Rabu, 20 Agustus 2008

HUKUM TENTANG PENCEGAHAN DAN PENANGGULANGAN

Apa yang selama ini kita khawatirkan akhirnya terjadi juga, Kota Ambon yang tadinya bebas flu burung akhirnya positif juga. Kasus kematian unggas secara mendadak di Kawasan Air Kuning Kebun Cengkeh dan beberapa tempat lainnya di Kota Ambon menandai awal sejarah kelam kota bertajuk Manise memasuki fase buram bagi dunia perunggasan di daerah ini bahkan bukan tidak mungkin dapat menjadi duka yang mendalam karena mengancam kelangsungan hidup anak negeri dimasa akan datang. Terlepas dari keakuratan atau tidak hasil uji laboratorium Maros maupun polimik yang terjadi seputar itu namun satu hal yang pasti bahwa penyakit ini telah menjadi momok bagi masyarakat bangsa kita dan dunia internasional secara keseluruhan.
Sejak tahun 2003 Pemerintah Indonesia bertempat di Departeman Kesehatan Jakarta telah mengumumkan pemberlakukan Undang-Undang Ancaman Wabah No. 4 Tahun 1984 karena adanya ancaman wabah SARS (Severe Acute Respiratory Syndrome) untuk itu kepada jajaran Depkes diminta untuk lebih ofensif dalam mengantisipasi penyebaran virus itu. Pemerintah akan menyiapkan dana berapapun untuk memerangi SASR dan untuk langkah pertama dana Depkes yang akan digunakan tegas Yusuf Kalla, yang kala itu masih menjabat Menko Kesra (Jakarta, Sinar harapan, Maret 2003).
Januari 2004, terjadi KLB unggas “flu burung” di seluruh Jawa, Lampung, Bali, Kalimantan Selatan, Kalimantan Tengah dan Kalimantan Barat. Pemerintah menetapkan flu burung sebagai bencana darurat nasional dan meminta persetujuan DPR untuk mengucurkan dana sebesar Rp. 212 milyar untuk penanggulangannya (www.ppmpl.depkes.go.id).
Dalam tahun yang sama, PBB telah memperingatkan bahwa flu burung lebih berbahaya dari SARS, karena kemampuan virus ini yang mampu membangkitkan hampir keseluruhan respon “bunuh diri” dalam sistem imunitas tubuh manusia.
Apabila dilihat dari sejarahnya flu burung, sebenarnya sudah ada sejak tahun 1960-an. Penularan virus asal unggas ke manusia mulai dilaporkan sejak 1968. Tahun 1997, pertama kali muncul di Hongkong dengan 18 orang dirawat di rumah sakit dan enam orang diantaranya meninggal dunia, kemudian menyebar ke Vietanam, dua juta unggas Vietnam dimusnahkan dan empat orang dinyatakan tewas oleh WHO sehingga jumlah korban akibat virus itu mencapai 16 orang salah satunya adalah bocah lima tahun asal Provinsi Nam Dinh, 60 mil selatan Hanoi. April 2003 penyakit ini mewabah di Belanda, Korea kemudian Thailand, Kamboja dan Taiwan dengan delapan kasus diantaranya meninggal. Januari 2004, penyebaran flu burung mencapai Jepang dan merajalela di kawasan 800 kilometer barat daya Tokyo, para pejabat di Jepang mengatakan, enam ribu ayam mati karena virus itu dan ribuan ayam terpaksa dibasmi. (Edy Sudibyo, SH, Flu Burung, 2004)
Sebetulnya apa dan bagaimanakah penyakit flu burung itu serta sehebat apakah bahaya yang ditimbulkannya sehingga jenis penyakit ini begitu ditakuti.

Sekilas Tentang Flu Burung
Flu Burung (Avian Influenza) adalah suatu penyakit menular yang disebabkan oleh virus influensa yang ditularkan oleh unggas, terdiri dari beberapa tipe dan terbagi lagi atas beberapa strain, diantaranya H1N1, H3N3, H5N1 dan lain-lain. Influensa A (H5N1) merupakan penyebab wabah virus flu burung di banyak negara seperti Hongkong, Vietnam, Thialand dan Jepang. Virus ini hidup didalam saluran pencernaan unggas. kemudian dikeluarkan bersama kotoran. Infeksi akan terjadi bila orang mendekatinya. Penularan diduga terjadi dari kotoran secara oral atau melalui saluran pernapasan. Orang yang terserang flu burung menunjukan gejala klinis seperti demam, sakit tenggorokan, batuk, nyeri otot sakit kepala, lemas dan kondisinya sangat cepat menurun drastis dengan terjadinya peradangan di paru-paru (Pneumonia). Bila tidak cepat ditolong, korban bisa meninggal dunia. Hasil studi yang ada menunjukkan, unggas yang sakit (oleh influenza A H5N1) dapat mengelurkan virus dengan jumlah besar dalam kotorannya. Virus tersebut dapat bertahan hidup di air sampai empat hari pada suhu 22 derajat celcius dan lebih dari 30 hari pada nol derajat celcius. Didalam kotoran dan tubuh unggas yang sakit virus dapat bertahan lebih lama, tapi mati pada pemanasan 600 derajat celcius selama 30 menit. Virus ini sendiri mempunyai masa inkubasi selama 1 – 3 hari.
Kemampuan virus flu burung adalah membangkitkan hampir seluruh keseluruhan respon “bunuh diri” dalam sistem imunitas tubuh manusia. Semakin banyak virus itu tereplikasi, semakin banyak pula sitoksin-protein yang memicu untuk peningkatan respon imunitas dan memainkan peran penting dalam peradangan yang diproduksi tubuh. Sitoksin yang membanjiri aliran darah, karena virus yang bertambah banyak, justru melukai jaringan-jaringan dalam tubuh – efek bunuh diri. (Levi Silalahi, berbagai sumber).
Mengingat begitu seriusnya bahaya yang ditimbulkan terhadap kesehatan manusia, maka tak heran penularan infeksi virus flu burung di tanah air menurut Menteri Kesehatan Siti Fadilah Supardi, telah mengalami peningkatan nyata dalam dua pekan terakhir sehingga secara kumulatif jumlah kasus flu burung sampai dengan Januari 2007 mencapai 79 kasus dan 61 diantaranya meninggal dunia. Mengatasi hal tersebut kebijakan yang diambil adalah Pemda diminta segera membuat peraturan daerah (perda) pendukung pelaksanaan Undang-Undang No. 4 tahun 1984 tentang Wabah Penyakit menular. Perda pendukung itu diharapakan dalam waktu paling lambat satu minggu, telah dapat dijalankan khususnya di tiga provinsi yaitu DKI Jakarta, Banten dan Jawa Barat (karena 80 % kasus flu burung berada di tiga wilayah tersebut). Demikian hasil rapat Komnas Flu Burung yang diikuti oleh Menteri Kesehatan, Menko Kesra, Dirjen Peternakan Deptan, Dirjen Pemerintahan Umum Depdagri, Ketua Komnas Flu Burung dan ketiga pemda tersebut. Ketentuan dimaksud akan menjadi payung hukum bagi pemerintah daerah untuk mengambil semua tindakan yang dianggap perlu untuk mencegah dan mengendalikan penularan infeksi virus flu burung termasuk melakukan pemusnahan unggas di daerah pemukiman untuk memutus mata rantai penularan virus mematikan itu (Jakarta, Bpost, Januari 2007).
Menteri Koordinator Kesejahteraan Rakyat Aburizal Bakrie, ketika menjelaskan hasil rapat, mengatakan peraturan larangan tersebut diberlakukan hanya untuk masyarakat yang memelihara unggas secara nonkomersial atau kurang dari 20 ekor (pemeliharaan unggas skala rumah tangga/backyard farming).

Undang-Undang Tentang Wabah Penyakit Menular
Undang-Undang No 4 Tahun 1984 tentang Wabah Penyakit Menular (pengganti UU No 6 Tahun 1962 tentang Wabah dan UU No. 7 Tahun 1968 tentang perubahan Pasal 3 UU No. 6 Tahun 1962) memang tidak secara spesifik mengatur tentang Wabah Flu Burung. Namun secara insplisit terakomudir di dalam undang-undang tersebut sebagai wabah penyakit menular sebagaimana di atur dalam Pasal 1 yaitu bahwa yang dimaksud dengan pengertian wabah penyakit menular adalah:
(a). “kejadian berjangkitnya suatu penyakit menular dalam masyarakat yang jumlah penderitanya meningkat secara nyata melebihi daripada keadaan lazim pada waktu dan daerah tertentu serta dapat menimbulkan malapetaka”
(b). “Sumber penyakit adalah manusia, hewan, tumbuhan, dan benda-benda yang mengandung dan/atau tercemar bibit penyakit, serta yang dapat menimbulkan wabah”.
Apabila jumlah penderita suatu penyakit menular meningkat melebihi keadaan yang lazim di suatu daerah dalam satuan waktu tertentu, dan dapat menimbulkan malapetaka, maka keadaan ini dapat dianggap sebagai suatu wabah. Dengan demikian satu kasus tunggal dari suatu penyakit menular yang lama tidak ditemukan, atau adanya penyakit baru yang belum diketahui sebelumnya di suatu daerah memerlukan laporan yang secepatnya disertai dengan penyelidikan epidemiologis. Apabila ditemukan penderita kedua dari jenis penyakit yang sama dan diperkirakan penyakit ini dapat menimbulkan malapetaka, maka keadaan, ini cukup merupakan indikasi (pertanda) untuk menetapkan daerah tersebut sebagai daerah wabah.
Untuk menetapkan daerah dalam wilayah Inonesia yang terjangkit wabah sebagai daerah wabah dan menetapkan jenis-jenis penyakit tertentu yang dapat menimbulkan wabah serta untuk mencabut penetapan daerah wabah jika dianggap telah aman dari wabah menjadi kewenangan Menteri Kesehatan. Tata cara pelaksanaan ketentuan sebagaimana dimaksud diatur dengan peraturan pemerintah (Pasal 4 ayat (1) ,(2) dan (3) UU No. 4 Tahun 1984.
Sesuai Pasal 5 Ayat (1) Upaya penanggulangan wabah mempunyai 2 (dua) tujuan pokok yaitu :
1. Berusaha memperkecil angka kematian akibat wabah dengan pengobatan.
2. Membatasi penularan dan penyebaran penyakit agar penderita tidak bertambah banyak, dan wabah tidak meluas kedaerah lain.
Upaya penanggulangan wabah di suatu daerah wabah haruslah dilakukan dengan mempertimbangkan keadaan masyarakat setempat antara lain : agama, adat, kebiasaan, tingkat pendidikan, sosial ekonomi, serta perkembangan masyarakat.Dengan memperhatikan hal-hal tersebut diharapkan upaya penanggulangan wabah tidak mengalami hambatan dari masyarakat, malah melalui penyuluhan yang intensif dan pendekatan persuasif edukatif, diharapkan masyarakat akan memberikan bantuannya, dan ikut serta secara aktif. Yang dimaksud dengan mengikutsertakan masyarakat secara aktif haruslah tidak mengandung paksaan, disertai kesadaran dan semangat gotong royong, dilaksanakan dengan penuh tanggungjawab
Agar tujuan tersebut dapat tercapai perlu dilakukan beberapa tindakan, yakni :
a. Penyelidikan epidemiologis, yaitu melakukan penyelidikan untuk mengenal sifat-sifat penyebabnya serta faktor yang dapat mempengaruhi timbulnya wabah.Dengan adanya penyelidikan tersebut, maka dapat dilakukan tindakan-tindakan penanggulangan yang paling berdaya guna dan berhasil guna oleh pihak yang berwajib dan/atau yang berwenang.
Dengan demikian wabah dapat ditanggulangi dalam waktu secepatnya, sehingga meluasnya wabah dapat dicegah dan jumlah korban dapat ditekan serendah-rendahnya.
b. Pemeriksaan, pengobatan, perawatan dan isolasi penderita termasuk tindakan karantina adalah tindakan-tindakan yang dilakukan terhadap penderita dengan tujuan
1. Memberikan pertolongan medis kepada penderita agar sembuh dan mencegah agar mereka tidak menjadi sumber penularan;
2. Menemukan dan mengobati orang yang nampaknya sehat, tetapi mengandung penyebab penyakit sehingga secara potential dapat menularkan penyakit ("carrier").
c. Pencegahan dan pengebalan adalah tindakan-tindakan yang dilakukan untuk memberi perlindungan kepada orang-orang yang belum sakit, akan tetapi mempunyai risiko untuk terkena penyakit.
d. Yang dimaksud dengan penyebab penyakit adalah bibit penyakit yakni bakteri, virus, dan lain-lainnya yang menyebabkan penyakit.
Dalam pemusnahan penyebab penyakit, kadang-kadang harus dilakukan pemusnahan terhadap benda-benda, tempat-tempat dan lain-lain yang mengandung kehidupan penyebab penyakit yang bersangkutan, misalnya sarang berkembang biak nyamuk, sarang tikus, dan lain-lain.
e. Penanganan jenazah apabila kematiannya disebabkan oleh penyakit yang menimbulkan wabah atau jenazah tersebut merupakan sumber penyakit yang dapat menimbulkan wabah harus dilakukan secara khusus menurut jenis penyakitnya tanpa meninggalkan norma agama serta harkatnya sebagai manusia.
f. Penyuluhan kepada masyarakat adalah kegiatan komunikasi yang bersifat persuasif edukatif tentang penyakit yang dapat menimbulkan wabah agar mereka mengerti sifat-sifat penyakit, sehingga dengan demikian dapat melindungi diri dari penyakit tersebut dan apabila terkena, tidak menular kepada orang lain.Selain dari pada itu penyuluhan dilakukan agar masyarakat dapat berperan serta secara aktif dalam menanggulangi wabah.
g. Upaya penanggulangan lainnya adalah tindakan-tindakan yang dilakukan dalam rangka penanggulangan wabah, yakni bahwa untuk masing-masing penyakit dilakukan tindakan- tindakan khusus.
Upaya penanggulangan wabah sebagaimana dimaksud tersebut dilaksanakan dengan tetap memperhatikan kelestarian lingkungan hidup.
Menyangkut dengan Pengelolaan bahan-bahan yang mengandung penyebab penyakit dan dapat menimbulkan wabah diatur dengan Peraturan Pemerintah. usaha-usaha tersebut meliputi antara lain : pemasukan, penyimpanan, pengangkutan, penggunaan, penelitian, dan pemusnahannya. Sedangkan yang dimaksud dengan bahan-bahan yang mengandung penyebab penyakit dan dapat menimbulkan wabah antara lain adalah : spesimen, bahan yang tercemar kuman, bahan yang mengandung toksin. Bahan tersebut digunakan untuk keperluan penegakan diagnosa di laboratorium maupun untuk percobaan dan penelitian.
Pengaturan menyangkut hak dan kewajiban pemerintah maupun masyarakat, didalam Pasal 8 disebutkan bahwa :
(1). “Kepada mereka yang mengalami kerugian harta benda yang diakibatkan oleh upaya penanggulangan wabah sebagaimana dimaksud dalam Pasal 5 ayat (1) dapat diberikan ganti rugi.
(2) “Pelaksanaan pemberian ganti rugi sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) diatur dengan Peraturan Pemerintah”
Pengertian harta benda dalam pasal ini antara lain: rumah, ternak, peternakan, tanaman, ladang, dan lain-lain. Ganti rugi diberikan oleh Pemerintah secara memadai, dengan mengutamakan golongan masyarakat yang kurang mampu dan diatur dengan peraturan pemerintah.
Sementara kepada para petugas tertentu yang melaksanakan upaya penanggulangan wabah dapat diberikan penghargaan atas risiko yang ditanggung dalam melaksanakan tugasnya. Petugas tertentu yang dimaksud dalam pasal ini adalah setiap orang, baik yang berstatus sebagai pegawai negeri maupun bukan, yang ditunjuk oleh yang berwajib dan/atau yang berwenang untuk melaksanakan penanggulangan wabah. Sedangkan penghargaan yang diberikan dapat berupa materi dan/atau bentuk lain. Pelaksanaan pemberian penghargaan dimaksud diatur dengan Peraturan Pemerintah.
Dalam melaksanakan upaya penanggulangan wabah, menjadi kewajiban Pemerintah untuk bertanggung jawab sesuai amanat Pasal 10. Berhubung dengan pentingnya penanggulangan wabah ini, maka biaya yang diperlukan ditanggung oleh Pemerintah. Pada prinsipnya Pemerintah Pusat yang berkewajiban membiayai, terutama terhadap wabah-wabah yang luas, dengan tidak mengurangi kewajiban Pemerintah Daerah, swasta atau masyarakat, dan hal ini diatur dalam Peraturan Pemerintah sebagaimana dimaksud dalam Pasal 5 ayat (3).

Pasal 13
Barang siapa mengelola bahan-bahan yang mengandung penyebab penyakit dan dapat menimbulkan wabah, wajib mematuhi ketentuan-ketentuan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 7.

Sanksi Pidana
Undang-Undang No. 4 Tahun 1984 juga mengatur tentang ketentuan pidana. Disebutkan dalam Pasal 14 bahwa :
(1) Barang siapa dengan sengaja menghalangi pelaksanaan penanggulangan wabah sebagaimana diatur dalam Undang-Undang ini, diancam dengan pidana penjara selama-lamanya 1 (satu) tahun dan/atau denda setinggi-tingginya Rp 1.000.000,- (satu juta rupiah).
(2) Barang siapa karena kealpaannya mengakibatkan terhalangnya pelaksanaan penanggulangan wabah sebagaimana diatur dalam Undang-Undang ini, diancam dengan pidana kurungan selama-lamanya 6 (enam) bulan dan/atau denda setinggi-tingginya Rp 500.000,- (lima ratus ribu rupiah).
(3) Tindak pidana sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) adalah kejahatan dan tindak pidana sebagaimana dimaksud dalam ayat (2) adalah pelanggaran.

Pasal 15
(1) Barang siapa dengan sengaja mengelola secara tidak benar bahan-bahan sebagaimana diatur dalam Undang-Undang ini sehingga dapat menimbulkan wabah, diancam dengan pidana penjara selama-lamanya 10 (sepuluh) tahun dan/atau denda setinggi-tingginya Rp 100.000.000,- (seratus juta rupiah).
(2) Barang siapa karena kealpaannya mengelola secara tidak benar bahan-bahan sebagaimana diatur dalam Undang-Undang ini sehingga dapat menimbulkan wabah, diancam dengan pidana kurungan selama-lamanya 1 (satu) tahun dan/atau denda setinggi-tingginya Rp 10.000.000,- (sepuluh juta rupiah).
(3) Apabila tindak pidana sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) dilakukan oleh suatu badan hukum, diancam dengan pidana tambahan berupa pencabutan izin usaha.
(4) Tindak pidana sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) adalah kejahatan dan tindak pidana sebagaimana dimaksud dalam ayat (2) adalah pelanggaran.
Wabah (termasuk dalam hal ini flu burung) yang menimbulkan malapetaka yang menimpa umat manusia dari dulu sampai sekarang maupun masa mendatang tetap merupakan ancaman terhadap kelangsungan hidup dan kehidupan.Selain wabah membahayakan kesehatan masyarakat, karena dapat mengakibatkan sakit, cacad dan kematian, juga akan mengakibatkan hambatan dalam pelaksanaan pembanguunan nasional. Kesehatan merupakan komponen dari kesejahteraan, karena manusia yang sehat mampu melaksanakan pembangunan. Jadi Undang-Undang ini sekaligus menyangkut upaya menggali atau meningkatkan sumber daya manusia dalam pembangunan dan meningkatkan ketahanan nasional.jelaslah bahwa maksud dan tujuan Undang-Undang ini adalah untuk melindungi penduduk dari malapetaka yang ditimbulkan wabah sedini mungkin, dalam rangka meningkatkan kemampuan masyarakat untuk hidup sehat.

Undang-Undang Tentang Peternakan dan Kesehatan Hewan
Selain undang-undang diatas, Indonesia juga telah memiliki Undang-Undang No. 6 Tahun 1967 tentang Ketentuan-ketentuan Pokok Peternakan dan Kesehatan Hewan. Pengertian hewan disini adalah semua binatang, yang hidup di darat, baik yang dipelihara maupun yang hidup secara liar; sedangkan pengertian penyakit hewan menular: ialah penyakit hewan, yang membahayakan oleh karena secara cepat dapat menjalar dari hewan pada hewan atau pada manusia dan disebabkan oleh virus, bakteri, cacing, protozoa dan parasit; Jika demikian maka flu burung juga termasuk dalam pengertian tersebut. Sehingga pemberlakuan UU No. 4 Tahun 1984 haruslah terintegrasi bersama-sama dengan UU No. 6 Tahun 1967 tentang Ketentuan-ketentuan Pokok Peternakan dan Kesehatan Hewan. Keterpaduan ini penting sebab Negara Republik Indonesia yang agraris tidak lepas dari soal peternakan dan oleh karena itu Pemerintah wajib memajukannya, setidak-tidaknya mencegah penyakit-penyakit hewani, baik yang menular maupun yang tidak menular, sebab tanpa usaha itu rakyat akan kehilangan sumber protein-hewani yang diperlukan, padahal sumber yang dimaksud berada di tangan rakyat sendiri. Memperkembangkan ternak secara sehat dan wajar merupakan salah satu syarat untuk menjaga dan mempertahankan dasar agraris negara kita, sebab ternak dan alam selain ada hubungan timbal-balik, terdapat pula adanya keseimbangan yang perlu diperhatikan dan dipelihara. Dalam kesehatan hewani itulah perlu adanya keseimbangan antara alam dan ternak, yang membuka perspektif lain, yaitu produksi obat-obatan untuk ternak, perkembangan teknologi baru disamping hygiene, yang kesemuanya itu akan membawa masyarakat Indonesia pada taraf hidup yang lebih tinggi. Bila sementara ini banyak obat-obatan yang masih diimpor, maka dikandung maksud untuk mengadakan penyelidikan sedemikian rupa, sehingga obat-obatan itu akhirnya dapat kita buat sendiri, termasuk didalamnya vaksin flu burung sesuai amanat Pasal 23 yaitu:
(1) Pemerintah menyediakan obat-obatan dalam jumlah yang cukup serta mengatur dan mengawasi perbuatan, persediaan, peredaran serta pemakaiannya.
(2) Mengadakan penyelidikan-penyelidikan ilmiah bahan-bahan obat-obatan hewani.
Kini Departemen Kesehatan (Depkes) bekerja sama dengan Baxter Healthcare, perusahaan farmasi yang berbasis di Swiss, untuk pengembangan vaksin virus H5N1. Nota kesepahamannya ditandatangani Kepala Badan Litbang Kesehatan Depkes, Triono Soendoro, dan Presiden Bidang Pengembangan Vaksin Baxter, Kim C. Bush, Selasa lalu.Vaksin baru ini akan digunakan untuk menumpas virus flu burung strain (varian) Indonesia. Dalam kerja sama ini, Depkes akan menyediakan spesimen klinis virus H5N1. Sementara Baxter akan melakukan alih teknologi yang meliputi formulasi, pengisian, dan penyelesaian vaksin flu burung yang disebut A/Indonesia/5/2005. Depkes akan memiliki hak memproduksi dan memasarkan vaksin A/Indonesia/5/2005 itu di seluruh Indonesia (Kesehatan, Gatra Nomor 14 Kamis, 15 Februari 2007).
Disamping upaya memproduksi vaksin yang terpenting juga adalah upaya-upaya yang harus dilakukan seperti usaha penolakan dan pencegahan penyakit. Hal ini dapat dilakukan melalui beberapa 4 fase sebagaimana diatur dalam Pasal 20 UU. No. 6 Tahun 1967 yaitu:
(1) Penolakan penyakit hewan meliputi kegiatan-kegiatan penolakan masuknya suatu penyakit hewan ke dalam wilayah Republik Indonesia.
Tindakan itu meliputi:
a. pelarangan pemasukan jenis ternak yang tertentu dari daerah tertentu yang tekenal sebagai sumber sesuatu penyakit; misalnya pelarangan pemasukan sapi dari Australia berhubung dengan penyakit pleuropneumonia contagiosabovum.
b. pelarangan pemasukan bahan-bahan makanan berasal dari ternak yang dapat dianggap sebagai bahan penyebar penularan. Begitu juga alat-alat yang dapat dipakai pemiaraan hewan seperti pakaian, tali dan lain-lainnya, makanan ternak seperti rumput (kering) makanan penguat dan lain-lainnya atau bagian-bagian hewan seperti kulit, tulang, bulu dan lain-lainnya.
c. pemeriksaan kapal-kapal yang akan berlabuh dapat digolongkan usaha ini. Usaha-usaha ini diatur dalam pasal 20 ayat (1).
(2) Pencegahan penyakit hewan meliputi:
a. karantina;
b. pengawasan lalu-lintas hewan;
c. pengawasan atas impor dan ekspor hewan;
d. pengebalan hewan;
e. pemeriksaan dan pengujian penyakit;
f. tindakan hygiene.
(3) Pemberantasan penyakit hewan meliputi usaha-usaha:
a. penutupan suatu daerah tertentu untuk keluar dan masuknya hewan;
b. pembatasan bergerak dari hewan di daerah itu;
c. pengasingan hewan sakit atau yang tersangka sakit;
d. pembinasaan hewan hidup atau mati, yang ternyata dihinggapi penyakit menular.
(4) Pengobatan penyakit hewan meliputi usaha-usaha:
a. pengawasan dan pemeriksaan hewan;
b. penyediaan obat-obatan dan immum-sera oleh Pemerintah atau swasta, baik dari dalam maupun luar negeri;
c. urusan-urusan pemakaian obat-obatan dan immum-sera.

Kewenangan Pemerintah Daerah
Keempat phase ini merupakan suatu kesatuan-program penolakan, pencegahan dan pemberantasan penyakit hewan. Di dalam pelaksanaan usaha-usaha di atas, ada beberapa usaha yang harus tinggal di tangan Pemerintah Pusat, antara lain penolakan penyakit dan Karantina. Dilakukan dengan dukungan kerja sama dengan Pemerintah Daerah
Menyangkut dengan kesehatan masyarakat veteriner, diatur didalam Pasal 21 yaitu: Untuk kepentingan pemeliharaan kesehatan manusia dan ke ketentraman bathin masyarakat, sebagaimana termaksud pada pasal 19 ayat (2), maka dengan Peraturan Pemerintah ditetapkan ketentuan-ketentuan tentang:
a. pengawasan pemotongan hewan;
b. pengawasan perusahaan susu, perusahaan unggas, perusahaan babi;
c. pengawasan dan pengujian daging, susu dan telur;
d. pengawasan pengolahan bahan makanan yang berasal dari hewan;
e. pengawasan dan pengujian bahan makanan yang berasal dari hewan yang diolah;
f. pengawasan terhadap "Bahan-bahan Hayati" yang ada sangkut-pautnya dengan hewan, bahan-bahan pengawetan makanan dan lain-lain.
Beberapa peraturan pelaksanaan yang berkaitan dengan hal tersebut teristimewa hewan unggas juga telah ada seperti:
Keputusan Menteri Pertanian No. 557/kpts/TN.520/9/1987 tentang Syarat-Syarat Rumah Pemotongan Unggas dan Usaha Pemotongan Unggas
Keputusan Menteri Pertanian No. 306/kpts/TN.330/4/1994 tentang Pemotongan Unggas dan Penanganan Daging serta Hasil Ikutannya.

Kewajiban Pemerintah daerah antara lain diatur dalam Pasal 11, 12 dan 13 yaitu:
(1) Barang siapa yang mempunyai tanggung jawab dalam lingkungan tertentu yang mengetahui adanya penderita atau tersangka penderita penyakit sebagaimana dimaksud dalam Pasal 3, wajib melaporkan kepada Kepala Desa atau Lurah dan/atau Kepala Unit Kesehatan terdekat dalam waktu secepatnya.
(2) Kepala Unit Kesehatan dan/atau Kepala Desa atau Lurah setempat sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) masing-masing segera melaporkan kepada atasan langsung dan instansi lain yang bersangkutan.
Pengertian barang siapa dalam ayat ini bukan berarti setiap orang, karena dalam pengertian ini dikaitkan dengan lingkungan yang menjadi tanggung jawabnya, sehingga mempunyai pengertian yang terbatas, yaitu kepala keluarga, ketua rukun tetangga, kepala sekolah, kepala asrama, kepala (direktur) perusahaan, kepala stasiun kereta api, kepala terminal angkutan kendaraan bermotor, nakoda kendaraan air dan udara, dan sebagainya atau wakilnya. Dan Kepala Wilayah/Daerah, yaitu Gubernur/Kepala Daerah Tingkat I, Bupati/Walikotamadya/ Kepala Daerah Tingkat II, Camat sebagai penanggung jawab wilayah. Dengan bantuan perangkat pelayanan kesehatan yang ada di wilayahnya, wajib segera melaksanakan tindakan penanggulangan seperlunya antara lain meliputi :
a. isolasi, pemeriksaan dan pengobatan terhadap penderita;
b. pembentukan tim gerak cepat dan penggerakannya;
c. penghapushamaan lingkungan, misalnya kaporisasi sumur;
d. vaksinasi dan kalau perlu evakuasi masyarakat;
e. penutupan daerah/lokasi yang tersangka terjangkit wabah;
f. dan lain-lain tindakan yang diperlukan.
Kepala Wilayah (Camat) memberikan tugas dan tanggung jawab kepada Kepala Desa atau Lurah untuk melaksanakan tindakan penanggulangan seperlunya.
(3) Tata cara penyampaian laporan sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) dan ayat (2) serta tata cara penyampaian laporan adanya penyakit yang dapat menimbulkan wabah bagi nakoda kendaraan air dan udara, diatur dengan peraturan perundang-undangan.

Pasal 12.
(1) Kepala Wilayah/Daerah setempat yang mengetahui adanya tersangka wabah di wilayahnya atau adanya tersangka penderita penyakit menular yang dapat menimbulkan wabah, wajib segera melakukan tindakan-tindakan penanggulangan seperlunya.
(2) Tata cara penanggulangan sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) diatur dengan peraturan perundang-undangan.

Di dalam usaha kita mengambil manfaat dari ternak ini hendaknya kita jangan lupa kepada kesejahteraan dari ternak itu sendiri.Tempat dan perkandangan, Pengawasan dan Pemotongan Ternak, dan lain-lain. Peraturan-peraturan mengenai soal ini dikeluarkan oleh Pemerintah Daerah. Diusahakan, agar dalam soal ini, jangan sampai tersinggung perasaan dan ketenteraman masyarakat. Sungguhpun begitu syarat-syarat harus sesuai dengan daya kemampuan rakyat, dan dijaga agar peraturan-peraturan itu jangan sampai menjadi penghalang produksi atau peningkatan reduksi.
Sebagai masukan tidak ada salahnya juga kalau kita dapat mengadopsi beberapa Peraturan Daerah DKI Jakarta sepanjang sesuai dengan kondisi permasalahan di daerah seperti:
Perda DKI Jakarta No. 8 Tahun 1989 tentang Pengawasan Pemotongan Ternak, Perdagangan Ternak dan Daging di Wilayah DKI Jakarta.
Perda DKI Jakarta No. 5 Tahun 1992 tentang Penampungan dan Pemotongan Unggas serta Peredaran Daging Unggas di Wilayah DKI Jakarta.
Dan Keputusan Gubernur DKI Jakarta No. 459/1996 tentang Petunjuk Pelaksanaan Penampungan dan Pemotongan Unggas serta Peredaran Daging Unggas di Wilayah DKI Jakarta.
Antisipasi wabah flu burung di Provinsi Maluku adalah harga mati yang sudah tidak bisa ditawar lagi. Semua aturan telah ada, kerja sama semua pihak mutlak diperlukan. Kinerja DPRD dan Pemerintah Daerah tidak lagi harus sebatas dengar pendapat namun sudah harus action, jang sampe su kajadian lalu orang bilang sio ale dong su tarlambat.





.



Tidak ada komentar: