Rabu, 20 Agustus 2008

PROVINSI KEPULAUAN MENEGUHKAN KEMBALI KOMITMEN BANGSA SEBAGAI NEGARA KEPULAUAN

Seminar Nasional dan Pertemuan KNPI Tujuh Provinsi Kepulauan yang dilaksanakan oleh KNPI Provinsi Maluku dengan tema Menata Laut Menjawab Otonomi Daerah Provinsi Kepulauan diharapkan dapat melahirkan sikap dan dukungan konkrit dari seluruh komponen bangsa sehingga dapat menjadi warna baru dalam perjuangan merumuskan pokok-pokok pikiran dan rekomendasi bersama yang bermuara pada apresiasi dan dukungan konkrit sebagai aksentuasi sikap bersama pemuda Indonesia. Kegiatan ini bukan saja menjadi komsumsi bersama pemuda Indonesia atau KNPI dalam merespon atau mensikapi keinginan luhur pemerintah provinsi kepulauan sehingga dapat diakuinya otonomi khusus provinsi kepulauan secara permanen dengan suatu bentuk pengakuan yuridis dan kebijakan fiskal dalam segala perlakuannya namun juga diharapkan dapat merekonstruksi konsep otonomi daerah masa depan dengan meletakan dasar pada pembangunan dan pemberdayaan pesisir dan pulau-pulau kecil serta pulau-pulau di perbatasan dalam konsep kekhususan laut sebagai manifestasi penyelengaraan pemerintahan otonomi daerah kepulauan.

Banyak pendapat mengatakan seminar ini adalah suatu bentuk presure politik kepada pemerintah pusat untuk melegitimasi otonomi khusus provinsi kepulauan artinya kita mencoba membangun sesuatu yang fundamental dari bawah, yaitu suatu pengakuan yang permanen terhadap provinsi kepulauan dan bagai gayung bersambut pemerintah pusat juga sementara menunggu masukan-masukan yang konsepsional dari provinsi kepulauan sehingga dapat dibahas format dukungan anggaran serta dukungan aturan regulasinya.
Terlepas dari semua itu sebetulnya kalau kita mau sadari, dalam konteks ini tidak perlu menunggu sampai ada tuntutan seperti ini karena pemerintah pusat mestinya sudah harus serius memahami posisinya sejak 13 Desember 1957 (Deklarasi Djuanda) karena konsep pembangunan Indonesia yang dicanangkan saat itu telah jelas arahnya yaitu menuju “Konsep Negara Kepulauan” (the archipelago state principle) yang pada akhirnya juga akan memberikan warna terhadap pembangunan provinsi kepulauan sebagai komitmen dan agenda penting bangsa Indonesia kedepan bukan hanya untuk kepentingan 7 Provinsi saja namun juga untuk kepentingan seluruh Provinsi secara nasional. Olehnya itu untuk meneguhkan kembali komitmen bangsa maka dalam kesempatan ini kiranyanya perlu kita melakukan napak tilas untuk sekedar mengingatkan kita kembali saat-saat bangsa ini berjuang untuk memperoleh pengakuan tersebut dan bagaimana sebaiknya kita mengelolanya hasil perjuangan tersebut.

Lahirnya Prinsip Negara Kepulauan
Momentum tanggal 13 Desember 1957, bagi Indonesia merupakan awal tonggak sejarah dalam perjuangannya untuk mengumumkan sikap kewilayahan nusantara (the archipelago state principle) sebagai usaha untuk menyatukan wilayah perairan (kepulauan), darat dan udara sebagai satu kesatuan negara Indonesia, selanjutnya momentum ini dikenal sebagai Deklarasi Djuanda. Tentu saja, deklarasi ini cukup menjadi pertentangan dari berbagai negara di dunia, karena sebelumnya berdasarkan Territoriale Zee en Maritime Kringen Ordonnantie (TZMKO) Stb. Nomor 442 Tahun 1939, batas laut teritorial Indonesia hanyalah sampai 3 mil dan perairan diantara pulau-pulau yang lebih dari 3 mil bukan bagian dari kedaulatan Indonesia melainkan bagian dari perairan internasional. Sedangkan pasca Deklarasi Djuanda bagian laut yang sebelumnya termasuk laut lepas (high seas), sekarang menjadi laut teritorial Indonesia dan perairan yang berada di antara pulau-pulau menjadi bagian dari Indonesia secara utuh. Untuk memperkuat keberadaan deklarasi ini, pemerintah mengeluarkan UU No 4 Prp/1960 tentang Perairan Indonesia yang selanjutnya pada tahun 1996 direvisi menjadi UU No. 6 Tahun 1996.
Perjalanan memuluskan Deklarasi Djuanda untuk dapat diterima oleh bangsa-bangsa di dunia tidaklah gampang apalagi pada saat itu mendapat tantangan yang keras dari negara-negara maritim besar didunia seperti Amerika, Inggris dan Belanda Namun berkat strategi diplomasi yang dilancarkan, deklarasi tersebut telah berhasil merubah gaya berpikir dan politik internasional dan menjadi bagian dari kesepakatan internasional. Pada tahun 1982 konsep ini berhasil diterima dalam hukum laut Internasional atau United Nations Convention on the Law Of the Sea (UNCLOS 1982). Konvensi tersebut kemudian diratifikasi oleh Indonesia kedalam UU No 17 Tahun 1985 tentang Pengesahan UNCLOS 1982. Setidaknya ada 60 negara yang sudah merativikasi UNCLOS 1982 tersebut.

Momentum Awal Pengelolaan Pulau Kecil
Pasca era reformasi bergulir, Untuk pertama kalinya (tahun 1999) Indonesia membentuk sebuah departemen yang khusus melakukan kegiatan eksplorasi sumberdaya pesisir dan lautan. Salah satu tugas dari departemen ini (Departemen Kelautan dan Perikanan) adalah melakukan pengelolaan atas pulau-pulau kecil yang menaburi laut Indonesia khususnya yang berada diperbatasan negara.
Ironisnya, ditahun 2002 Indonesia kehilangan 2 pulau kecil yang berbatasan dengan Malaysia, yaitu Sipadan dan Ligitan. Hilangnya dua pulau ini menjadi bukti belum adanya keseriusan pemerintah dalam melakukan pengelolaan pulau-pulau kecil, khususnya pulau kecil diperbatasan negara. Momentum hilangnya Sipadan dan Ligitan dijadikan sebuah agenda pembenahan dalam pengelolaan pulau kecil di Indonesia. Puncaknya pemerintah mengeluarkan draft Keppres untuk mengelola 92 pulau kecil terluar, yang sampai saat ini tidak jelas keberadaannya.

Karakteristik Pulau Kecil Indonesia
Secara umum yang dimaksudkan dengan pulau adalah massa daratan yang seluruhnya dikelilingi oleh air dan tetap tersekspose sekalipun pada saat air pasang. Penggunaan defenisi pulau kecil di Indonesia tidak bisa disamakan dengan negara-negara lain, mengingat jumlah pulau-pulau di Indonesia cukuplah banyak (terdapat ± 17.508 pulau besar maupun kecil).
Sampai saat ini Indonesia menggunakan 2 peubah utama dalam mendefinisikan pulau kecil, yaitu luasan pulau £ 10.000 km2 dan jumlah penduduk £ 200.000 orang. Secara umum dari sudut pandang ekologi maupun sosial ekonomi pulau-pulau kecil di Indonesia dapat dicirikan sebagai berikut:
Ciri Ekologis dan
Ciri Sosial Ekonomi
1 Memiliki satu atau lebih spesies endemik Jumlah penduduk yang sedikit hingga tidak berpenghuni
2 Rentan terhadap bencana alam maupun bencana yang disebabkan oleh aktivitas manusia, seperti pencemaran, abrasi, dsb
Sebagian besar memiliki suku asli/penduduk asli yang memiliki budaya yang khas
3 Daya dukung lingkungan (carrying capacity) yang sangat terbatas
Aksessibilitas dari/dan menuju pulau yang sangat terbatas
4 Keanekaragaman hayati yang cukup tinggi
Harga produk umumnya lebih mahal dibandingkan pulau induknya (mainland)
Jika dilihat dari letak/posisi geografis pulau-pulau kecil di Indonesia dapat dibagi atas :
Pulau kecil tidak diperbatasan, yaitu pulau yang termasuk kedalam kategori pulau kecil yang umumnya berada dekat dengan pulau induk (mainland) dan/atau dikelilingi oleh pulau-pulau yang lebih terluar dari padanya.
Pulau kecil berbatasan, yaitu pulau yang termasuk kedalam kategori pulau kecil yang posisinya terluar (terjauh) dibanding pulau-pulau disekitarnya, dan umumnya jauh dari pulau induk (mainland) atau letaknya berbatasan langsung dengan perairan Internasional dan/atau dengan negara lain
Tentu saja dimensi pengelolaan pulau kecil yang bukan berada diperbatasan akan sangat berbeda dengan pengelolaan pulau kecil diperbatasan. Selain menerima dampak dari aktivitas pemanfaatan sumberdaya oleh masyarakat lokal dan nasional, pulau kecil diperbatasan juga sangat rentan terhadap kegiatan eksploitasi sumberdaya alam oleh negara tetangga dan dunia internasional. Hal inilah yang menyebabkan keberadaan pulau kecil diperbatasan akan lebih cepat mengalami kritis sumberdaya alam dibandingkan pulau kecil yang bukan diperbatasan.
Akar Masalah Pengelolaan Pulau Kecil
Dari mulai berdirinya republik ini hingga sekarang, hilangnya pulau-pulau dari perairan Indonesia bukan disebabkan “perang” yang dilakukan oleh bangsa lain untuk merebut kepulauan Indonesia, namun lebih disebabkan oleh ketidakmampuan bangsa Indonesia untuk mengelola pulau-pulau tersebut sesuai dengan kaidah lingkungan dan untuk semata-mata kesejahteraan masyarakat lokal.
Dibeberapa tempat yang memiliki kawasan pulau kecil seperti Sumatera Utara, Riau, Bengkulu, perairan Sulawesi dan daerah lain di Indonesia, sudah mengalami gejala penyempitan luasan daratan bahkan hilangnya sebuah pulau akibat dari aktivitas penambangan pasir maupun pengrusakan ekosistem pesisir seperti terumbu karang dan mangrove yang secara terang terangan dilakukan atas kepentingan investasi.
Disisi lain, tingkat kesejahteraan masyarakat di pulau-pulau kecil khususnya pulau kecil diperbatasan sangatlah memprihatinkan, namun pemerintah belum memberikan perhatian yang serius dalam penanganan masalah ini. Lihat saja, beberapa masyarakat pulau kecil perbatasan disekitar Sumatera, Kalimantan dan Sulawesi pada umumnya lebih banyak menerima insentive baik dalam bentuk sarana transportasi dan komunikasi serta kemudahan lainnya dari negara tetangga. Sehingga tidak heran jika ada masyarakat pulau yang lebih menguasai bahasa negara tetangga dibandingkan bahasa Indonesia, bahkan lebih ekstrim lagi masyarakat di pulau perbatasan Sulawesi Utara lebih memilih menggunakan mata uang negara tetangga dibandingkan yang dikeluarkan oleh Indonesia.
Jika ingin ditelusuri lebih lanjut, hilangnya Pulau Sipadan dan Ligitan dari perairan Indonesia lebih disebabkan oleh inisiatif yang dilakukan oleh pemerintahan Malaysia dalam memperlakukan pulau-pulau tersebut secara konsisten serta kegiatan perlindungan dan penyelamatan ekologis yang cukup intens. Akhirnya, Mahkamah Internasional dapat memutuskan kedua pulau tersebut menjadi milik negara Malaysia dengan pertimbangan bukti penguasaan efektif.
Terjadinya bias dalam pengelolaan pulau kecil di Indonesia disebabkan beberapa hal, antara lain:
1. Belum adanya perlindungan dan pengakuan dari pemerintah atas hak-hak masyarakat adat pulau atas tanah dan wilayah perairan mereka.
2. Pengelolaan yang dilakukan lebih untuk kepentingan investasi sehingga kerap terjadi kegiatan yang tidak mempertimbangkan daya dukung pulau kecil baik secara ekologis, ekosistem dan sosial ekonomi masyarakat setempat.
3. Pendekatan yang dilakukan oleh pemerintah lebih kepada pendekatan pertahanan dan keamanan, akibatnya proses pemulihan kesejahteraan masyarakat terabaikan, bahkan dibeberapa tempat kondisi masyarakat pulau semakin jauh dari sejahtera.
Hal terpenting saat ini adalah bagaimana pemerintah mampu memberikan perlindungan dan pengakuan atas hak-hak masyarakat yang tinggal di pesisir dan di pulau-pulau kecil untuk mendapatkan kehidupan yang layak sebagai bagian dari masyarakat di negara ini. Selain itu, arah pembangunan dan pengelolaan pesisir dan pulau-pulau kecil harus diperjelas keberpihakannya, apalagi menurut Rancangan Undang-Undang tentang Pengelolaan Wilayah Pesisir (RUU PWP) yang akan diberlakukan pada tahun 2007 nanti terbuka peluang yang cukup besar bagi investasi dibidang pemanfaatan sumberdaya pesisir untuk kegiatan usaha (profid oriented) dengan mendapatkan Hak Pengusahaan Perairan Pesisir (HP3) untuk jangka waktu 20 Tahun dan dapat diperpanjang tanpa batas waktu yang jelas sepanjang daya dukungnya masih dapat dieksploitasi (pasal 17 ayat 1 s.d.3 RUU PWP). Hal tersebut jelas akan berakibat terjadinya pengkaplingan atas permukaan laut, kolam air dan tanah dibawahnya untuk kegiatan bisnis (pasal 19 RUU PWP) dan hak itu dapat diberikan kepada Badan Hukum maupun Perseorangan (pasal 18 RUU PWP) yang sebagian pemegang sahamnya dimungkinkan dapat dimiliki oleh warga negara asing.
Dalam kondisi seperti diatas maka kalau kita tidak hati-hati dalam mengatur pengelolaannya maka akses masyarakat untuk menikmati sumber daya pesisir untuk kehidupannya dapat terhalangi bahkan hak-hak masyarakatpun dapat termarginalkan dan pada akhirnya maka sudah tidak ada lagi keberpihakan kepada masyarakat yang tinggal di pesisir dan pulau-pulau kecil di Nusantara ini. Semoga hal ini tidak terjadi.

Tidak ada komentar: