Rabu, 20 Agustus 2008

MALPRAKTIK Vs TAKDIR

PAGI itu seperti biasa Dokter Nefa melaksanakan kegiatan rutinitasnya visite memeriksa pasien-pasien yang sedang rawat inam di puskesmas. Dokter Nefa saat itu dibantu oleh Suster Novi ketika tiba-tiba datang seorang suami istri membawa putrinya yang berusia 10 tahun dengan tergopoh-gopoh.
“Anak ini kenapa, Pak ?” tanya Dokter Nefa dengan penuh ingin tahu.
“Anak saya ini sudah beberapa hari demam dan sekarang sudah tak sadarkan diri, Dok !” jelas ayah anak itu dengan cemas dan memelas memohon pertolongan dokter.
“Sus tolong infusnya segera dipasang”. Perintah Dokter Nefa kepada Suster Novi, sambil melakukan tensi pada pasien. Ternyata Dokter Nefa tidak dapat mengukur sistole dan diastole. Dipegangnya tangan pasien ternyata tubuh pasien agak dingin. Dia lihat pasien masih bernafas. Dirabanya denyut jantung pada nadi ditangan kiri pasien, namun tidak teraba. Dia buka mata pasien terlihat ada subkonjungtiva bleeding (perdarahan kecil) dan pada rongga hidung ada keluar sedikit darah. Dia juga melihat ada bintik-bintik merah kecil tersebar dilengan pasien.
“Infusnya juga susah dipasang Dok,” ujar Suster Novi dengan nada cemas.
“Cepat periksa Hb dan Trombositnya, Sus,” perintah Dokter Nefa sambil dengan cekatan mengambil alih tugas Suster Novi. Baru kali ini terlihat Dokter Nefa begitu khawatir menghadapi kondisi pasiennya. Dengan cepat Dokter Nefa mencari vena (pembuluh darah). Namun ternyata semua vena pasien colaps, mengkerut dan susah untuk dimasukkan jarum infus. Terpaksa dilakukan vena seksi, menyobek kulit untuk mencari vena tersebut, namun tiba-tiba pasien berhenti bernafas. Dokter Nefa langsung memeriksa pupil penderita dan terlihat myosis. Dia tekan arteri carotis (pembuluh darah dileher) tidak ada denyutan. Seketika itu juga Dokter Nefa terduduk sedih dan meneteskan air mata. Kepada kedua orang tua anak itu dijelaskan bahwa anak mereka menderita demam berdarah grade empat. Dokter sudah berusaha semaksimal mungkin, tetapi Tuhan berkehendak lain. Akhirnya walaupun berat hati ditinggal buah hati tercinta, mereka tetap tabah menerima kepergian anaknya dengan ikhlas.
Inilah yang disebut takdir, meskipun kita sudah berusaha dengan penuh optimisme namun kita semua hanya dapat berikhtiar tanpa mampu memastikan hasil akhir dari suatu upaya medis dan juga harus disadari bahwa masih banyak hal-hal yang belum kita fahami dalam kehidupan ini (et causa ignota).
Pada kasus yang lain, ada seorang anak lelaki berusia enam tahun dibawa ke UGD sebuah rumah sakit oleh ayahnya. Anak tersebut jatuh dari sebuah pohon di halaman belakang rumahnya. Ia mengalami cedera yang tampak seperti luka kecil dibagian pahanya, terlihat ada darah yang memancar keluar dari sumber luka itu. Saat itu keadaan di UGD sangat sibuk karena dibanjiri pasien. Setelah menunggu tiga jam, anak tersebut baru mendapat perawatan dan pengobatan. Setelah luka anak itu dijahit kemudian oleh dokter diperbolehkan pulang. Pada hari berikutnya anak tersebut mengalami demam dan tungkai yang cedera membengkek. Orang tua anak ini kembali membawanya ke dokter yang merawatnya, hasilnya dirujuk ke rumah sakit lain. Di rumah sakit ini, dilakukan bedah eksplorasi pada luka dan ditemukan serpihan kayu sepanjang 3 cm. Namun anak tersebut terlanjur mengalami nekrotik pada fasia (jaringan daging membusuk). Meskipun telah diberikan antibiotik, oksigen hiperbalik dan pembedahan berulang, sebagian besar tubuh anak itu telah terkena penyakit kerusakan jaringan. Akhirnya ia diamputasi dan akibat infeksi sistemik, ia juga mengalami buta sebagian dan kerusakan pada otak.
Pada kasus kedua ini tentu tidak dapat dikatakan bahwa ini merupakan takdir. Kegagalan mendapatkan riwayat kesehatan yang adekuat, yang dapat memberikan peringatan kemungkinan adanya serpihan kayu, tidak melakukan tindakan eksplorasi luka untuk menemukan debris dan tidak dilakukan cumputed tomography (CT) atau ultrasonografi untuk mengkaji serpihan kayu yang tertinggal didalam luka sebelum dijahit, adalah tindakan malpraktik. Fakta bahwa UGD sangat sibuk pada hari itu bukanlah alasan pembenar untuk memberikan perawatan dibawah standar karena semua pasien berhak mendapatkan perawatan seksama dan intervensi lain yang sesuai dan patut.
Dari sudut pandang hukum apabila perlakuan medis telah dilakukan dengan benar dan patut menurut standar profesi, dan standar operasional maka meskipun tanpa hasil penyembuhan yang diharapkan, tidaklah melahirkan malpraktik. Namun apabila setelah perlakuan medis dilakukan terjadi keadaan tanpa hasil sebagaimana diharapkan (tidak sembuh) atau menjadi lebih parah sifat penyakitnya disebabkan perlakuan medis yang menyalahi standar profesi dan standar operasional atau prinsip-prinsip umum kedokteran maka dokter dapat dianggap melakukan malpraktik.
Pasien berhak menuntut penggantian kerugian atas malpraktik dokter melalui gugatan perdata sebagai perbuatan wanprestasi (Pasal 1243 BW) dan perbuatan melawan hukum (Pasal 1365 BW) serta apabila akibat perbuatan tersebut sampai menimbulkan luka atau kematian maka terbentuk pertanggung jawaban pidana yang wujudnya bukan sekedar penggantian kerugian saja tetapi juga pemidanaan/strafbaar (Pasal 359 atau 360 KUHP).
Ancaman pidana atas suatu perbuatan yang dilakukan dengan sengaja (doleus) dan dengan tidak sengaja (culpoos) berbeda jauh. Ancaman pidana Pasal 338 KUHP bila dilakukan dengan sengaja, maksimum 15 tahun penjara namun atas obyek yang sama pada Pasal 359 KUHP yakni nyawa dan akibat yang sama yaitu menyebabkan hilangnya nyawa orang lain, maksimum 5 tahun penjara bila dilakukan dengan tidak sengaja.
Profesi kedokteran adalah bidang pekerjaan profesional yang mempunyai ciri utama keahlian profesi, kehati-hatian, tanggung jawab, dan kesejawatan. Dan dalam menjalankan praktik profesinya, didasarkan pada perilaku ingin berbuat baik demi kesembuhan pasien (doing good) dan tidak ada niat untuk menyakiti, mencederai, dan merugikan pasien apalagi membunuh (primum non nocere). Olehnya itu Prof Dr Indrianto Seno Adji SH berpendapat bahwa kelalaian yang sangat besar (tort/gross negligence) oleh dokter masuk dalam lingkup hukum pidana. Namun tidak setiap kelalaian/kesalahan dokter serta-merta dianggap sebagai malapraktik sehingga harus dijerat dengan hukum pidana.
Tidak semua akibat buruk penanganan medis (adverse events or bad result) bisa menyebabkan malpraktik. Ada 3 penanganan medis yang bukan malpraktik. Pertama, kejadian buruk yang pasien darita sudah diketahui ilmu kedokteran dan diterima semua khalayak (acceptable risk) contohnya minum obat batuk ada efek samping mengantuk atau pasien kanker yang mengalami penyinaran akan mengalami kebotakan. Kedua, resiko medis tersebut sudah diinformasikan oleh dokter kepada pasien atau keluarganya dan disetujui (informed consent). Ketiga, adalah yang disebut dengan kejadian buruk nir laik bayang (untoward result or unforesseeable) atau musibah medik. Kejadian buruk ini terjadi tanpa dokter mampu membayangkan atau memperkirakan sebelumnya hal itu terjadi, kendati dokter sudah cukup hati-hati sesuai dengan langkah-langkah baku dalam srtandar profesi dan standar operasional. Sebagai contoh Sindroma Steven Johnson yaitu ketika seseorang diberi suntikan atau obat, tiba-tiba timbul efek pada tubuh yang tidak biasa. Padahal, obat tersebut bila diberikan pada ribuan atau jutaan orang lain tidak memberikan efek samping yang buruk, bahkan obat tadi berkhasiat sehingga ribuan bahkan jutaan orang menjadi sembuh. Kejadian seperti ini benar-benar amat langka (hanya satu dari ribuan atau jutaan orang).
Ada juga kesalahan dokter yang tidak bisa disebut kesalahan hukum, yakni kekeliruan atau kemelesetan dokter (error of judgment). Diagnosisnya meleset karena keterbatasan peralatan medis, contoh kekeliruan mendiagnosis tuberkulosis dini di paru-paru pasien yang disebabkan karena membaca foto rontgen dada serial depan-belakang yang rutin dipakai sebagai standard, padahal bila memakai CT (computed tomografi) Scan, hal itu akan tampak jelas dan diagnosis akan lebih akurat.
Pada dasarnya, dengan konseling atau informasi yang memadai dari dokter, pasien atau keluarganya bisa menilai setiap langkah yang dilakukan dokter. Saat ini informed consent (persetujuan tindakan medis) semakin penting disediakan oleh dokter serta dipahami sepenuhnya oleh pasien/keluarganya sehingga tidak setiap kekecewaan dari hasil pelayanan medis menjadi kasus malapraktek.
Informasi ini hendaknya dapat dijadikan sebagai introspeksi bagi kita semua agar dapat menyikapai isu malpraktik dengan bijaksana dalam koridor hukum.
Seandainya manusia itu sempurna maka tak kan ada dokter yang digugat, tak akan ada polisi, pengacara, jaksa atau hakim yang gegabah, pun tak akan ada dendam dan sumpah serapah. Kalaulah manusia tahu tidak banyak yang ia tahu maka tentulah dokter akan berdoa dan pasienpun akan mengamini bahwa kesembuhan ada ditangan-Mu dan ajal hanyalah atas perkenan-Mu.

Tidak ada komentar: