Kamis, 14 Agustus 2008

MENGAKSES KEADILAN DI PERADILAN FORMAL MENURUT RUU PWP

Apresiasi yang tinggi kiranya patut diberikan kepada Bapak Alex Retraubun, Direktur Pesisir dan Pulau-Pulau Kecil Departemen Kelautan dan Perikanan, karena walaupun lembaga yang dipimpinnya ini masih terbilang baru di jajaran departeman tersebut namun telah mempu menghasilkan Rancangan Undang-Undang tentang Pengelolaan Wilayah Pesisir (RUU-PWP) yang direncanakan pada tahun 2007 sudah dapat diundangkan.

Jika mengingat kembali sosialisasi RUU PWP yang beliau laksanakan bebarapa waktu lalu di Hotel Wijaya Ambon maka sangatlah tepat pemikiran yang disampaikan bahwa Propinsi Maluku sangat berkepentingan sekali dengan keberadaan RUU PWP karena sebagai Propinsi Kepulauan tentunya konsep pembangunanya akan mengacu kepada aspek pengelolaan wilayah pesisir yang berkelanjutan dan untuk itu perlu adanya landasan hukum yang jelas mengenai mengaturannya. Dengan adanya Rancangan Undang-Undang ini akan memberikan angin segar bagi arah kebijakan publik yang lebih berorientasi pada pesisir dan pulau-pulau kecil, dengan demikian gerak pembangunan di wilayah pesisir khususnya di Propinsi Seribu Pulau ini dapat dikonsolidasikan dan disinkronisasikan sehingga hasil sumber daya di lingkungan pesisir dapat termanfaatkan secara lebih optimal dan terpadu, dan fokus pembangunan yang dilakukan oleh pelaku serta stekholder di sektor lain dapat lebih ditujukan pada kepentingan pesisir.
Mengingat pentingnya Pengelolaan di Wilayah Pesisir bagi Maluku maka dalam kesempatan tersebut beliau sangat mengharapkan masukan dan saran dari orang Maluku demi penyempurnaan RUU dimaksud.
Untuk menindaklanjuti harapan beliau tersebut maka tulisan ini diharapkan sedikit banyak dapat dijadikan in put dari hasil sosialiasi RUU PWP, dilihat dari sudut pandang/aspek hukum khususnya berkaitan dengan Pasal 55 RUU PWP tentang Penyelesaian Sengketa dalam Peradilan Formal.
Melihat realitas kondisi sumber daya pesisir dalam dekade belakangan ini yang sungguh sangat memprihatinkan, penyebabnya antara lain akibat dampak negatif dari aktifitas pembangunan yang tak terkendali disamping tingginya laju kepadatan penduduk yang melahirkan kantong kantong kemiskinan yang umumnya tumbuh di daerah-daerah pesisir. Daya dukung kemampuan sumber daya pesisir lambat laun semakin tereksploitasi dan terdegradasi sehingga kerusakan yang terjadi pada ekosistem mangrove, terumbu karang, padang lamun, teluk dan estuari telah menjadi pemandangan yang biasa terlihat dimana-mana dan tak heran setiap hari kita selalu disuguhi dengan berita-berita tentang pencemaran dan kerusakan lingkungan lainnya yang menghiasi wajah berbagai media informasi kita. Menurut Rukhmin Dahuri (Pengelolaan Sumber Daya Wilayah Pesisir dan Lautan Secara Terpadu, Jakarta, 2004), Kalaupun selama ini kita manfaatkan sumber daya hayati, cara-cara yang ditempuh juga sebagian besar bersifat destruktif (merusak), kurang mengindahkan aspek kelestarian, dan kurang menerapkan IPTEK yang tepat maupun management profesional. Belum lagi dari sudut pandang pembangunan berkelanjutan (sustainable development) pengelolaan sumber daya pesisir dan lautan di Indonesia dihadapkan pada kondisi yang bersifat mendua, atau berada di persimpangan jalan. Disatu pihak ada beberapa kawasan pesisir yang telah dimanfaatkan (dikembangkan) dengan intensif, sehingga indikasi telah terlampauinya daya dukung atau kapasitas berkelanjutan (potensi lestari) dari ekosistem pesisir dan lautan, seperti pencemaran, tangkap berlebih (over fishing), degradasi fisik habitat pesisir dan abrasi pantai, telah muncul di kawasan-kawasan pesisir dimaksud, fenomena ini telah dan masih berlangsung terutama di kawasan-kawasan pesisir yang padat penduduk dan tinggi tingkat pembangunannya, seperti Selat Malaka, Pantai Utara Jawa, Bali dan Sulawesi Selatan. Dilain pihak, masih banyak kawasan pesisir dan lautan Indonesia yang tingkat pemanfaatannya belum optimal atau bahkan belum terjamah sama sekali, kondisi semacam ini pada umumnya dapat dijumpai diluar Jawa dan Bali, terutama di Kawasan Timur Indonesia (KTI). Misalnya sumber daya perikanan, terutama ikan tuna dan cakalang di ZEE ; ikan-ikan karang (napoleon, kerapo, dan lobster) disekitar Tarakan dan pulau Derawan Kalimantan Timur, dan Irian Jaya ; serta udang di Laut Arafura, banyak sekali yang justru dimanfaatkan oleh nelayan asing. Kemudian ditambah lagi dengan adanya kecendrungan berbagai pihak (stakeholder) seperti instansi pemerintah, dunia usaha dan masyarakat untuk meregulasi dan memanfaatkannya. Masing-masing pihak terkait yang menyusun perencanaan wilayah pesisir tanpa mempertimbangkan perencanaan yang disusun pihak lain, khususnya di wilayah pesisir yang berkembang pesat, sehingga memicu kompetisi pemanfaatan dan tumpang tindih perencanaan yang bermuara pada konflik pengelolaan. Konflik ini semakin berkembang akibat lemahnya kemampuan pemerintah dalam mengkoordinasikan berbagai perencanaan sektor dan swasta. Bila konflik ini terus berlangsung, akan mengurangi efektifitas pengelolaanya, sehingga sumber daya pesisir dapat mengalami degradasi biofisik.
Langkah perbaikan ke arah itu kini mulai dirintis oleh pemerintah khususnya Departemen Kelautan dan Perikanan dimulai dengan mengembangkan sistem pengelolaan wilayah pesisir secara terpadu melalui upaya efisiensi dan efektifitas serta menghindari adanya konflik dalam pengelolaan wilayah pesisir maupun menghindari adanya proses marginalisasi masyarakat pesisir. Untuk mengintegrasikan berbagai kepentingan dalam perencanaan pembangunan wilayah pesisir yang bersumber dari kepentingan berbagai sektor, adanya tumpang tindih pengelolaan, minimalisasi konflik pemanfaatan yang berkaitan dengan implemetasi kewenangan sektor, dan hal-hal lain yang berkembang dalam proses pembangunan di wilayah pesisir, maka diperlukan adanya suatu kepastian hukum dalam bentuk Undang-Undang sebagai arah penetapan kebijakan publik di wilayah pesisir.
Rancangan Undang-Undang ini diharapkan dapat mengakselerasi pembangunan di wilayah pesisir dan mereduksi laju kerusakan sumberdaya pesisir, karena Rancangan Undang-Undang ini memuat berbagai hal baru, antara lain, pengaturan tentang perencanaan, pelaksanaan, dan pengendalian pemanfaatan sumber daya pesisir termasuk pemberian sanksi bagi pelaku-pelaku yang merusak sumberdaya pesisir tersebut, serta kewajiban pemerintah untuk melakukan pemberdayaan masyarakat dan peningkatan kesejahteraan masyarakat pesisir.
Didalam BAB XI RUU PWP diatur Hak Masyarakat di Pengadilan untuk menuntut keadilan bila merasa dirugikan oleh setiap orang dan atau penaggung jawab perbuatan yang melanggar hukum dan mengakibatkan kerusakan di wilayah pesisir (Pasal 57). Hak masyarakat tersebut dapat diajukan dalam bentuk Gugatan Perwakilan (Pasal 59), sedangkan tata cara pengajuan gugatan dalam masalah pengelolaan wilayah pesisir oleh organisasi kemasyarakatan mengacu pada peraturan perundang-undangan (Pasal 61). Hak untuk menggugat ke pengadilan, memberikan akses kepada masyarakat untuk mendapatkan keadilan
Namun pada sisi lain, hak masyarakat ini dipasung dengan adanya pembatasan akses ke pengadilan karena adanya persyaratan yang ditentukan sebagaimana ditegaskan dalam Pasal 55 yaitu bahwa “Gugatan melalui pengadilan hanya dapat ditempuh apabila upaya penyelesaian sengketa di luar pengadilan dinyatakan tidak berhasil oleh salah satu atau para pihak yang sedang terlibat sengketa”. Hal ini berarti adanya suatu upaya untuk menutup akses masyarakat dalam mendapatkan keadilan melalui jalur pengadilan formal dengan menentukan adanya suatu keharusan/persyaratan, yaitu gugatan itu hanya boleh diajukan apabila penyelesaian sengketa diluar pengadilan mengalami jalan buntu.

Pada dasarnya setiap warga negara berhak untuk memperoleh keadilan dan hak tersebut dijamin dalam UUD 1945, sebagaimana diatur dalam Undang-Undang Dasar 1945 sebagai berikut
Pasal 27
(1) Segala warga negara bersamaan kedudukannya di dalam hukum dan pemerintahan dan wajib menjunjung hukum dan pemerintahan itu dengan tidak ada kecualinya.
Pasal 28 D
(1) Setiap orang berhak atas pengakuan, jaminan, perlindungan, dan kepastian hukum yang adil serta perlakuan yang sama dihadapan hukum.

Pasal 28 H
(2) Setiap orang berhak mendapat kemudahan dan perlakuan khusus untuk memperoleh kesempatan dan manfaat yang sama guna mencapai persamaan dan keadilan

Pasal 28 I
(1) Hak untuk hidup, hak untuk tidak disiksa, hak untuk kemerdekaan pikiran dan hati nurani, hak beragama, hak untuk tidak diperbudak, hak untuk diakui sebagai pribadi dihadapan hukum, dan hak untuk tidak dituntut atas dasar hukum yang berlaku surut adalah hak asasi manusia yang tidak dapat dikurangi dalam keadaan apapun
(2) Setiap orang bebas dari perlakuan yang bersifat diskriminatif atas dasar apapun dan berhak mendapatkan perlindungan terhadap perlakuan yang bersifat diskriminatif itu

Berdasarkan pada pasal-pasal tersebut diatas maka Pasal 55 RUU PWP sangat bertentangan dengan UUD 1945 karena telah membatasi hak warga masyarakat untuk memperoleh keadilan di peradilan formal, karena hak untuk mendapatkan keadilan dan perlakuan yang sama dihadapan hukum adalah hak asasi manusia yang tidak dapat dikurangi dalam keadaan apapun. Termasuk pengertian ini adalah tanpa harus ada embel-embel ada atau tidak adanya upaya penyelesaian diluar pengadilan dan juga tidak bergantung pada berhasil atau tidaknya upaya penyelesaian di luar pengadilan tersebut.
Pembatasan seperti itu mestinya tidak perlu ada karena upaya penyelesaian secara damai diluar pengadilan juga dapat dilakukan bersamaan, seiring dengan proses penyelesaian sengketa di pengadilan. Pada proses di pengadilanpun masih tetap terbuka kemungkinan untuk dapat ditempuh upaya penyelesaian secara damai sepanjang belum adanya keputusan pengadilan yang berkekuatan hukum tetap. Hal ini sesuai dengan Pasal 154 ayat (1) Rbg/Pasal 130 ayat (1) HIR yaitu bahwa “Hakim diwajibkan untuk mengusahakan terjadinya perdamaian diantara para pihak”. Apabila dalam proses ini tercapai perdamaian maka proses pemeriksaan dapat diakhiri dan terhadap perdamaian tersebut dapat melahirkan persetujuan perdamaian dalam dua bentuk yaitu Perjanjian Perdamaian biasa (Pasal 1851 KUHPerdata) dan Akta Perdamaian yang dilakukan dengan putusan pengadilan (Pasal 154 ayat (2) Rbg/Pasal 130 ayat (2) HIR. Akibat hukum yang timbul atas perdamaian dimaksud memiliki kekuatan seperti suatu putusan hakim sebagaimana diatur dalam Pasal 1858 KUHPerdata yaitu bahwa “Diantara pihak-pihak yang bersangkutan, suatu perdamaian mempunyai kekuatan seperti suatu keputusan Hakim dalam tingkat akhir”.
Jadi meskipun disadari bahwa maksud adanya pembatasan tersebut terkandung niat baik dari pembuat undang-undang karena mungkin menganggap proses di pengadilan akan memakan waktu yang lama dan berbelit-belit, belum lagi biaya yang dikeluarkan relatif mahal serta tidak semua masyarakat memahami prosedur beracara di pengadilan sehingga diprioritaskan untuk penyelesaian sengketanya dilakukan di luar pengadilan dengan menggunakan berbagai alternatif penyelesaian seperti melalui mekanisme yang diatur dalam Pasal 54 yaitu dengan cara negosiasi, mediasi, konsiliasi, arbitrase, penilaian ahli dan adat/tradisional/kearifan lokal. Namun perlu juga diingat bahwa pengalaman selama ini membuktikan bahwa mekanisme seperti ini seringkali mengalami kegagalan dan kalaupun berhasil, berpotensi meninggalkan sumber konflik antar korban karena kompensasi ganti rugi untuk menyelesaikan kasus tersebut, mungkin akan diterima oleh beberapa korban karena faktor kesulitan ekonomi ditambah dengan rasa takut dan intimidasi namun substansi utamanya untuk pengungkapan kebenaran akan terabaikan. Posisi tawar masyarakat yang rendah tidak mungkin dapat melakukan berganing secara adil belum lagi pengaruh intervensi pihak penguasa maupun penggunaan cara premanisme oleh pihak-pihak yang lebih kuat untuk menekan masyarkat. Cara-cara seperti ini juga hanya akan membuka kesempatan kepada pelaku untuk menghindari pengadilan dan memberi negara alasan untuk “memaafkan dan melupakan”.
Diakui memang bahwa gugatan ke pengadilan juga bukanlah suatu strategi jitu untuk menyelesaikan sengketa dalam pengelolaan wilayah pesisir karena hambatan sistem peradilan yang korup dan tidak efisien sehingga institusi ini yang mestinya menjadi benteng terakhir (ultimum remedium) malah akan membawa ketidak adilan baru dan memperpanjang rantai kekebalan hukum. Namun paling tidak kita tetap perlu optimis bahwa negara perlu diberikan kesempatan untuk melaksanakan kewajibannya menyelesaikan sengketa yang dihadapi masyarakat untuk mengembalikan hak-hak mereka yang dilanggar, membayar ganti rugi dan atau agar diperolehnya tindakan tertentu seperti rehabilitasi atau pemulihan kondisi lingkungan pesisir mereka. Dengan demikian akan timbul akuntabilitasnya para pelaku dan juga untuk menjamin bahwa pelanggaran serupa tidak terulang kembali dimasa akan datang. Atau paling tidak dengan diserahkannya suatu kasus ke pengadilan, kita dapat berharap bisa memberikan pengaruh meskipun hanya berupa tekanan phisikologis kepada pelaku kejahatan tersebut.

Tidak ada komentar: