnya pengaturan dalam KUHP, untuk pengertian delik agama yang pertama, telah banyak diatur dalam KUHP, karena perbuatan yang dilarang dalam KUHP sebagian besar juga dilarang menurut agama, seperti pembunuhan, penganiayaan, pencurian, penipuan, pemerkosaan dan lain-lain.
Sementara pengertian delik agama yang kedua, diatur dalam Pasal 156a, yaitu melakukan penodaan terhadap agama dan perbuatan agar orang tidak menganut agama. Adapun pengertian delik agama yang ketiga, tersebar dalam KUHP, yaitu Pasal 175-181 dan Pasal 503 ke-2, yang terdiri dari merintangi pertemuan/upacara agama dan upacara penguburan jenazah, menggangu pertemuan/upacara keagamaan dan upacara penguburan jenazah, menertawakan petugas agama dalam menjalankan tugasnya yang diizinkan, menghina benda-benda keperluan jenazah, merintangi pengangkutan mayat ke kuburan, menodai/merusak kuburan, menggali, mengambil, memindahkan jenazah, menyembunyikan/menghilangkan jenazah untuk menyembunyikan kematian/kelahiran dan membuat gaduh dekat bangunan untuk ibadah atau pada waktu ibadah dilakukan.[8]
Pengaturan delik agama dalam KUHP, pada awalnya hanyalah mencakup pengertian delik agama yang ketiga, yaitu tindak pidana ‘yang berhubungan dengan agama atau terhadap kehidupan beragama’. Namun setelah adanya penambahan Pasal 156a kedalam KUHP berdasarkan Pasal 4 UU No. 1 tahun 1965 (UU No. 1/PNPS/1965) tertanggal 27 Januari 1965, barulah pengertian delik agama yang kedua tercakup dalam KUHP. Selain Pasal 156a, sebenarnya Pasal 1 UU No. 1/1965 juga merupakan delik agama, hanya saja tidak diintegrasikan dalam KUHP.[9]
Adapun jenis perbuatan yang dilarang dalam Pasal 1 tersebut adalah melakukan penafsiran dan kegiatan-kegiatan keagamaan yang menyimpang dari pokok-pokok ajaran agama yang dianut di Indonesia. Namun ketentuan ini baru dapat dipidana, menurut Pasal 3 UU No. 1/1965 apabila telah mendapat perintah dan peringatan keras untuk menghentikan perbuatan itu, organisasi/aliran kepercayaan yang melakukan perbuatan itu telah dibubarkan/dinyatakan terlarang oleh Presiden Republik Indonesia, namun orang/organisasi itu masih terus melakukan perbuatan itu.[10]
Prosedurnya jika ada aliran yang diduga sesat harus dibahas di Badan Koordinasi Penganut Aliran Kepercayaan Masyarakat (Bakorpakem) yang ada di daerah. Mekanisme pelarangan aliran dan organisasi tertentu, didasarkan pada Keputusan Jaksa Agung (Kepja) No 108/JA/5/1984 tentang pembentukan tim koordinasi Pakem. ”Kalau Bakorpakem itu memutuskan suatu ajaran dilarang, maka baru diteruskan ke Jaksa Agung,” Kejaksaan Agung akan mengeluarkan keputusan setelah ada persetujuan dari presiden untuk melarang sebuah ajaran yang dianggap sesat. Hal ini sesuai dengan Peraturan Pemerintah (PP) Nomor 1 Tahun 1965. Setelah dikeluarkan keputusan pelarangan, baru masuk dalam pasal penodaan agama, yang diatur dalam KUHP Pasal 156a.
Berdasarkan pembahasan di atas, kasus aliran sesat yang kini marak terjadi dapat dikategorikan dalam pengertian delik agama yang kedua, yaitu tindak pidana ‘terhadap agama’, dijerat dengan Pasal 156a KUHP atau dengan Pasal 1 UU No. 1/1965. Namun dalam penerapannya tetap harus memperhatikan prosedur sebagaimana telah dijelaskan diatas yaitu aliran tersebut harus dinyatakan sesat terlebih dahulu, baru kemudian keluar larangan. Apabila setelah dilarang masih tetap menjalankannya, maka Pasal 1 UU No. 1/1965 atau Pasal 156a KUHP dapat digunakan untuk menjeratnya.
5. ASPEK EFEKTIFITAS HUKUM DAN PARADIGMANYA DALAM HUKUM ISLAM
Kondisi faktual dimasyarakat menunjukan bahwa hukum yang ada sepertinya tidak efektif, baik untuk mencegah maupun memberikan efek jera bagi pelaku penistaan dan penodaan agama. Maraknya aliran sesat yang tumbuh subur bagaikan jamur dimusim penghujan serta pelakunya yang tetap melakukan kejahatan serupa meskipun telah dihukum (Lia Aminudin dihukum 2 tahun), menunjukan bukti tentang semua kelemahan itu. Lantas apa yang salah dari hukum kita tersebut.
Hukum memang bukanlah segala-galanya atau satu-satunya penentu keberhasilan dalam mencegah maupun menanggulangi kejahatan, ada banyak faktor kriminogen yang turut mempengaruhi, diantaranya rendahnya pemahaman masyarakat terhadap agamanya sendiri, issu-issu HAM yang kebablasan, sosio kultural masyarakat yang masih berpegang kuat pada keyakinan yang bersifat mistik, kondisi ekonomi masyarakat yang masih jauh dari sejahtera serta adanya intrik-intrik eksternal lainnya. Semuanya itu turut memberi andil atas munculnya kejahatan tersebut.
Namun terlepas dari itu semua, idealnya hukum masih tetap dapat diandalkan dan dikedepankan atau paling tidak sebagai benteng terakhir karena Indonesia adalah negara berdasarkan hukum (Rechts staats). Hukum merupakan peraturan yang bersifat memaksa serta memiliki instrumen spesifik yaitu adanya tindakan sanksi dan adanya organ pelaksananya sehingga dapat menciptakan ketentraman di masyarakat.[11]
Hukum yang baik memang harus mengakomodasikan nilai-nilai dan norma yang dapat menjawab persoalan rasa keadilan masyarakat serta dapat menciptakan ketertiban dan kepastian hukum bagi masyarakat. Sebagaimana juga teori “Utilitis”nya Jeremy Bantham[12] yaitu The greatesh Happyness For The Greatest Number. Dan hukum yang baik menurut teori “Sosiologi Hukum” Apeldoorn adalah hukum yang sesuai dengan hukum yang hidup didalam masyarakat sesuai hierarki yang mencerminkan nilai-nilai yang hidup dalam masyarakat.[13]
Berkaitan dengan kasus aliran sesat maka (selain UU No. 1 tahun 1965) apakah KUHP yang sekarang kita pergunakan untuk mengadili pelaku penyebar aliran sesat dan para pengikutnya telah dapat kita katakan mengandung norma yang sesuai dengan kehidupan masyarakat Indonesia maka sudah pasti jawabannya tidak, karena KUHP yang kita pergunakan saat ini adalah produk peninggalan kolonial Belanda itupun berasal dari Perancis yang nota bene juga mengadopsi hukum-hukum Romawi. Hukum semacam ini sudah pasti jauh dari cerminan nilai-nilai yang hidup dalam masyarakat Indonesia. Untuk itu tentunya kita memerlukan KUHP yang lebih baik dimasa datang, yang sesuai dengan kepribadian bangsa kita, semoga Rancangan KUHP yang baru dapat menjawab persoalan ini.
Persoalan kedua yaitu bahwa meskipun KUHP yang sekarang masih memiliki validitas karena diakui, dan mengikat secara konstitusional berdasarkan Pasal I Aturan Peralihan UUD 1945 (hasil Amandemen ke 4) yaitu “Segala peraturan perundang-undangan yang ada masih tetap berlaku selama belum diadakan yang baru menurut Undang-Undang Dasar ini” namun (Kitab Undang-Undang Hukum Pidana dimaksud) belum tentu memiliki efektivitas (effecacy). Pendapat yang sama juga disampaikan oleh Maria Farida bahwa sehubungan dengan berlakunya suatu norma karena adanya daya laku (validity), kita masih dihadapkan pula pada daya guna/bekerjanya (effecacy) dari norma tersebut. Dalam hal ini kita melihat suatu norma ada dan berlaku itu bekerja/berdaya guna secara efektif atau tidak, atau dengan perkataan lain apakah norma itu ditaati atau tidak.[14]
Dalam teori ilmu hukum banyak faktor yang turut mempengaruhi suatu hukum bisa berfungsi efektif. Diantaranya adalah hukum itu selain mencerminkan norma yang diakui dan hidup dimasyarakat, juga harus dapat merubah prilaku masyarakat (social engenering) kearah ketertiban dan keteraturan sehingga dapat terciptanya pembangunan dan pembaharuan. Mochtar Kusumaatmadja berpendapat,[15] bahwa “.....hukum sebagai sarana pembangunan adalah bahwa hukum dalam arti kaidah atau peraturan hukum memang bisa berfungsi sebagi alat (pengatur) atau sarana pembangunan dalam arti penyalur arah kegiatan manusia ke arah yang dikendaki oleh pembangunan atau pembaharuan.
Kenyataanya dalam kasus aliran sesat, pasal-pasal dalam KUHP belum mampu berfungsi sebagai alat (pengatur) atau sarana pembangunan, (sebagaimana pendapat Mochtar Kusumaatmadja tersebut), karena prilaku masyarakat (pelaku kejahatan) tidak berubah bahkan justru terjadi disorientasi terhadap tujuan pembangunan itu sendiri yaitu bisa dilihat dari masih terjadinya kejahatan penghinaan dan penistaan terhadap agama, meskipun KUHP telah diterapkan.
Untuk menjelaskan mengapa orang tidak taat pada hukum memang sulit untuk menjawabnya karena persoalan tersebut erat kaitannya dengan motivasi orang itu sendiri. dalam hal ini berhubungan dengan phsikologi dan meta juridis. Tetapi berdasarkan teori-teori hukum dapat dijelaskan bahwa orang mau mentaati hukum karena takut akan sanksi (hukuman). Ketakutan akan mendapatkan hukuman ini memang merupakan penjelasan yang cukup penting mengapa orang mentaati hukum. Lebih jauh Mochtar Kusumaatmadja mengatakan bahwa, sanksi hukum adalah bentuk perwujudan yang paling jelas dari kekuasaan negara dalam pelaksanaan kewajibannya untuk memaksakan ditaatinya hukum. Penerapan atau dijatuhkannya sanksi bisa mengakibatkan perampasan kebebasan (hukuman penjara), harta benda (penyitaan), kehormatan bahkan jiwa seseorang (hukuman mati).[16]
Austin berpendapat bahwa “orang merasa terikat atau diwajibkan untuk berbuat atau menghindar berbuat karena ia membenci kejahatan itu tapi juga bisa karena ia merasa takut terhadap sanksi atas kejahatannya itu (efek jera).
Dengan tidak jeranya para pelaku penyebar aliran sesat serta ketiadaan ancaman rasa takut bagi para pengikutnya, menunjukkan bahwa sanksi hukum yang diterapkan tidaklah efektif. Terbukti sekarang pada Lia Aminudin, bahwa ternyata ancaman sanksi hukum 2 tahun terhadapnya tidak efektif dan tidak menimbulkan efek jera. Hal senada juga disampaikan oleh Pakar hukum pidana dari Universitas Indonesia (UI), Rudy Satryo,[17] mengatakan hukuman terhadap pimpinan aliran sesat yang dijerat dengan pasal 156 dan 156 a KUHP tentang penodaan agama, dengan hukuman hanya 2 tahun, terlalu ringan sehingga aliran-aliran yang meresahkan masyarakat selalu muncul kembali. Ia mengatakan ringannya hukuman tersebut juga membuat para pimpinan aliran sesat tidak merasa jera. Ia mencontohkan Lia Aminuddin (Lia Eden), yang mengaku sebagai Jibril Ruhul Kudus, hanya dijatuhi hukuman 2 tahun, bukan hukuman maksimal. Bahkan lebih ekstrim lagi menurutnya ringannya hukuman tersebut merupakan bentuk lain dari pengakuan secara tidak langsung terhadap aliran-aliran sesat yang selalu muncul tersebut. Maka diperlukan tentunya sanksi yang lebih berat dan lebih keras sifatnya.
Dalam mencari bentuk sanksi yang demikian kiranya tidak ada salahnya kita perlu belajar dari risalah Nabi Muhammad SAW yang telah mengajarkan tentang syariat Islam. Syariat Islam menetapkan adanya kebebasan beragama yaitu :
“Tidak ada paksaan untuk (memasuki) agama (Islam). Sesungguhnya telah jelas jalan yang benar daripada jalan yang salah “[18]
“Dan jikalau Tuhanmu menghendaki tentulah beriman semua orang yang dimuka bumi seluruhnya. Apa kamu hendak memaksa manusia supaya mereka menjadi orang-orang yang beriman semuanya”[19]
”Dan katakanlah: Kebenaran itu datangnya dari Tuhanmu. Maka barang siapa yang ingin (beriman) biarlah ia beriman, dan barang siapa yang ingin kafir biarlah ia kafir”[20]
”Dan janganlah kamu memaki-maki sembahan-sembahan yang mereka sembah selain Allah, karena mereka nanti akan memaki Allah dengan melampaui batas tanpa pengetahuan “[21]
Sebagai konsekwensi kebebasan beragama ialah menghormati semua tempat-tempat ibadah tanpa membedakan antara agama yang satu dengan yang lain sesuai dengan ayat Qur’an :
“Sekiranya Allah tidak menolak (keganasan) sebagian manusia dengan sebagian yang lain, tentunya telah dirobohkan biara-biara Nasarani, gereja-gereja, rumah-rumah ibadah orang Yahudi dan masjid-masjid yang didalamnya banyak disebut nama Allah.....”[22]
Akan tetapi syariat Islam mengecualikan soal Murtad, termasuk pengertian ini menurut Menteri Agama RI Maftuh Basyuni bahwa suatu faham aliran disebut sesat, karena tidak sesuai dengan ajaran Islam yang sebenarnya. Islam itu Tuhannya cuma satu Allah SWT, Nabi terakhir hanya Muhammad SAW, dan kitab suci cuma satu yaitu Al-Quran.[23]
Keluar dari Islam sesudah taat, dengan perkataan atau perbuatan adalah murtad. Orang murtad harus disuruh masuk Islam kembali, karena pengakuannya terhadap kebenaran mewajibkan melaksanakan hukum-hukumnya. Apabila ia tidak bertobat, maka hukumannya adalah dibunuh. Demikian menurut pendapat jumhur ulama, berdasarkan Hadist Nabi : “Barang siapa mengganti agamanya maka bunuhlah ia” [24]
Menurut Subhi Mahmassani, [25] Apabila kemurtadan itu telah mengambil bentuk massal yang dibarengi tindakan pemecah belahan oleh kaum murtad dan ketidaktaatan kepada negara, atau keberfihakan kepada musuh, maka dalam keadaan demikian perbuatan tersebut dianggap sebagai fitnah yang membahayakan kemaslahatan umum dan membolehkan memerangi mereka hingga mereka bertobat dan kembali menghormati peraturan dan kedaulatan. Inilah yang dilakukan Khlifah pertama Abu Bakar Siddiq r.a pada waktu ia memerangi sebagian bangsa Arab dan beberapa kabilah di saat mereka berpecah belah dari agama setelah Nabi s.a.w wafat, atau ketika mereka menolak membayar zakat, karena perbuatan mereka itu merupakan pemberontakan, pembangkangan dan fitnah. Sebagaimana dimaklumi bahwa fitnah itu membahayakan keselamatan negara, dan menurut bahasa Quran sendiri, dipandang sebagai “lebih berat dan lebih berbahaya dari pembunuhan” (Al=Baqarah (2): 191).
Demikianlah Islam memberikan sanksi yang tegas bagi mereka yang telah murtad. Ancaman sanksi hukuman yang demikian tidaklah berlebihan bila ditinjau dari hukum positif Indonesia karena dalam hukum positif Indonesia sendiri, mengakui adanya hukuman mati dalam sistem pemidanaannya (pasal 10 KUHP) dimana hukuman mati termasuk salah satu pidana pokok. Namun Islam juga tidak dengan serta merta menjatuhkan sanksi keras tersebut sebelum memberikan kesempatan bagi mereka untuk bertobat. Semua yang telah dikemukan sebelumnya adalah sebagian hukum-hukum syariat yang ada hubungannya dengan hak-hak asasi manusia, sebagaimana yang diperintahkan Islam untuk diikuti yaitu :
“Dan hendaklah ada diantara kamu segolongan yang menyeru kepada kebajikan, dan menyuruh kepada yang ma’ruf dan mencegah dari yang munkar. Merekalah orang-orang yang beruntung”.[26]
Proses penyadaran agar mereka mau bertobat hendaklah ditempuh dengan cara-cara yang terpuji, Islam mengajarkan bahwa seseorang dalam menyampaikan pendapatnya dilakukan dengan menghormati kebebasan menyampaikan pendapat orang lain. Karena itu adalah salah satu etika dan kesopanan dalam musyawarah dan berdiskusi yaitu melakukan dialog dengan tenang dan sopan, dilakukan dengan cara yang baik. Cara inilah yang dikehendaki syariat Islam seperti dikemukakan Quran:
“Dan bantahlah mereka dengan cara yang baik.”[27]
Apabila mereka sadar akan kesalahannya dan bertobat maka kewajiban kita untuk memaafkannya karena syariat menjadikan hukum keadilan, yang merupakan asas pergaulan hidup, diisi dan diwarnai oleh ruh kemanusian yang didasarkan kepada iman dan akhlak. Firman Allah:
“Sesungguhnya Allah menyuruh (kamu) berlaku adil dan berbuat kebajikan.”[28]
Syariat Islam mendukung hak hidup tersebut, ia melarang membunuh orang tanpa hak, hal itu seperti dalam ayat berikut :
“Dan janganlah kamu membunuh jiwa yang diharamkan Allah (membunuhnya), melainkan dengan suatu (alasan) yang benar.”[29]

6. KORELASI ANTARA HUKUM ISLAM DAN HUKUM HAK ASASI MANUSIA
Dari syariat Islam yang telah dijelaskan diatas maka terlihat ada korelasinya dengan hukum hak asasi manusia seperti yang tercantum dalam Deklarasi Universal Hak Asasi Manusia Pasal 18 ayat 3 yaitu:
“Kebebasan dalam menjalankan dan menentukan agama atau kepercayaan seseorang hanya dapat dibatasi oleh ketentuan berdasarkan hukum, dan yang diperlukan untuk melindungi keamanan, ketertiban, kesehatan, atau moral masyarakat, atau hak-hak dan kebebasaran mendasar orang lain”. [30]
Didalam UUD 1945 Pasal 28J ayat 2 disebutkan bahwa:
“Dalam menjalankan hak dan kebebasannya, setiap orang wajib tunduk kepada pembatasan yang ditetapkan dengan undang-undang dengan maksud semata-mata untuk menjamin pengakuan serta penghormatan atas hak dan kebebasan orang lain dan untuk memenuhi tuntutan yang adil sesuai dengan pertimbangan moral, nilai-nilai agama, keamanan, dan ketertiban umum dalam suatu masyarakat demokratis”.[31]
Dalam hal pemberian sanksi hukuman mati, Kovenan Internasional Hak-Hak Sipil dan Politik, juga tidak menentangnya sebagaimana diatur dalam Bagian III Pasal 6 ayat 6 yaitu:
“Tidak ada satupun dalam pasal ini yang boleh dipakai untuk menunda atau mencegah penghapusan hukuman mati oleh negara yang menjadi pihak dalam Kovenan ini”.[32]
Dengan demikian ajaran Islam tidak bertentangan dengan hukum hak asasi manusia yang universal bahkan begitu menjunjung tinggi hak asasi manusia. Dalam ajaram Islam, Orang yang sesat dan telah sadar serta mau bertobat harus diberikan kesempatan untuk bertobat dalam arti kata harus diampuni kesalahannya bukan dihukum, disinilah letak perbedaannya dengan ajaran sekuler (seperti dalam KUHP) yaitu bahwa kejahatan penistaan dan penodaan agama masuk dalam delik pidana murni, bukan delik aduan sehingga kasusnya tidak dapat dicabut, akhirnya proses hukum tetap berjalan sampai ada vonis pengadilan. Jika demikian mana yang lebih arif dalam menegakkan hak asasi manusia ? Islamkah atau faham sekuler yang katanya faham pelopor hak asasi manusia.

7. PENUTUP
Selain dibutuhkan sanksi hukum yang tegas maka untuk tercapainya tujuan hukum itu sendiri tentunya dibutuhkan juga komitmen dan good will pemerintah yang sungguh-sungguh termasuk aparat penegak hukum dalam melakukan law inforcement karena sebagai ujung tombak terdepan dalam penegakkan hukum, polisi seharusnya mampu bertindak sebelum masyarakat main hakim sendiri. Kewenangan tersebut didasarkan pada Pasal 15 Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2002 yaitu kewenangan untuk mengawasi aliran yang dapat menimbulkan perpecahan atau ancaman terhadap persatuan dan kesatuan bangsa. Aliran dimaksud antara lain aliran kepercayaan yang bertentangan dengan falsafah dasar negara Republik Indonesia.[33] Begitupun pengadilan sebagai benteng terakhir penegakkan hukum di Indoneisa, terlihat para hakim masih belum berani untuk menjatuhkan hukuman maksimal.
Dan yang lebih penting lagi untuk diperhatikan adalah perlunya penyiapan perangkat aturan hukum yang bukan hanya memiliki validitas namun juga harus efektif dan sesuai dengan nilai-nilai ajaran agama. Kemudian perlunya koordinasi yang intens (tidak parsial) antara pemerintah dengan Majelis Ulama dalam upaya prefentif menangkal sedini mungkin munculnya aliran sesat maupun untuk melakukan pembinaan secara berkelanjutan kepada masyarakat yang telah sadar dan mau bertobat, baik dengan dakwah agama maupun sosialisasi peraturan sehingga dengan adanya harmonisasi dan sinkronisasi hubungan kerja secara holistik ini diharapkan keimanan dan kesadaran hukum masyarakat akan meningkat dalam beragama maupun bermasyarakat.








[1] Antara News, 02 November 2007
[2] Sabili, 10 November 2003
[3] QS, Yunus: 32
[4] Sabili, 10 November 2003
[5] www.wawasandigital.com

[6] Prof. Dr. Mochtar Kusumaatmadja, SH, LL.M, Pengantar Ilmu Hukum, Alumni, Bandung, 1999, hal. 5.
[7] www.bangkapos.com
[8] Ibid, hal 2
[9] Ibid, hal 2
[10] Ibid, hal 2
[11] Hans Kelsen, General Theory of Law and State, Hlm 26
[12] Ibid, Hlm 289
[13] Ibid, Hlm 289
[14] Maria Farida, Ilmu Perundangundangan, Dasar-dasar dan Pembentukannya, Kanisius, Yogyakarta, 1998, hal 19.
[15] Mochtar Kusumaatmadja, Konsep-konsep Hukum Dalam Pembangunan, Alumni, Bandung, 2006, hal 38.
[16] Mochtar Kusumaatmadja, Pengantar Ilmu Hukum, Alumni, Bandung, 2000, hal 44
[17] Antara News, 01 November 2007
[18] Al-Baqarah (2):256.
[19] Yunus (10):99
[20] Al-Kahfi (18):29
[21] Al-An’am (6):108
[22] Al-Hajj (22):40
[23] Antara News, 02-11-2007
[24] Sahih Bukhari bi Syarhi ‘Aini, jilid 24, hal 79, dan As-Suyuti, Al-Jami’us Sagir, jilid 2 no. 8559
[25] Dr. Subhi Mahmassani, Konsep Dasar Hak-Hak Asasi Manusia Studi Perbandingan Syariat Islam dan Perundang-undangan Modern, Tintamas Indonesia, Jakarta, 1993, hal 97.
[26] Al-Imran (3): 104.
[27] An-Nahl (16): 125.
[28] An-Nahl (16): 90
[29] Al-Isra (17): 33.
[30] L.G. Saraswati dkk, Hak Asasi Manusia Teori, Hukum, Kasus, Filsafat UI Press, Jakarta, 2006, Hlm 433
[31] Ibid hlm 520.
[32] Ibid hlm 426
[33] Penjelasan UU No. 2 tahun 2002

Tidak ada komentar: